(Majalah Infitah, XX.XII. 2011)
Kerapkali sahabat saya bertanya begini, “Bagaimana caranya menulis?” Pertanyaan itu sering membuat saya menelan ludah sebelum menjawab. Lalu, terkadang jawaban saya mengecewakan mereka. Saya tidak memiliki jawaban lain selain, “Ya, menulis.”
Kemudian muncul pertanyaan turunan, “apa yang bisa (harus) saya tulis?” pada jawaban dari pertanyaan ini, saya hanya bisa menepuk jidad, “Palang!”
Menulis bukanlah kreatifitas yang lahir secara instan. Butuh proses panjang untuk menjajakinya. Tentu, tidak bisa dalam seminggu seseorang sudah bisa menulis dengan baik. Kalau anda membaca kisah-kisah dibalik para penulis hebat, maka anda akan tercengang. Taruhlah misalkan Joni Ariadinata, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Cerpenis Indonesia, harus menunggu sampai karya—kurang lebih—ke seratus kalinya bisa dimuat di media massa. Atau jika tidak ingin jauh-jauh, tanyakan proses kreatifitas menulis pada sahabat anda sendiri yang anda anggap sebagai penulis. Saya yakin, prosesnya berdarah-darah.
Banyak orang menulis berhenti di tengah jalan. Mereka putus harap. Ada yang frustasi karena bingung kata apa yang harus ditulis pertama kali, ada yang frustasi karena tulisannya tidak selesai-selesai, ada yang berhenti karena tulisannya dijelek-jelekkan, sampai pada yang frustasi karena tidak pernah dimuat di media.
Maka dari itu, syarat utama menjadi penulis hanya dua, komitmen dan “tebal muka”. Seringkali orang-orang terjebak pada kata “penulis”. Bahwa penulis itu adalah orang yang karyanya pernah atau sering dimuat di media. Padahal tidak, seorang penulis itu adalah orang yang sering menulis.
Ada banyak manfaat bila kita menulis. Pertama, menulis dapat mengembangkan wawasan lebih cepat dan menguatkan ingatan lebih kuat karena menulis tidak bisa lepas dari membaca dan berpikir. Jika ada sahabat anda yang mengatakan sulit untuk menulis, tanyakan seberapa banyak ia membaca buku dan seberapa luas membaca keadaan. Kedua, membuka peluang pintu dialog untuk dituangkan dalam tafsir gagasan baru yang lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan Budi Darma, guru besar emeritus Unesa bahwa hakikat kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Karya akan terus hidup bahkan setelah penulisnya sudah meninggal. Ketiga, menulis bisa menjadi artis dan mendatangkan banyak uang! Pada wilayah ini, kita sudah bersikap pragmatis. Tak apalah, bagian ini hanya efek samping saja.
Di samping itu, menulis juga bisa membentuk dan mengubah cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan dan juga bisa memengaruhi cara seseorang memandang suatu persoalan. Penulis ilmiah memandang persoalan dengan nalar pikir kritis dengan gagasan-gagasan “provokatif”. Seorang penulis fiksi memandang persoalan lebih nyeleneh (lembut?) lagi. Sebagai sastrawan, tentu diksi yang dipilih lebih intuitif.
Dalam tulisan Lan Fang, Adat dan Adab Menulis, rata-rata manusia mengucapkan 15.000-25.000 kata perhari. Pada orang-orang yang memiliki profesi tertentu, seperti salesman, marketing, pengacara atau politikus, bisa berkata-kata 2-3 kali lipat lebih banyak daripada rata-rata yang lainnya. Tetapi sedikit sekali manusia yang telaten mengumpulkan dan menyimpan kata-kata dalam bentuk abstraksi, mempertanyakan dalam pemikiran, dan menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Kita hidup dikelilingi oleh segerombolan kata yang keluar dari berbagai mulut. Lalu, kenapa masih banyak yang beralasan tidak bisa menulis karena tidak tahu apa yang harus ditulis? Jika anda tetap ingin menulis, ubah sikap dan cara pandang anda tentang penulisan. Bila anda memikirkan kesulitannya, maka anda akan mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, bila anda merasa menulis itu mudah, maka anda akan merasa enjoy dengan pekerjaan itu.
As Laksana, kolumnis rubrik Ruang Putih Jawa Pos, membeberkan tiga rahasia menulis. Pertama, menulis setiap hari. Kedua, tetapkan berapa panjang tulisan yang akan ditulis. Ketiga, menulislah sampai kuota tulisan hari itu terpenuhi. Bandingkan dengan tiga rahasia menulis yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, yaitu “menulis, menulis, dan menulis”. Jadi, hemat saya, tidak ada jalan lain untuk bisa menulis dan menjadi penulis selain “Menulis Sampai Mahok!”
Kerapkali sahabat saya bertanya begini, “Bagaimana caranya menulis?” Pertanyaan itu sering membuat saya menelan ludah sebelum menjawab. Lalu, terkadang jawaban saya mengecewakan mereka. Saya tidak memiliki jawaban lain selain, “Ya, menulis.”
Kemudian muncul pertanyaan turunan, “apa yang bisa (harus) saya tulis?” pada jawaban dari pertanyaan ini, saya hanya bisa menepuk jidad, “Palang!”
Menulis bukanlah kreatifitas yang lahir secara instan. Butuh proses panjang untuk menjajakinya. Tentu, tidak bisa dalam seminggu seseorang sudah bisa menulis dengan baik. Kalau anda membaca kisah-kisah dibalik para penulis hebat, maka anda akan tercengang. Taruhlah misalkan Joni Ariadinata, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Cerpenis Indonesia, harus menunggu sampai karya—kurang lebih—ke seratus kalinya bisa dimuat di media massa. Atau jika tidak ingin jauh-jauh, tanyakan proses kreatifitas menulis pada sahabat anda sendiri yang anda anggap sebagai penulis. Saya yakin, prosesnya berdarah-darah.
Banyak orang menulis berhenti di tengah jalan. Mereka putus harap. Ada yang frustasi karena bingung kata apa yang harus ditulis pertama kali, ada yang frustasi karena tulisannya tidak selesai-selesai, ada yang berhenti karena tulisannya dijelek-jelekkan, sampai pada yang frustasi karena tidak pernah dimuat di media.
Maka dari itu, syarat utama menjadi penulis hanya dua, komitmen dan “tebal muka”. Seringkali orang-orang terjebak pada kata “penulis”. Bahwa penulis itu adalah orang yang karyanya pernah atau sering dimuat di media. Padahal tidak, seorang penulis itu adalah orang yang sering menulis.
Ada banyak manfaat bila kita menulis. Pertama, menulis dapat mengembangkan wawasan lebih cepat dan menguatkan ingatan lebih kuat karena menulis tidak bisa lepas dari membaca dan berpikir. Jika ada sahabat anda yang mengatakan sulit untuk menulis, tanyakan seberapa banyak ia membaca buku dan seberapa luas membaca keadaan. Kedua, membuka peluang pintu dialog untuk dituangkan dalam tafsir gagasan baru yang lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan Budi Darma, guru besar emeritus Unesa bahwa hakikat kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Karya akan terus hidup bahkan setelah penulisnya sudah meninggal. Ketiga, menulis bisa menjadi artis dan mendatangkan banyak uang! Pada wilayah ini, kita sudah bersikap pragmatis. Tak apalah, bagian ini hanya efek samping saja.
Di samping itu, menulis juga bisa membentuk dan mengubah cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan dan juga bisa memengaruhi cara seseorang memandang suatu persoalan. Penulis ilmiah memandang persoalan dengan nalar pikir kritis dengan gagasan-gagasan “provokatif”. Seorang penulis fiksi memandang persoalan lebih nyeleneh (lembut?) lagi. Sebagai sastrawan, tentu diksi yang dipilih lebih intuitif.
Dalam tulisan Lan Fang, Adat dan Adab Menulis, rata-rata manusia mengucapkan 15.000-25.000 kata perhari. Pada orang-orang yang memiliki profesi tertentu, seperti salesman, marketing, pengacara atau politikus, bisa berkata-kata 2-3 kali lipat lebih banyak daripada rata-rata yang lainnya. Tetapi sedikit sekali manusia yang telaten mengumpulkan dan menyimpan kata-kata dalam bentuk abstraksi, mempertanyakan dalam pemikiran, dan menuangkan ke dalam bentuk tulisan.
Kita hidup dikelilingi oleh segerombolan kata yang keluar dari berbagai mulut. Lalu, kenapa masih banyak yang beralasan tidak bisa menulis karena tidak tahu apa yang harus ditulis? Jika anda tetap ingin menulis, ubah sikap dan cara pandang anda tentang penulisan. Bila anda memikirkan kesulitannya, maka anda akan mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, bila anda merasa menulis itu mudah, maka anda akan merasa enjoy dengan pekerjaan itu.
As Laksana, kolumnis rubrik Ruang Putih Jawa Pos, membeberkan tiga rahasia menulis. Pertama, menulis setiap hari. Kedua, tetapkan berapa panjang tulisan yang akan ditulis. Ketiga, menulislah sampai kuota tulisan hari itu terpenuhi. Bandingkan dengan tiga rahasia menulis yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, yaitu “menulis, menulis, dan menulis”. Jadi, hemat saya, tidak ada jalan lain untuk bisa menulis dan menjadi penulis selain “Menulis Sampai Mahok!”