(Catatan Tambahan atas Tulisan Yudha Cahyawati)
“Zul, sekolah ini adalah sekolah. Dimana pendidikan agama, pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelengkap kurikulum. Kecerdasan bukan dilihat dari nilai-nilai, dari angka-angka itu. Bukan! Tapi dari hati…” (Pak Harfan, Laskar Pelangi. Menit 20-22)
Menarik kiranya membincang Rintisan Sekolah Bertaraf Intennasinal (RSBI) yang diulas oleh guru SDN Wates 2 itu (Kompas, Senin, 4 Oktober 2010). Boleh dikata, pendidikan di Indonesia saat ini berada dibawah bayang-bayang sistem dan kualitas asing bermana globalisasi. Sertifikasi RSBI merupakan salah satu indikasinya, sehingga wilayah pendidikan kita menjadi lahan basah kapitalisme.
Segala fasilitas RSBI memang sangat mewah. Dari segi arsitektur gedung sampai dengan kurikulum dengan adanya beberapa pelajaran bahasa asing dan sarana penunjang lainnya seperti laboratorium, perpustakaan serta ruang belajar yang representatif. Hal itu karena diukur dari tingkat “Internasionalnya”. Namun, itu semua tidak bisa mengaplikasikan slogan Education for All karena tak semua anak didik bisa masih pada sekolah tersebut.
Untuk menikmati fasilitas RSBI, masyarakat harus “disulap” menjadi orang berduit. Mahalnya biaya pendidikan seakan mengharuskan masyarakat miskin dilarang bersekolah. Kapitalisme pendidikan telah mengorok substansi pendidikan itu sendiri dan wajar sembilan tahun hanya diwajibkan bagi kaum berduit saja.
Salah satu dampak dari RSBI adalah pendidikan menjadi tidak berdaulat. Jati diri pendidikan kita akan musnah. Rasa nasionalisme menjadi berkurang, pendidikan berkualitas akan menjadi ranah kaum elit semata. Banyaknya kasus korupsi di negeri ini merupakan salah satu indikasi dari praktik pendidikan yang tidak berdaulat itu.
Sertifikasi ISO, World Class Unuversity, serta RSBI, jika terlalu terobsesi pada pendidikan “di luar” sistem pendidikan dan kondisi riil pendidikan di Indonesia akan menjadikan sistem pendidikan nasional tidak berdaulat, tidak memiliki jati diri, dan visi misi yang jauh ke depan berlandaskan semangat nasionalisme dan kebutuhan kerakyatan.
Bapak Darmaningtyas, dalam Principal Mentoring MQIP (Madrasah Quality Improvement Program) di PP Annuqayah yang diadakan oleh putera Sampoerna Foundation, secara tegas mengatakan kalau RSBI lebih merupakan euphoria dan global trend semata. Bahwa dengan adanya label Internasional itu, negara-negara maju yang berkepentingan dengan bisnis jasa pendidikan bisa leluasa masuk ke sekolah-sekolah di Indonesia (18-19 November 2009).
Dalam hal ini, pintu kapitalisme melalui jalur pendidikan akan terbuka lebar. Mereka (baca: kapitalis asing) akan sangat mudah menanamkan praktik-praktik bisnis di sekolah. Misalkan pengadaan ujian standar internasional, buku pelajaran, kurikulum, tenaga guru, beserta sertifikasi itu sendiri.
Celakanya lagi, tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan juga terus mengemuka. Untuk meningkatkan kualitas—karena terkait dengan ketersediaannya sarana penunjang dan pengembangan mutu didik—haruslah tersedia banyak biaya. Tak jarang biaya pendidikan semakin mencekik leher dan substansi pendidikan kian terasingkan.
Jika kenyataannya memang demikian, RSBI tak bisa menjadi solusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di negara ini untuk bersaing dengan pendidikan “di luar”. Sebab, sekali lagi, hanya orang-orang tertentu yang hanya bisa menikmatinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sekitar memiliki peran signifikan dalam dunia pendidikan. Problem sosial dan ekonomi kemasyarakatan adalah hal yang tidak bisa ditunda serta mendapat perhatian awal dalam pengelolaan pendidikan. Hal inilah yang seringkali terlupakan dan upaya panyadaran kepada masyarakat tak berpengaruh lagi, mengingat “pengeluaran” selalu menjadi tolak ukurnya.
Pendidikan Murah
Di Pulau Madura, sudah banyak institusi pendidikan yang mempraktikkan pendidikan berbasis masyarakat. Pemerataan pendidikan menjadi tujuan utama. Biaya pendidikan yang relatif “dimurahkan” dan berorientasi pada potensi lokal sudah banyak dipraktikkan, utamanya di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Di Kabupaten Sumenep, biaya SPP setingkat SLTA sudah di bebaskan dengan mengambil dari APBD, sehingga masyarakat yang benar-benar peduli pada pendidikan tidak diambil pusing oleh mahalnya biaya pendidikan.
Sebenarnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur adalah memerangi kapitalisme sebelum melakukan upaya penyadaran akan pentingnya pencerdasan dan pencerahan pendidikan. Sebab, kapitalisme dewasa ini telah mengakar kuat. Upaya penyadaran kepada mpasyarakat juga perlu ditegakkan, mengingat angka kemiskinan tergolong sangat besar dibanding dengan provinsi-provinsi yang lain.
Sejarah pendidikan yang kolonialistik hendaknya ditinggalkan, agar slogan Education for All tidak hanya sebatas menjadi topik pembicaraan yang tak kunjung usai serta pemerataan pendidikan bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Semoga!
Tuesday, October 12, 2010
Merintis Pendidikan Berdaulat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment