Cerpen
Fandrik Ahmad
(Tabloid Nova, November 2012 )
Sakit memang. Menderita memang.
Kalau kau menyibak bulu-bulu yang menutupi sebagian wajahku, kau akan mendapati
beberapa bekas coretan hasil maha karyanya. Ia mencakarku sebab gagal dan kesal
tak bisa mencerabut bulu-bulu itu dari akarnya. Bukan segelas kopi atau teh
sebagai penghangat pagi yang disodorkan ketika aku bangun, atau bergelayut
manja memintaku mendaratkan kecupan hangat di keningnya. Bukan. Ia langsung
menjambak dan mencakar mukaku sembari berteriak histeris; pekerjaannya setiap
kali bangun pagi.
Sebenarnya, aku tak suka
bertampang brewokan. Ketika masih muda, menikah, sampai memunyai anak semata
wayang dengannya, aku tak pernah memelihara bulu-bulu itu. Tetapi kemudian
semua berubah ketika aku merasakan sebuah siksaan batin di lapangan
pemasyarakatan. Ya, di dalam jeruji besi itu, aku tak sempat memikirkan untuk
memotong bulu-bulu wajahku. Jangankan memotong, seberapa panjang pun aku tak
peduli.
Aku pernah memotong kumis dan
janggutku agar tak ada lagi bulu-bulu yang bisa dijambaknya. Upayaku berhasil.
Setelah kupotong, ia tak pernah menjambak dan mencakar mukaku lagi. Namun, ia
berganti ketakutan melihatku serta berusaha keras menghindar. Mirip orang
kesurupan.
''Siapa, kau? Pergi! Jangan
mendekati,'' katanya suatu pagi ketika baru terjaga. Ia menjauh hingga
terjerembab dan ngesot di lantai kamar.
''Aku suamimu.''
''Bukan. Bukan suamiku!''
histerisnya.
Aku merasa tidak hanya kehilangan
bulu-buluku, tetapi juga kehilangan istriku. Pernah aku berpikir bahwa ia bukan
mengenaliku, tetapi mengenali kumis dan janggutku. Aku merasa total kehilangan
segalanya. Tak memiliki apa-apa. Ia tak mau kursi rodanya kudorong, tak mau
kusuapi bubur, dan tak terdengar pula umpatannya ketika baru bangun yang
kemudian dilanjutkan dengan sebuah cakaran.
''Bapak jahat. Bapak kejam.
Kembalikan anakku,'' betapa umpatan itu kurindukan.
Demi mendengar umpatan itu lagi,
terpaksa aku menaruh kumis dan jenggot palsu di mukaku. Kehidupan kembali
normal.
Dua tahun sudah istriku seperti
itu. Dua tahun pula aku merasa telah berkelamin ganda; sebagai kepala dan ibu
rumah tangga. Ia tak bisa beraktifitas kecuali duduk manis di atas kursi roda
dan senang berbicara sendiri di bawah pohon kakau dengan beragam mimik:
bercanda, bersedih, menagis, dan tertawa. Memang, pohon kakau yang tumbuh di
halaman itu adalah tempat bermain istri dan anakku.
Saat menemaninya, kerap kali aku
mengungkapkan permintaan maaf kendati responnya selalu sama, diam sejenak
lantas tertawa. Kalau bukan diam-diam karena aku tak lari ke pelukan perempuan
lain, tak mungkin ia bernasib malang seperti ini. Tujuh tahun menikah, aku cuma
tetap tinggal berdua saja. Kukira ia tak bisa memberiku tangis seorang bayi. Di
balik kebohongan atas rasa keberpuraan sabar menantikan ia berkata AKU HAMIL,
kulampiaskan kepada perempuan lain.
Setahun berjalan dalam lingkar
skandal perselingkuhan, ia mengabarkan kalau sedang jatuh hamil. Matanya
menatap teduh. Penantian panjang akhirnya tercipta. Jelas aku bahagia. Jiwa
yang kering bertahun-tahun akhirnya basah juga. Hanya waktu itu aku bisa
melupakan sosok perempuan yang berdiri di balik punggungnya. Untuk menandai
kabar gembira ini, aku ke kebun kakau tempat kerjaku. Kuceritakan kepada kepala
mandor kalau istriku sedang hamil muda.
''Kalau boleh aku mau minta satu
pohon kakau kepada bapak,'' pintaku.
''Untuk apa?''
''Mau di tanam di halaman, Pak.
Sebagai tanda kalau pohon itu ditanam saat istriku sedang hamil muda. Biar
kalau sudah besar, anakku juga bisa bermain di bawahnya.''
Kepala mandor memberikan satu
bibit pohon kakau yang kupinta. Bibit itu merupakan yang terbaik dari bibit
pohon kakau yang lain. Sebagai hadiah, katanya.
Hari tak cukup sore ketika aku
keluar dari pintu gudang. Namun, awan hitam sudah merenggut matahari yang
seharusnya sebentar lagi akan menjadi sunset. Langit menggelap. Angin bertiup
menggugurkan dedaunan. Mobil dan motor terlihat berjalan tergesa-gesa. Takut
dimakan gerimis atau hujan di perjalanan, aku menghampiri sebuah rumah yang
kental dengan arsitektur rumah adat kolonial belanda, tak jauh dari tempatku
bekerja.
Seorang perempuan dengan senyum
berlesung, yang tak asing lagi bagiku, membukakan pintu. Rambutnya ikal
tergerai di atas balutan kaos u can see,
yang membuat dadanya terlihat mengeras. Aroma parfum merebak di sekujur
tubuhnya. Aku menyambarnya dan mendaratkan satu kecupan manis.
Ia menuntunku. Duduk di sofa. Seekor
kucing belang tidur melingkar. Perempuan itu hendak membuatkanku secangkir
kopi, tapi aku melarangnya.
''Istriku hamil,'' kataku.
''Aku juga hamil,'' katanya.
''Kau hamil?'' tanyaku bercampur
kaget.
''Kau tak akan mengingkari
janjimu, bukan?''
Aku diam. Tatapannya tajam, siap
menerkam. Sedangkan tatapanku telah menjadikan perempuan itu seperti seekor
ular raksasa yang tengah melilit mangsanya. Tak bergerak. Senyumnya tak lebih
dari sebuah desis dengan lidah yang menjulur-julur. Kenapa aku jatuh ke pelukannya?
Tangannya yang lembut terasa kasar dalam belaian.
''Bukankah kau menyatakan siap
meninggalkan istrimu bila aku bisa memberiku seorang anak? Bukankah kau akan
membawaku pergi sejauh mungkin? Sejauh dari pandangan istrimu. Masih
ingatkah?''
Aku terduduk lesu. Bukan tak ingat
pada janji itu. Kupandang lekat bibit pohon kakau yang kusandarkan di depan
pintu. Gorden biru langit pada jendela yang terbuka, sedikit meliuk ditiup
angin. Dadaku seketika berat. Kupandangi perempuan itu. Tangannya mendekap. Tenang
bersandar di lemari. Senyum bergincu itu tak lagi menarik.
''Aku tak bisa...'' kataku lirih.
''Berarti kau memilih keluargamu
hancur? Pilihlah! Memberikan kesan meninggalkan istrimu tanpa sebab atau hancur
karena perselingkuhanmu terbongkar? Yah,
sama-menyedihkan, sih. Tapi paling
tidak, salah satunya ada yang terbaik.''
''Jangan kau paksa aku untuk
memilih.''
''Hidup itu pilihan, sayang. Tak
usahlah kau bermain api jika takut terbakar.''
''Jangan sampai kau menyakiti
istriku,'' nadaku kini tak lebih dari sebuah ancaman keras.
''Owh, kau memilih istrimu? Justru kau sendiri yang akan menyakiti
istrimu, bukan aku,'' perempuan itu membentak.
Seberkas sinar memantul dari
jendela. Hujan urung untuk turun. Aku dan perempuan itu saling menyulutkan
emosi. Sebagaimana dalam film-film, si perempuan berakhir dengan tangis,
sedangkan si lelaki berakhir setelah memecahkan suatu benda. Dan, benda yang
kupecahkan adalah kaca meja. Kucing belang kaget dan melonjak terbirit-birit.
''Beri aku waktu tiga hari bersama
istriku. Setelah itu, kau bebas memilikiku.''
Perjalan sore itu sungguh berat.
Di halaman, aku dan istriku
bersama-sama menanam pohon kakau. Kubilang, kelak, di bawahnya akan kujadikan
taman bermain anak kita. Matanya yang bening berkilau-kilau. Ia tersenyum. Oh, betapa aku tak kuat meninggalkan
senyum itu. Senyum yang tulus, tak dibuat-buat. Seharusnya aku bisa berbahagia
berlindung di bawah senyuman yang tulus, bukan senyuman yang dibuat-buat. Ia
menginginkan seorang anak laki-laki. Katanya, kalau sudah dewasa bisa
sesempurna diriku sebagai suami. Ah,
apa sempurnanya? Tak tahulah di belakangnya aku menyimpan bangkai. Tak tahulah
kalau cintanya kubandol-bandolkan kepada orang lain.
Sungguh, melewati waktu sampai
mencapai tiga hari merupakan perjalanan yang sangat sulit. Seperti menunggu
kedatangan seekor siput. Aku memiliki hasrat kuat membuat keinginannya menjadi
sempurna dan terkabulkan. Sejak itu, aku menemukan diriku menjadi sosok dari
bayang-bayang anakku. Ah, apa
sempurnanya bila anakku seperti diriku.
Menginjak hari kedua, keputusan
sudah kuambil. Aku harus memotong sebagian hidupku. Layaknya sebuah pohon, aku
ingin hidup cuma bercabang satu, membesar, dan menjulur ke atas dalam satu
pucuk tujuan. Oh, bayang-bayang
ketakutan, kecemasan, kegundahan, dan perasaan dag-dig-dug lainnya menyerangku secara
bergantian, semacam bom molotov yang jatuh di medan pertempuran.
Pada hari ketiga, malam rebah
tanpa sepotong bulan. Aku menemui perempuan itu. Mengabarkan kalau malam ini
aku ingin menghabiskan malam sebelum benar-benar pergi dengannya, meninggalkan
istri dan rumah bekas kolonial itu. Tetapi, esoknya, aku tak jadi pergi.
Perempuan itu pergi sendiri. Kendati demikian, akulah yang mengantarnya pergi.
Ke neraka! Kututup mulutnya dengan bantal dan kucekek sedikit sebelum kucongkel
sedikit pula sebagian isi perutnya dengan gunting. Bayang-bayang ketakutan
telah menuntunku untuk berani melakukan perbuatan senekat itu.
Drama cinta segitiga terendus
setelah itu. Istriku shock berat. Ia mengamuk. Histeris. Mencakar-cakar mukaku.
Cakaran yang pertama dalam perjalanan rumah tangga. Lalu, aku membusuk di
penjara. Mendekap 20 tahun. Selama itu, kesetiaan menitikkan airmata; setiap
Sabtu dan Rabu ia tak pernah absen datang membesuk. Sampai anak yang
dikandungnya lahir, tak sendirian lagi ia datang. Betapa menderitanya
membesarkan anak seorang diri. Kesalahan masa lalu semakin membusukkanku di
penjara.
Sepanjang waktu. Mendekap.
Membusuk.
Jam menunjukkan pukul 9.47 pagi.
Seorang polisi jaga menuntunku sampai di depan pintu gerbang. Aku tak percaya
telah melewati massa sepanjang 20 tahun. Betapa tak terbilang bahagia.
Jeruji-jeruji besi yang memisahkan aku, istri, dan anakku seperti ambruk
seketika.
Seorang anak muda datang
menghampiri seraya memelukku erat. Menyambut kebebasanku.
''Anakku.'' sekali dalam seumur
hidup, aku menangis.
Kami pulang dengan wajah
semringah. Ia memboncengiku dengan sepeda motor miliknya. Kehidupan kembali
bergerak. Udara segar melabrak. Kencang. Kencang sekali. Sampai, tanpa sadar
aku telah terkapar di tanah lembab. Jantungku berdegup kuat dan merasakan
pusing yang berlipat-lipat. Lengan sebelah kiri terasa sangat ngilu. Banyak
bercak darah di sekujur tubuhku. Kukira itu darahku. Namun ternyata, darah itu
adalah darah anakku yang terkapar kaku. Tak jauh. Tak bernyawa.
Kehilangan anak semata wayang tak
bisa diterima oleh istriku. Kondisinya menjadi labil, kian tak waras memahami
situasi. Apalagi sejatinya ia belum bisa berdamai dengan masa lalu. Aku
dijadikan kambing hitam sebagai orang yang telah merenggut nyawa anakku
sendiri. Orang yang menyebabkannya kecelakaan. Oleh karena itu, setiap kali
bangun tidur, ia berteriak dan mencakar-cakar mukaku.
Kupandangi istriku di bawah pohon
kakau yang tengah asyik berbicara dengan pohon itu. Bila sudah begitu, jangan
diganggu. Ia akan marah. Marah sekali. Ia bisa menghardik dan mencakarmu.
Menyangkamu sebagai orang yang akan memisahkannya dengan pohon kakau yang telah
ditahbisnya sebagai anak. Betapa menderita memang hidup dengan keadaan keluarga
seperti ini. Tetapi aku tak punya alasan lain untuk tak meninggalkannya karena
perempuan itu satu-satunya cinta yang tersisa. Tempat untuk berpulang.
Bubur yang tadinya terasa hangat
sudah menjadi dingin. Aku masih menunggunya selesai bercakap-cakap.***
Jember, 28 September 2012