Rubaru (28/12),
Memasuki adzan Ashar, awan yang sedari pagi membekap langit, sampai sore itu
juga menyembunyikan matahari dari pandangan. Kendaraan sepeda motor Honda Supra
X Helm In bernopol M 2037 W melaju kencang dari Guluk-Guluk menuju Banasare,
Rubaru. Saya dan teman saya, Samsuni Al-Busyro, salah satu wartawan di koran
lokal Madura Koran Madura tengah memburu berita pelaksanaan Ojung di titik
akhir perjalanan tersebut.
Ojung merupakan salah
satu tradisi atau kebudayaan masyarakat Madura yang masih sangat kental, yang
terus diwariskan secara turun menurun. Selain Ojung, kebudayaan masyarakat
Madura lainnya yang juga tak kalah kental adalah Tande', Lotrengan, dan Karapan
Sapi.
Pukul 16.01 WHNE
(Waktu Handphone Nokia E63), Kami tiba di lokasi. Penonton, pedagang asongan,
dan alunan tetembang kejhung dari speakers dan dua buah sound sudah menyesaki
lokasi. Kawan saya yang baru seminggu menjadi wartawan mulai beraksi; bermodal
handphone Nokia 5300 potret sana potret sini kendati acara belum dimulai.
Pukul 16.18 WHNE, kedua kubu yang akan bertanding di arena berukuran 5 x 5
meter melakukan persiapan: sarung bekas dililitkan ke lengan bagian kiri
sebelum bagian luarnya dililit karung goni/jerami. Lengan kiri dijadikan
perisai, penangkis serangan lawan, sedangkan lengan kanan memegang cambuk rotan
tanpa pelindung apa pun. Kepala, punggung dan dada kedua petarung juga dililit
karung goni/jerami. Penonton mulai merapatkan barisan ke pinggir arena.
Sementara itu, langit tetap setia dengan warna kelabunya.
Pelaksanaan Ojung dilakukan dengan sistem duel, tidak berkelompok. Sekali
duel terdiri dari tiga babak. Apabila sudah sampai pada babak ke tiga,
pertandingan harus dihentikan dan selanjutnya diganti dengan petarung
berikutnya. Urusan menang-kalah bukan persoalan karena yang terpenting adalah
bagaimana si pemain harus bisa melecutkan rotan ke lengan kanan--hanya lengan
kanan--lawan yang memang tanpa pelindung apa pun. Penonton baru bersorak bila
pukulan rotan mengenai sasaran. Ya, sasaran...! Pemain dikatakan berhasil bila
pukulan rotan mengenai lengan kanan.
Tradisi Ojung di desa Benasare, Rubaru sudah berlangsung lama, menjadi
sebuah ritual yang wajib dilaksanakan setiap tahun. Dalam sejarahnya,
pelaksanaan Ojung di desa tersebut dilaksanakan pertama kali oleh K. Muhammad
Sakim sekitar tahun 60-an.
''Sejak Ke Sakim sampai sekarang, Ojung selalu kami laksanakan. Dilakukan
setiap Jumat sore selama tujuh Jumat. Sekarang (28/12) masih sampai pada Jumat
ke tiga. Nah, paginya, sebelum melaksanakan, kami ngaji dulu di pasarean K
Sakim. Yah, semacam bertawassul agar diberi kelancaran oleh yang di atas
(Allah, pen),'' pungkas bapak Zainuddin, ketua pelaksana.
Para pemain Ojung tidak hanya untuk wilayah desa Benasare atau hanya
sekecamatan Rubaru saja, melainkan boleh diikuti oleh siapa pun dan dari desa
mana pun asal tetap menjaga sportifitas dan menghibur.
''Pada akhir acara tidak ada pemilihan siapa juaranya. Ojung bukan lomba
kejuaraan. Tetapi pada akhir acara masyarakat akan dihiburkan oleh orkes
elekton. Dananya? Ya, dari masyarakat,'' tambah lelaki berkumis tersebut.
Sejatinya, Ojung merupakan sebuah ritual ritual memanggil hujan agar segera
turun. Biasanya dilaksanakan pada saat musim kemarau berkepanjangan. Namun,
ritual Ojung di desa Benasare selalu dilaksanakan pada saat aroma tanah meruak
pada hujan pertama pasca kemarau. Masyarakat Benasare menganggap Ojung tidak
sekedar ritual memanggil hujan, tetapi juga sebagai ungkapan rasa syukur (rokat
desa) karena dibebaskan dari kekeringan saat kemarau menyambangi.
Pulau Madura merupakan pulau yang terkenal tandus dan gersang. Tak ayal
setiap tahun ketika sudah memasuki musim kemarau sebagian besar daerah di pulau
Garam tersebut dilanda kekeringan. Nah, di desa Benasare ada sebuah sumber mata
air yang tak pernah susut kendati dilanda kemarau berkepanjangan. Sumber mata
air tersebut diyakini sebagai berkah dari ritual Ojung yang dilaksanakan setiap
tahunnya, khususnya berkah dari ritual Ojung pertama kali yang dilakukan oleh
K. Sakim.
''Kalau musim kemarau banyak orang
dari desa sebelah yang mandi ke sini,'' Pungkas Zainal, pemuda Benasare.
Di samping itu, masyarakat juga meyakini kalau pelaksanaan Ojung juga bisa
menumbuhkan kerukunan dan solidaritas yang kuat antar warga, tidak ada
pertengkaran, dan dijauhi oleh berbagai macam penyakit yang membahayakan. Ojung
bukanlah ritual tanpa makna. Mereka meyakini kalau Ritual Ojung akan menjauhkan
desa tersebut dari berbagai malapetaka atau musibah.
Di tengah gencatan arus globalisasi mengusung spirit hidup praktis,
ekonomis, dan rasional semakin menggurita di berbagai wilayah di Madura pasca
pembangunan Jembatan Suramadu, sebuah pertanyaan besar muncul di benak saya,
sampai di manakah animo masyarakat akan bertahan untuk melestarikan
tradisi/kebudayaan tersebut? Paling tidak rutin dilaksanakan setiap tahun.
Semoga Komitmen dari hasil Kongres Kebudayaan Madura II yang dilaksanalan
pada tgl 21-23 Desember 2012 di Hotel Utami, Sumenep, bisa nenjawab keraguan
saya. Amien.
Jember, 1 Januari 2012