(Sumber: www.annuqayah.blogspot.com)
Guluk-Guluk—Jumat pagi (2/3), Muhammad Kholis (16), salah seorang santri PPA Lubangsa keluar dari biliknya di blok B/5. Handuk bercokol di pundak kiri. Tangan kanannya memegang gayung berwarna biru langit. Gayung itu berisi sabun mandi, pasta gigi Close Up, dan sikat gigi bermerk Formula. Sedangkan tangan kirinya menggenggam sound portable yang bentuknya seperti kaleng susu berukuran 385 gram. Suara dangdut koplo menggema dari sound itu.
Langkahnya santai melewati beberapa santri yang sedang melakukan aktivitas olahraga bulu tangkis dan tenis meja di lapangan blok B, sampai tubuhnya menghilang setelah memasuki kawasan blok F. Dilihat dari handuk dan gayung yang berisi peralatan mandi yang dibawanya, tak perlu ditanya bahwa ia akan pergi mandi. Tapi, kenapa harus membawa sound portable?
“Mandi lebih enak kalau sambil bermusik. Lagian sekarang kan hari Jumat, waktu bebas bermusik,” katanya santai. Alunan Baik-Baik Sayang yang diaransemen menjadi dangdut koplo menggema di setiap sudut kamar mandi belakang Blok F.
Saat ini, geliat bermusik santri PPA Lubangsa memang tergolong cukup tinggi. Hal tersebut didorong oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih. Revolusi alat pendengar musik juga tampak, dari pemutar MP3 sampai sound portable yang kini banyak digandrungi oleh santri.
Ya, sound portable menjadi pilihan utama. Selain praktis dan mudah dibawa ke mana-mana, sound portable menjadi pilihan utama karena menggunakan memori micro SD dan baterai handphone BL-5C serta tidak perlu diribetkan oleh headset sebagaimana pemutar MP3. Hanya dengan harga 100-200 ribuan rupiah, sound portable itu mudah dibeli di toko-toko di pasar Ganding, Prenduan, atau Sumenep. Selain itu, daya tahannya juga lebih baik daripada pemutar MP3.
Selain sudah menjadi bagian dari gaya hidup, mendengarkan musik bagi santri merupakan hiburan tersendiri tatkala pikiran ruwet. Maklum, selain memiliki kegiatan kepersantrenan, santri juga dipadati oleh kegiatan sekolah sehingga musik berfungsi sebagai teman setia penghilang kejenuhan dan penyegar otak mereka.
“Kalau mendengarkan musik, pikiran saya terasa ringan sekali. Apalagi dangdut koplo, tanpa terasa kepala saya geleng-geleng sendiri tanpa disadari,” aku Kholis.
1 Bilik 1 Sound Portable
Dalam penjajakan kru Mading Satelit yang diterbitkan Ikatan Santri Annuqayah Jawa (Iksaj), setidaknya ada 94 sound portable dari 81 bilik santri di Lubangsa. Jadi, rata-rata setiap bilik memiliki 1 sound portable. Bahkan dalam satu bilik sampai ada yang memiliki 4 sound portable. Bisa dibayangkan betapa ramainya PPA Lubangsa dengan musik apabila setiap bilik menghidupkan alat musik, meskipun suaranya hanya di sekitar bilik saja.
Hitungan tersebut tidak termasuk alat musik di perkantoran: kantor pesantren, kantor Madrasah Diniyah, kantor redaksi majalah Muara, perpustakaan Lubangsa, kantor Usaha Kesehatan Pondok Pesantren (UKPP), Warpostel, Biro Pengembangan Bahasa Asing (Arab dan Inggris), dan kantin milik PPA Lubangsa, yaitu Kantin Sufi. Perkantoran dan kantin tersebut memang bebas dari aturan pesantren tentang jam bermusik karena termasuk kategori bekerja untuk kepentingan pesantren.
Untuk membeli sound portable, sebagian besar santri menggunakan uang pribadi. Sebagian lagi membeli dengan sistem patungan dengan teman sebiliknya. Sedangkan jenis musik yang cenderung digandrungi secara berurutan adalah lagu populer, dangdut koplo, hip-hop, kemudian musik yang bernuansa islami seperti hadrah dan kasidah.
Kepraktisan alat musik tersebut juga bisa berdampak pada penyalahgunaan alat musik di luar waktu yang telah ditentukan. Salah seorang santri PPA Lubangsa mengaku pernah menyetel musik di Aula Assyarqawi pada malam hari dengan menggunakan sound portable selain waktu yang diperbolehkan. Bahkan ia juga pernah menyetel musik di asta Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi, sebelah selatan PPA daerah Kusuma Bangsa.
“Itu (mendengar musik) saya lakukan karena pikiran saya saat itu sedang kacau karena sakit hati,” kata M, salah seorang santri yang enggan disebut nama lengkapnya, yang tampak agak ragu-ragu saat mengatakannya.
Aturan Waktu
Kalau hanya mendengarkan musik, PPA Lubangsa memang terbuka. Jenis musik apa pun boleh didengarkan asalkan format file MP3, bukan MP4 atau semacamnya yang merupakan gambar bergerak. Namun demikian, PPA Lubangsa tetap memiliki seperangkat aturan tentang menyetel musik.
Aturan itu telah tertuang dalam Peraturan Dasar dan Tata Tertib PPA Lubangsa, yaitu Bab IV, Larangan-larangan, pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap santri dilarang bermain dan menonton video game, menyetel tape recoder, radio atau media elektronik lainnya di luar waktu yang telah ditentukan, kecuali berita dan kepentingan pesantren.”
Dalam penjelasan ayat itu, disebutkan bahwa waktu yang diperbolehkan menyetel musik sebagai berikut: pagi mulai pukul 05.30-06.30 WIB (bila tidak ada pengajian kitab turats), sore mulai pukul 16.30-17.30 WIB (saat shalawat sebelum azan Maghrib dikumandangkan), malam Jumat mulai bakda jamaah shalat Isya sampai 23.30 WIB (sampai bel tidur), dan hari Jumat pukul 05.30-17.30 WIB, kecuali pukul 11.00-12.30 WIB (saat pelaksanaan shalat Jumat).
Di luar waktu itu, santri tidak diperbolehkan menyetel dan mendengarkan musik, kecuali untuk kepentingan pesantren, semisal sedang bekerja merenovasi bilik atau memiliki kegiatan/acara, asalkan ada pemberitahuan kepada pengurus pesantren.
Pelanggaran dan Kepantasan
Muhammad Arifin, koordinator Keamanan dan Ketertiban (kamtib) PPA Lubangsa, mengatakan, apabila ada santri yang mendengarkan musik di luar waktu yang telah ditentukan, tindakan tegas tetap akan ia ambil, yaitu memberikan hukuman yang sepantasnya.
“Kalau cuma melanggar aturan tentang musik, kami akan menegur terlebih dahulu. Kalau teguran sudah tidak mempan, hukumannya bisa mengaji di depan kantor pesantren,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, ketika memang waktunya bermusik, santri dipersilakan mendengarkan musik di mana saja asalkan tetap berada di lingkungan PPA Lubangsa.
“Atur sendiri lah, tempat di mana saja yang pantas dan sopan untuk menyetel musik,” ungkapnya.
Mengenai besarnya volume musik, tidak ada aturan yang paten. Akan tetapi, akunya, volume janganlah terlalu keras. Cukup bisa didengar oleh teman sebilik saja.
Abdullah, penjaga Kantin Sufi, menyatakan banyaknya sound aktif di PPA Lubangsa turut memberikan tambahan pendapatan bagi Kantin Sufi meskipun tergolong sangat kecil. Pasalnya, setiap hari paling tidak ada sepuluh sound portable yang dicas di kantinnya. Dan, tarifnya cuma Rp. 500.
“Sebelum mereka (santri) banyak memiliki sound portable, saya sudah sering menerima jasa cas pemutar MP3. Toh tidak sampai mengganggu saya berjualan,” ungkap santri yang sudah nyantri sejak tahun 1993 itu.
Guluk-Guluk—Jumat pagi (2/3), Muhammad Kholis (16), salah seorang santri PPA Lubangsa keluar dari biliknya di blok B/5. Handuk bercokol di pundak kiri. Tangan kanannya memegang gayung berwarna biru langit. Gayung itu berisi sabun mandi, pasta gigi Close Up, dan sikat gigi bermerk Formula. Sedangkan tangan kirinya menggenggam sound portable yang bentuknya seperti kaleng susu berukuran 385 gram. Suara dangdut koplo menggema dari sound itu.
Langkahnya santai melewati beberapa santri yang sedang melakukan aktivitas olahraga bulu tangkis dan tenis meja di lapangan blok B, sampai tubuhnya menghilang setelah memasuki kawasan blok F. Dilihat dari handuk dan gayung yang berisi peralatan mandi yang dibawanya, tak perlu ditanya bahwa ia akan pergi mandi. Tapi, kenapa harus membawa sound portable?
“Mandi lebih enak kalau sambil bermusik. Lagian sekarang kan hari Jumat, waktu bebas bermusik,” katanya santai. Alunan Baik-Baik Sayang yang diaransemen menjadi dangdut koplo menggema di setiap sudut kamar mandi belakang Blok F.
Saat ini, geliat bermusik santri PPA Lubangsa memang tergolong cukup tinggi. Hal tersebut didorong oleh perkembangan teknologi yang semakin canggih. Revolusi alat pendengar musik juga tampak, dari pemutar MP3 sampai sound portable yang kini banyak digandrungi oleh santri.
Ya, sound portable menjadi pilihan utama. Selain praktis dan mudah dibawa ke mana-mana, sound portable menjadi pilihan utama karena menggunakan memori micro SD dan baterai handphone BL-5C serta tidak perlu diribetkan oleh headset sebagaimana pemutar MP3. Hanya dengan harga 100-200 ribuan rupiah, sound portable itu mudah dibeli di toko-toko di pasar Ganding, Prenduan, atau Sumenep. Selain itu, daya tahannya juga lebih baik daripada pemutar MP3.
Selain sudah menjadi bagian dari gaya hidup, mendengarkan musik bagi santri merupakan hiburan tersendiri tatkala pikiran ruwet. Maklum, selain memiliki kegiatan kepersantrenan, santri juga dipadati oleh kegiatan sekolah sehingga musik berfungsi sebagai teman setia penghilang kejenuhan dan penyegar otak mereka.
“Kalau mendengarkan musik, pikiran saya terasa ringan sekali. Apalagi dangdut koplo, tanpa terasa kepala saya geleng-geleng sendiri tanpa disadari,” aku Kholis.
1 Bilik 1 Sound Portable
Dalam penjajakan kru Mading Satelit yang diterbitkan Ikatan Santri Annuqayah Jawa (Iksaj), setidaknya ada 94 sound portable dari 81 bilik santri di Lubangsa. Jadi, rata-rata setiap bilik memiliki 1 sound portable. Bahkan dalam satu bilik sampai ada yang memiliki 4 sound portable. Bisa dibayangkan betapa ramainya PPA Lubangsa dengan musik apabila setiap bilik menghidupkan alat musik, meskipun suaranya hanya di sekitar bilik saja.
Hitungan tersebut tidak termasuk alat musik di perkantoran: kantor pesantren, kantor Madrasah Diniyah, kantor redaksi majalah Muara, perpustakaan Lubangsa, kantor Usaha Kesehatan Pondok Pesantren (UKPP), Warpostel, Biro Pengembangan Bahasa Asing (Arab dan Inggris), dan kantin milik PPA Lubangsa, yaitu Kantin Sufi. Perkantoran dan kantin tersebut memang bebas dari aturan pesantren tentang jam bermusik karena termasuk kategori bekerja untuk kepentingan pesantren.
Untuk membeli sound portable, sebagian besar santri menggunakan uang pribadi. Sebagian lagi membeli dengan sistem patungan dengan teman sebiliknya. Sedangkan jenis musik yang cenderung digandrungi secara berurutan adalah lagu populer, dangdut koplo, hip-hop, kemudian musik yang bernuansa islami seperti hadrah dan kasidah.
Kepraktisan alat musik tersebut juga bisa berdampak pada penyalahgunaan alat musik di luar waktu yang telah ditentukan. Salah seorang santri PPA Lubangsa mengaku pernah menyetel musik di Aula Assyarqawi pada malam hari dengan menggunakan sound portable selain waktu yang diperbolehkan. Bahkan ia juga pernah menyetel musik di asta Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi, sebelah selatan PPA daerah Kusuma Bangsa.
“Itu (mendengar musik) saya lakukan karena pikiran saya saat itu sedang kacau karena sakit hati,” kata M, salah seorang santri yang enggan disebut nama lengkapnya, yang tampak agak ragu-ragu saat mengatakannya.
Aturan Waktu
Kalau hanya mendengarkan musik, PPA Lubangsa memang terbuka. Jenis musik apa pun boleh didengarkan asalkan format file MP3, bukan MP4 atau semacamnya yang merupakan gambar bergerak. Namun demikian, PPA Lubangsa tetap memiliki seperangkat aturan tentang menyetel musik.
Aturan itu telah tertuang dalam Peraturan Dasar dan Tata Tertib PPA Lubangsa, yaitu Bab IV, Larangan-larangan, pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap santri dilarang bermain dan menonton video game, menyetel tape recoder, radio atau media elektronik lainnya di luar waktu yang telah ditentukan, kecuali berita dan kepentingan pesantren.”
Dalam penjelasan ayat itu, disebutkan bahwa waktu yang diperbolehkan menyetel musik sebagai berikut: pagi mulai pukul 05.30-06.30 WIB (bila tidak ada pengajian kitab turats), sore mulai pukul 16.30-17.30 WIB (saat shalawat sebelum azan Maghrib dikumandangkan), malam Jumat mulai bakda jamaah shalat Isya sampai 23.30 WIB (sampai bel tidur), dan hari Jumat pukul 05.30-17.30 WIB, kecuali pukul 11.00-12.30 WIB (saat pelaksanaan shalat Jumat).
Di luar waktu itu, santri tidak diperbolehkan menyetel dan mendengarkan musik, kecuali untuk kepentingan pesantren, semisal sedang bekerja merenovasi bilik atau memiliki kegiatan/acara, asalkan ada pemberitahuan kepada pengurus pesantren.
Pelanggaran dan Kepantasan
Muhammad Arifin, koordinator Keamanan dan Ketertiban (kamtib) PPA Lubangsa, mengatakan, apabila ada santri yang mendengarkan musik di luar waktu yang telah ditentukan, tindakan tegas tetap akan ia ambil, yaitu memberikan hukuman yang sepantasnya.
“Kalau cuma melanggar aturan tentang musik, kami akan menegur terlebih dahulu. Kalau teguran sudah tidak mempan, hukumannya bisa mengaji di depan kantor pesantren,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan, ketika memang waktunya bermusik, santri dipersilakan mendengarkan musik di mana saja asalkan tetap berada di lingkungan PPA Lubangsa.
“Atur sendiri lah, tempat di mana saja yang pantas dan sopan untuk menyetel musik,” ungkapnya.
Mengenai besarnya volume musik, tidak ada aturan yang paten. Akan tetapi, akunya, volume janganlah terlalu keras. Cukup bisa didengar oleh teman sebilik saja.
Abdullah, penjaga Kantin Sufi, menyatakan banyaknya sound aktif di PPA Lubangsa turut memberikan tambahan pendapatan bagi Kantin Sufi meskipun tergolong sangat kecil. Pasalnya, setiap hari paling tidak ada sepuluh sound portable yang dicas di kantinnya. Dan, tarifnya cuma Rp. 500.
“Sebelum mereka (santri) banyak memiliki sound portable, saya sudah sering menerima jasa cas pemutar MP3. Toh tidak sampai mengganggu saya berjualan,” ungkap santri yang sudah nyantri sejak tahun 1993 itu.