Tulisan ini adalah serangkaian tulisan saya tentang Lan Fang; Tak Disangka Bertemu Dengan Lan Fang, Lan Fang: Annuqayah Adalah Rumah Kedua, dan Catatan Parade Cerpen untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos, yang saya coba kumpulkan menjadi satu tulisan dengan penyelarasan yang seperlunya.
***
Saya termasuk orang yang terlambat mendengar kabar kematian sastrawan Lan Fang. Ketika ia meninggal dunia bertepatan dengan hari Natal 2011, di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura, Minggu siang, ketika seluruh umat kristiani merayakan hari Natal. Saya baru mendengar kabar itu dari teman setelah solat maghrib.
Saya tidak lantas memercayainya. Mengapa Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura? Padahal lima hari lalu saya mendapat kabar kalau ia akan dirujuk ke Ghuangzou, Tiongkok. Saya pastikan kebenaran kabar itu via facebook. Ternyata, seluruh teman-temannya sudah meletupkan duka cita di jejaring sosial itu. Tak terkecuali mbak Wina Bojonegoro sahabat dekatnya.
Kesedihan bersesak. Kehilangan berurai air mata, ketika saya membaca catatan yang ditag oleh Mbak Wina. Saya sangat merasakan betul tentang rasa kehilangan yang dirasakan olehnya dan oleh para sastrawan lainnya. Saya merasa tidak seberuntung Mbak Wina—meski keberuntungan itu terasa menyakitkan—karena sempat menemaninya berjuang di masa-masa kritis hingga menjelang kematian.
Ketika sudah tiada, waktu saya sadari berjalan cepat. Saya bertemu dengannya ketika ia diundang untuk membedah novelnya Ciuman Dibawah Hujan, pada moment Festifal Cinta Buku III (FCB) Instik Annuqayah, kampus saya, bulan Maret lalu. Saya sempat mencatat luapan kegembiraan saya ketika bertemu dengannya. Begini ceritanya.
Setelah selesai Solat Jumat (20/5), saya langsung turun dari Masjid Jamik Annuqayah menuju kantor Sekretariat Bersama PP Annuqayah yang terletak di simpang tiga jalan menuju kampus, tepatnya sebelah utara Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah. Saya sengaja cepat-cepat turun dari masjid karena harus mengerjakan dan menyelesaikan satu tulisan untuk rubrikasi pada buletin yang akan diterbitkan oleh Biro Publikasi, Informasi dan Kepustakaan, PP Annuqayah.
Siang itu, terik matahari menyengat ubun-ubun. Saya mempercepat langkah agar segera menyelesaikan tulisan sebelum saya menghadiri acara bedah buku Ciuman Dibawah Hujan di Auditorium As-Syarqawi. Bagi saya, menghadiri bedah buku itu adalah wajib, karena saya sangat senang dengan karakter tulisannya.
Saking terburu-buru, badan saya mandi keringat. Untung saya memakai dua pakaian: kaos lengan panjang dan baju koko yang semuanya berwarna cokelat, sehingga keringat yang keluar dari punggung, dada, dan (maaf) ketiak saya tidak kelihatan. Hanya, wajah saya saja yang ketahuan banjir keringat.
Pada jarak kira-kira 25 meter dari simpang tiga itu, saya melihat seseorang yang tengah duduk di pingir jalan, di bawah gedung Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah. Saya mengamati orang yang menyandang tas kecil dan di sampingnya ada dua kresek berwarna merah besar yang saya tidak tahu apa isinya.
Lho, bukankah orang itu adalah Lan Fang? Kata saya mereka-reka. Baru pada jarak yang cuma 10 meter, saya bisa memastikan bahwa orang itu adalah Lan Fang, penulis novel Ciuman Dibawah Hujan. Saya pun heran melihatnya, toleh kanan toleh kiri, seperti orang yang sedang kebingungan.
Mengapa dia berada di sini? Pertanyaan kedua muncul. Akhirnya saya memberanikan diri menyapanya. Siapa tahu orang yang jauh-jauh datang dari Surabaya itu butuh bantuan.
“Sampeyan, Mbak Lan Fang, kan?” sapa saya. Saya tahu, dia biasa dipangil Cece Lan Fang di sini. Tapi karena saya sedikit gugup, ya, yang keluar bukan “Cece” tapi “Mbak”.
“Lho kok tahu. Kamu siapa?” dia malah balik bertanya.
Langsung saja saya jawab. ”Saya adalah orang yang sangat suka pada karyanya mbak. Mbak lagi nunggu siapa?” tanyaku lagi.
“Saya nunggu Neng Ovie (Shofiah A. Win). Adik tahu, rumahnya Neng Ovie?”
“Tahu, Mbak. Apa k perlu saya antar ke dhelem beliau?” Saya menawarkan diri.
“Oh, kalau begitu mari tolong saya antarkan ke rumahnya Neng Ovie,” katanya langsung berdiri.
Wah, tawaran itu sangat menyenangkan hati saya. Betapa tidak, dia adalah orang ke dua yang tulisannya sangat saya sukai setelah mas Seno Gumira Aji Darma. Langsung saja saya sambar kedua kresek yang ada di sampingnya.
Lalu, saya terlibat remeh-temeh pembicaraan dengannya dan menanyakan kenapa dia berada di sini—seperti orang yang sedang kebingungan—kenapa kok tidak langsung saja ke tempat acara. Ia menjawab Travell yang ia tumpangi menumpahkannya di simpang tiga toko ABC (Annuqayah Business Centre). Alasan supirnya, jalan ke kampus yang tinggal kurang lebih 200 meter bukan rutenya lagi. Maklum, meski jalannya beraspal, jika dimasuki mobil hanya bisa dipakai satu arah.
Begitulah, dalam perjalanan, saya banyak bertukar cerita seputar dunia kepenulisan. Saya juga mengatakan kalau saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. Ia tersipu-sipu. Dari sinilah pertemanan saya dengannya dimulai.
Komunikasi saya dan Lan Fang semakin terjalin. Usai mengisi acara bedah buku, saya berkesempatan untuk mewawancarainya untuk dimuat di blog annuqayah www.annuqayah.blogspot.com.
Kedatangannya ke PP Annuqayah kala itu adalah yang ke tiga kalinya. Sebelumnya ia pernah mengisi workshop kepenulisan yang diadakan oleh Madaris 3 PP Annuqayah (29/07/2010) serta pada pelatihan menulis fiksi dalam lanjutan kegiatan karantina menulis PPA Lubangsa Putri (05/02/2011).
Dia banyak berkomentar tentang Annuqayah. Ia mengatakan bahwa Annuqayah adalah rumah keduanya. Bukan tanpa alasan perempuan yang mengaku telah menekuni karir di dunia kepenulisan sejak tahun 1986, mengatakan demikian. Ia sangat tersanjung atas sambutan orang-orang pesantren yang sangat ramah. Di samping itu, ia juga sudah sangat berteman baik dengan K Faizi, Neng Ovie, Gus Mamak, dan keluarga mereka.
“Pesantren di sini sangat bagus. Nilai-nilai kepesantrennya sangat terjaga seperti akhlakul karimah. Berani bersikap terbuka dengan dunia luar selama tidak merusak nilai-nilai kepesantrenan. Saya merasa nyaman di sini,” katanya.
Perempuan kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970, menilai bahwa animo santri untuk menulis sangat besar. Tetapi dari sisi kuantitas tersebut, ternyata kualitas tulisan mereka masih jauh di bawah rata-rata. Menurutnya, kerendahan kualitas itu dikarenakan kurang menjiwai dan merenungi terhadap apa yang ditulisnya.
“Kebanyakan penulis sekarang memang maunya yang instan, ingin cepat-cepat menyelesaikan tulisannya. Padahal dalam menulis itu perlu banyak mengali gagasan-gagasan yang diikuti dengan sebentuk perenungan, apakah tulisan itu sudah menjawab inti persoalan yang akan diangkat,” tuturnya dengan semangat.
Lantas dia mencontohkan pada perayaan ulang tahun Indonesia-Tionghoa (Inti) tahun 2008. Lomba menulis cerpen se-Jawa Timur adalah salah satu bagian dari perayaan itu. Kebetulan, ia yang menjadi jurinya. Lan Fang kaget, ternyata naskah cerpen yang banyak masuk dari kabupaten Sumenep. Namun, dari sekian ratus naskah yang masuk itu tidak ada satu pun yang lolos seleksi dan menjadi juara.
“Tetapi ketika mereka mengekspresikannya dalam bentuk fisik, misalkan teater dan baca puisi, performanya top banget. Mereka bisa sangat menjiwainya. Bahkan hati saya juga tersentuh ketika menontonnya. Contohnya, pada perayaan Festifal Sastra Surabaya (FSS) 2010. Dalam teater dan baca puisi, pemenangnya didominasi oleh orang-orang sini (Madura),” ungkapnya panjang.
Saya pun semakin akrab, sering berkomunikasi via facebook. Banyak hal yang dibicarakan, terutama tentang dunia tulis menulis. Ibu dari tiga anak kembar itu tidak sungkan-sungkan berbagi ilmu dengan menjawab beberapa pertannyaan saya seputar kepenulisan. Bahkan saya sempat menawarkan kepadanya untuk bersedia menjadi editor novel pertama saya, Asmara Dibalik Asrama. Dia tidak mau. Katanya terlalu banyak pekerjaan.
Pada suatu kesempatan, saya memposting cerpen saya yang ditahbiskan sebagai juara pertama pada event FCB III itu. Judulnya Ziarah. Lan Fang adalah salah satu orang yang di-add dalam catatan itu. Ia banyak berkomentar bahwa tulisan saya kurang ini dan itu, tetapi dari penceritaan dan pesan moral yang diangkat sudah bagus. Katanya, “pantaslah cerpen ini ditahbiskan sebagai pemenangnya.”
Saya semakin bersemangat untuk menulis. Memperbaiki beberapa kesalahan dan yang terlupakan ketika merangkai kata, sesuai dengan apa yang diajarkannya.
Pada suatu kesempatan dikemudian hari pada akhir bulan Mei, saya diajak turut serta berpartisipasi pada kegiatan yang ia gagas, yaitu Parade Cerpen Untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos. Mbak Sanie adalah seorang sastrawan yang divonis mengidap penyakit kangker payudara sejak awal tahun 2011. Maka kemudian terpilihlah orang-orang yang akan ikut pada parade cerpen itu: Lan Fang, saya, Wina Bojonegoro, dan Musa Hasyim, santrinya KH Salahuddin Wahid, Tebu Ireng Jombang.
Pada awal bulan Juli, parade cerpen itu dimulai. Diawali dengan Bai She Jing cerpen Lan Fang (10/07), Cerita Panjang di Sebuah Kereta cerpen Musa Hasyim (17/07), Kubah cerpen Fandrik Ahmad (31/07), Lelaki Berbulu Cerpen Wina Bojonegoro (06/08), dan sebagai penutup Kembang Pepaya Cerpen Sanie B Kuncoro.
Bulan Ramadhan, Tanggal 17 Agustus 2011, saat mudik ke Jember, saya menyempatkan diri mampir di rumahnya, di perumahan Pondok Maspion Ea 11 Pepelengi, Waru, Sidoarjo. Itulah saya datang ke rumahnya pertama kali. Disamping bersilaturrahmi, saya ingin mengambil kumpulan cerpen mbak Sanie B Kuncoro sebagai cindera mata untuk saya yang dititipkan kepadanya. Oh, ya, kala itu saya juga membawa titipan 15 batik dari Neng Ovie. Kata beliau batik itu memang pesanan Lan Fang.
Cukup lama saya berada di rumahnya. Dari jam 11.00-17.00 WIB. Sehingga pertemanan saya dengan ketiga anak kembarnya; Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala terjalin dengan baik. Mereka sangat ramah dan mudah bergaul. Saya tidak banyak berbicara dengan Lan Fang. Setelah saya datang, ia langsung keluar membawa batik itu. Katanya untuk dibagi-bagikan sebagai hadiah menjelang lebaran. Namun, sebelum ia keluar rumah, dia memberikan saya tiga bungkus kopi bubuk yang kemudian saya bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan sebagai pengantar cerita perihal kunjungan saya ke rumahnya.
Dari ketiga anaknya, saya paling dekat dengan Koko, bocah tergemuk dan terpendek diantara dua saudaranya. Bahkan, saya diajak berkenalan dengan ayam-ayam piaraannya. Saya diajari tentang macam-macam ras ayam; nama-nama ayam, dari negara apa, dan hasil kawin silang dengan apa, dlsb. Kami terlibat tawa ceria ketika ayam-ayamnya diuber-uber oleh kucing piaraannya sendiri. Setelah itu, giliran saya yang mengajarinya tentang bagaimana caranya menyetek bunga. Waktu itu saya mencontohkan dua bunga mawar beda warna, merah dan kuning, yang dijadikan satu.
Pertemuan kedua saya dengan alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA) jatuh pada hari Jumat sore tanggal 09 September 2011 Pukul 15.45 WIB. Lagi dan lagi. Ketiga anaknya menyambut saya dengan sangat gembira. Kesan yang sangat tidak akan saya lupakan.
Sepuluh menit kemudian, Musa Hasyim, santri asal Tebu Ireng, Jombang itu tiba pula di rumah Lan Fang. Setelah melaksanakan solat Ashar, kami bertiga langsung menuju kantor redaksi Jawa Pos, Jl. A. Yani lt.4 Surabaya. Menurut Lan Fang, pak Budi Dharma dan Mbak Sanie sudah menunggu kami di sana. Mendengar nama pak Budi disebut, ada kebanggaan tersendiri bagi saya, karena akan bertemu dengan begawan sastra sekaligus Guru Besar Emeritus di Universitas Surabaya. Kami sempat pose bersama dengan pak Budi sekaligus memamerkan cerpen-cerpen kami yang tergabung dalam parade cerpen tersebut.
Setelah prosesi penyerahan donasi cerpen, kami sempat berkunjung ke kantor redaksi tabloid Nyata. Ditemani pak Siswadi, kami bermusyawarah bagaimana melanjutkan parade cerpen itu. Lan Fang mengusulkan agar parade itu dilanjutkan kembali di tabloid Nyata dengan format yang berbeda, misalkan satu judul yang sama tentang perempuan. Entah bagaimana caranya, hal ini belum menuai kesepakatan. Tetapi pada intinya, ia menginginkan agar nantinya cerpen-cerpen dalam parade itu dibukukan menjadi semacam antologi atau booklet. Karena waktu yang sudah terlalu malam, musyawarah hanya mentok di situ tanpa menghasilkan satu kesepakatan pun.
Tidak hanya itu, di di depan kantor redaksi tabloid Nyata, satu lantai di bawah kantor Jawa Pos, saya, Lan Fang dan penulis lainnya masih narsis-narsisan, jeprat-jepret dengan berbagai pose sebelum kami keluar Graha Pena.
Pukul 19.08 WIB, kami sudah berada di depan Graha Pena. Mbak Wina dan Mbak Sanie mohon pamit. Musa Hasnyim dengan temannya ke Royal Plaza. Tinggal saya dengan Lan Fang. Ia menawarkan apakah langsung tolak ke Madura atau mau menginap di rumahnya. Karena dimungkinkan Jam dua belas malam saya baru sampai di pondok, saya memilih menginap di rumahnya saja.
Esok hari, pukul enam pagi, saya pamit pulang kepada pembantunya. Namun ia tak mengizinkan karena Lan Fang masih tidur. Saya disuruh menunggunya bangun. Sampai jam setengah tujuh Lan Fang dan ketiga anaknya masih belum bangun. Saya pulang ketika mereka masih terlelap.
Ketika sampai di halaman rumahnya, ketiga anaknya yang sedari tadi masih tidur, bagun terburu-buru. Berhamburan keluar menyalami saya. Saya pandangi wajah mereka satu-satu. Lucu sekali: mata mereka merem melek dengan rambut acak-acakan.
“Kapan-kapan kembali lagi ya, kak. Aku masih ingin bermain lagi dengan kakak,” kata dik Koko. Saya hanya menjawab dengan senyuman serta mengucek kepalanya.
Memasuki penyebrangan Tanjung Perak-Kamal, isyarat pesan masuk berbunyi. Lan Fang, “maaf drik, saya tidak bisa mengantarkanmu ke terminal. Semalaman saya capek.” Saya balas, “tidak apa-apa ce, justru saya yang meminta maaf karena tidak menunggu cece bangun.”
Sebulan setelah itu, K Faizi mengabarkan kalau ia sedang sakit. Karena khawatir akan kesehatannya, saya mengirim SMS, “ce, bagaimana kabarnya? Katanya cece sakit?” Tak lama kemudian balasan itu datang, ”ah, tidak apa-apa, cuma pusing karena kecapean, dibawa istirahat sudah pada sembuh.” Saya lega. Saya bisa terima alasan itu karena yang saya ketahui saat mengunjungi rumahnya, ia sepertinya orang yang super sibuk. Kesimpulan saya, wajar bila demikian.
Tanggal 20 Desember 2011, sepulang acara Workshop di Universitas Jember, saya mendengar kabar dari Mbak Wina via facebook kalau Lan Fang akan diberangkatkan besok (21/12) Ke Ghuangzou untuk dioperasi. Saya terkejut, kenapa harus ke luar negeri? Apa sakitnya parah? Ini sayang saya klarifikasi kepada mbak Wina bahwa ternyata ternyata ia menderita penyakit kanker liver, katanya (namun media menyebutkan kalau ia Menderita kanker payudara. Entahlah dimana yang benar).
Seandainya saya tahu sehari sebelum tanggal 20 Desember kalau Lan Fang sakit, saya pasti menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Sungguh, ini yang saya sesalkan.
Hingga sampai pada hari kelima, ketika semua umat kristiani merayakan hari Natal, penulis yang kerap memenangkan lomba yang diadakan oleh Femina itu menutup mata untuk selamanya. Semua masyarakat sastra merasa kehilangan salah satu penulis terbaiknya. Ya, Meski Lan Fang masih tergolong penulis yang muda (41), karya-karya yang dihasilkan sangat banyak. Baik cerpen, prosa, dan novel.
Saya ingat betul ketika ia menggagas parade cerpen untuk kesembuhan mbak Sanie agar perempuan penderita kanker payudara itu tetap bersemangat menjalani hari-harinya. Namun, Tuhan memiliki cerita lain. Sebagaimana diberitakan di media, ternyata Lan Fang juga menderita penyakit ganas tersebut. Apakah karena ini alasannya untuk menggagas parade itu? Sama-sama menderita penyakit yang ia derita.
Saya sangat berhutang budi kepadanya. Ia telah sedikit banyak menularkan ilmunya kepada saya. Bukan hanya ilmu sastra, tetapi juga ilmu-ilmu sosial. Lan Fang telah mengorbitkan saya bagaimana menjadi penulis yang peduli terhadap sesama. Saya pernah mengatakan kepadanya,”ce, saya sangat bangga sekali tulisan saya bisa "sedikit" berarti kepada semangat hidup orang lain. dan ini adalah yang terindah dalam sejarah kepenulisan saya.” Ia mengatakan, “like!”
Dialah guru sastra saya. Saya akan berusaha mengumpulkan seluruh karya-karyanya. Kemudian saya akan mempelajari dan meniru bentuk karakter tulisannya, agar saya merasakan kalau Lan Fang tetap hidup dalam tulisan-tulisan saya.
Selamat jalan, Ce. Selamat jalan bersama ajaran agamamu di alam sana. Saya akan selalu merinduimu. Terima kasih atas semuanya. Saya akan berusaha menjadi penulis yang cece inginkan.
Annuqayah, 27 Desember 2011
***
Saya termasuk orang yang terlambat mendengar kabar kematian sastrawan Lan Fang. Ketika ia meninggal dunia bertepatan dengan hari Natal 2011, di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura, Minggu siang, ketika seluruh umat kristiani merayakan hari Natal. Saya baru mendengar kabar itu dari teman setelah solat maghrib.
Saya tidak lantas memercayainya. Mengapa Rumah Sakit Mont Elisabeth Singapura? Padahal lima hari lalu saya mendapat kabar kalau ia akan dirujuk ke Ghuangzou, Tiongkok. Saya pastikan kebenaran kabar itu via facebook. Ternyata, seluruh teman-temannya sudah meletupkan duka cita di jejaring sosial itu. Tak terkecuali mbak Wina Bojonegoro sahabat dekatnya.
Kesedihan bersesak. Kehilangan berurai air mata, ketika saya membaca catatan yang ditag oleh Mbak Wina. Saya sangat merasakan betul tentang rasa kehilangan yang dirasakan olehnya dan oleh para sastrawan lainnya. Saya merasa tidak seberuntung Mbak Wina—meski keberuntungan itu terasa menyakitkan—karena sempat menemaninya berjuang di masa-masa kritis hingga menjelang kematian.
Ketika sudah tiada, waktu saya sadari berjalan cepat. Saya bertemu dengannya ketika ia diundang untuk membedah novelnya Ciuman Dibawah Hujan, pada moment Festifal Cinta Buku III (FCB) Instik Annuqayah, kampus saya, bulan Maret lalu. Saya sempat mencatat luapan kegembiraan saya ketika bertemu dengannya. Begini ceritanya.
Setelah selesai Solat Jumat (20/5), saya langsung turun dari Masjid Jamik Annuqayah menuju kantor Sekretariat Bersama PP Annuqayah yang terletak di simpang tiga jalan menuju kampus, tepatnya sebelah utara Madrasah Ibtidaiyah (MI) Annuqayah. Saya sengaja cepat-cepat turun dari masjid karena harus mengerjakan dan menyelesaikan satu tulisan untuk rubrikasi pada buletin yang akan diterbitkan oleh Biro Publikasi, Informasi dan Kepustakaan, PP Annuqayah.
Siang itu, terik matahari menyengat ubun-ubun. Saya mempercepat langkah agar segera menyelesaikan tulisan sebelum saya menghadiri acara bedah buku Ciuman Dibawah Hujan di Auditorium As-Syarqawi. Bagi saya, menghadiri bedah buku itu adalah wajib, karena saya sangat senang dengan karakter tulisannya.
Saking terburu-buru, badan saya mandi keringat. Untung saya memakai dua pakaian: kaos lengan panjang dan baju koko yang semuanya berwarna cokelat, sehingga keringat yang keluar dari punggung, dada, dan (maaf) ketiak saya tidak kelihatan. Hanya, wajah saya saja yang ketahuan banjir keringat.
Pada jarak kira-kira 25 meter dari simpang tiga itu, saya melihat seseorang yang tengah duduk di pingir jalan, di bawah gedung Madrasah Ibtidaiyah Annuqayah. Saya mengamati orang yang menyandang tas kecil dan di sampingnya ada dua kresek berwarna merah besar yang saya tidak tahu apa isinya.
Lho, bukankah orang itu adalah Lan Fang? Kata saya mereka-reka. Baru pada jarak yang cuma 10 meter, saya bisa memastikan bahwa orang itu adalah Lan Fang, penulis novel Ciuman Dibawah Hujan. Saya pun heran melihatnya, toleh kanan toleh kiri, seperti orang yang sedang kebingungan.
Mengapa dia berada di sini? Pertanyaan kedua muncul. Akhirnya saya memberanikan diri menyapanya. Siapa tahu orang yang jauh-jauh datang dari Surabaya itu butuh bantuan.
“Sampeyan, Mbak Lan Fang, kan?” sapa saya. Saya tahu, dia biasa dipangil Cece Lan Fang di sini. Tapi karena saya sedikit gugup, ya, yang keluar bukan “Cece” tapi “Mbak”.
“Lho kok tahu. Kamu siapa?” dia malah balik bertanya.
Langsung saja saya jawab. ”Saya adalah orang yang sangat suka pada karyanya mbak. Mbak lagi nunggu siapa?” tanyaku lagi.
“Saya nunggu Neng Ovie (Shofiah A. Win). Adik tahu, rumahnya Neng Ovie?”
“Tahu, Mbak. Apa k perlu saya antar ke dhelem beliau?” Saya menawarkan diri.
“Oh, kalau begitu mari tolong saya antarkan ke rumahnya Neng Ovie,” katanya langsung berdiri.
Wah, tawaran itu sangat menyenangkan hati saya. Betapa tidak, dia adalah orang ke dua yang tulisannya sangat saya sukai setelah mas Seno Gumira Aji Darma. Langsung saja saya sambar kedua kresek yang ada di sampingnya.
Lalu, saya terlibat remeh-temeh pembicaraan dengannya dan menanyakan kenapa dia berada di sini—seperti orang yang sedang kebingungan—kenapa kok tidak langsung saja ke tempat acara. Ia menjawab Travell yang ia tumpangi menumpahkannya di simpang tiga toko ABC (Annuqayah Business Centre). Alasan supirnya, jalan ke kampus yang tinggal kurang lebih 200 meter bukan rutenya lagi. Maklum, meski jalannya beraspal, jika dimasuki mobil hanya bisa dipakai satu arah.
Begitulah, dalam perjalanan, saya banyak bertukar cerita seputar dunia kepenulisan. Saya juga mengatakan kalau saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. Ia tersipu-sipu. Dari sinilah pertemanan saya dengannya dimulai.
Komunikasi saya dan Lan Fang semakin terjalin. Usai mengisi acara bedah buku, saya berkesempatan untuk mewawancarainya untuk dimuat di blog annuqayah www.annuqayah.blogspot.com.
Kedatangannya ke PP Annuqayah kala itu adalah yang ke tiga kalinya. Sebelumnya ia pernah mengisi workshop kepenulisan yang diadakan oleh Madaris 3 PP Annuqayah (29/07/2010) serta pada pelatihan menulis fiksi dalam lanjutan kegiatan karantina menulis PPA Lubangsa Putri (05/02/2011).
Dia banyak berkomentar tentang Annuqayah. Ia mengatakan bahwa Annuqayah adalah rumah keduanya. Bukan tanpa alasan perempuan yang mengaku telah menekuni karir di dunia kepenulisan sejak tahun 1986, mengatakan demikian. Ia sangat tersanjung atas sambutan orang-orang pesantren yang sangat ramah. Di samping itu, ia juga sudah sangat berteman baik dengan K Faizi, Neng Ovie, Gus Mamak, dan keluarga mereka.
“Pesantren di sini sangat bagus. Nilai-nilai kepesantrennya sangat terjaga seperti akhlakul karimah. Berani bersikap terbuka dengan dunia luar selama tidak merusak nilai-nilai kepesantrenan. Saya merasa nyaman di sini,” katanya.
Perempuan kelahiran Banjarmasin, 5 Maret 1970, menilai bahwa animo santri untuk menulis sangat besar. Tetapi dari sisi kuantitas tersebut, ternyata kualitas tulisan mereka masih jauh di bawah rata-rata. Menurutnya, kerendahan kualitas itu dikarenakan kurang menjiwai dan merenungi terhadap apa yang ditulisnya.
“Kebanyakan penulis sekarang memang maunya yang instan, ingin cepat-cepat menyelesaikan tulisannya. Padahal dalam menulis itu perlu banyak mengali gagasan-gagasan yang diikuti dengan sebentuk perenungan, apakah tulisan itu sudah menjawab inti persoalan yang akan diangkat,” tuturnya dengan semangat.
Lantas dia mencontohkan pada perayaan ulang tahun Indonesia-Tionghoa (Inti) tahun 2008. Lomba menulis cerpen se-Jawa Timur adalah salah satu bagian dari perayaan itu. Kebetulan, ia yang menjadi jurinya. Lan Fang kaget, ternyata naskah cerpen yang banyak masuk dari kabupaten Sumenep. Namun, dari sekian ratus naskah yang masuk itu tidak ada satu pun yang lolos seleksi dan menjadi juara.
“Tetapi ketika mereka mengekspresikannya dalam bentuk fisik, misalkan teater dan baca puisi, performanya top banget. Mereka bisa sangat menjiwainya. Bahkan hati saya juga tersentuh ketika menontonnya. Contohnya, pada perayaan Festifal Sastra Surabaya (FSS) 2010. Dalam teater dan baca puisi, pemenangnya didominasi oleh orang-orang sini (Madura),” ungkapnya panjang.
Saya pun semakin akrab, sering berkomunikasi via facebook. Banyak hal yang dibicarakan, terutama tentang dunia tulis menulis. Ibu dari tiga anak kembar itu tidak sungkan-sungkan berbagi ilmu dengan menjawab beberapa pertannyaan saya seputar kepenulisan. Bahkan saya sempat menawarkan kepadanya untuk bersedia menjadi editor novel pertama saya, Asmara Dibalik Asrama. Dia tidak mau. Katanya terlalu banyak pekerjaan.
Pada suatu kesempatan, saya memposting cerpen saya yang ditahbiskan sebagai juara pertama pada event FCB III itu. Judulnya Ziarah. Lan Fang adalah salah satu orang yang di-add dalam catatan itu. Ia banyak berkomentar bahwa tulisan saya kurang ini dan itu, tetapi dari penceritaan dan pesan moral yang diangkat sudah bagus. Katanya, “pantaslah cerpen ini ditahbiskan sebagai pemenangnya.”
Saya semakin bersemangat untuk menulis. Memperbaiki beberapa kesalahan dan yang terlupakan ketika merangkai kata, sesuai dengan apa yang diajarkannya.
Pada suatu kesempatan dikemudian hari pada akhir bulan Mei, saya diajak turut serta berpartisipasi pada kegiatan yang ia gagas, yaitu Parade Cerpen Untuk Sanie B Kuncoro di Jawa Pos. Mbak Sanie adalah seorang sastrawan yang divonis mengidap penyakit kangker payudara sejak awal tahun 2011. Maka kemudian terpilihlah orang-orang yang akan ikut pada parade cerpen itu: Lan Fang, saya, Wina Bojonegoro, dan Musa Hasyim, santrinya KH Salahuddin Wahid, Tebu Ireng Jombang.
Pada awal bulan Juli, parade cerpen itu dimulai. Diawali dengan Bai She Jing cerpen Lan Fang (10/07), Cerita Panjang di Sebuah Kereta cerpen Musa Hasyim (17/07), Kubah cerpen Fandrik Ahmad (31/07), Lelaki Berbulu Cerpen Wina Bojonegoro (06/08), dan sebagai penutup Kembang Pepaya Cerpen Sanie B Kuncoro.
Bulan Ramadhan, Tanggal 17 Agustus 2011, saat mudik ke Jember, saya menyempatkan diri mampir di rumahnya, di perumahan Pondok Maspion Ea 11 Pepelengi, Waru, Sidoarjo. Itulah saya datang ke rumahnya pertama kali. Disamping bersilaturrahmi, saya ingin mengambil kumpulan cerpen mbak Sanie B Kuncoro sebagai cindera mata untuk saya yang dititipkan kepadanya. Oh, ya, kala itu saya juga membawa titipan 15 batik dari Neng Ovie. Kata beliau batik itu memang pesanan Lan Fang.
Cukup lama saya berada di rumahnya. Dari jam 11.00-17.00 WIB. Sehingga pertemanan saya dengan ketiga anak kembarnya; Vajra Yeshie Kusala, Vajra Virya Kusala, dan Vajra Vidya Kusala terjalin dengan baik. Mereka sangat ramah dan mudah bergaul. Saya tidak banyak berbicara dengan Lan Fang. Setelah saya datang, ia langsung keluar membawa batik itu. Katanya untuk dibagi-bagikan sebagai hadiah menjelang lebaran. Namun, sebelum ia keluar rumah, dia memberikan saya tiga bungkus kopi bubuk yang kemudian saya bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan sebagai pengantar cerita perihal kunjungan saya ke rumahnya.
Dari ketiga anaknya, saya paling dekat dengan Koko, bocah tergemuk dan terpendek diantara dua saudaranya. Bahkan, saya diajak berkenalan dengan ayam-ayam piaraannya. Saya diajari tentang macam-macam ras ayam; nama-nama ayam, dari negara apa, dan hasil kawin silang dengan apa, dlsb. Kami terlibat tawa ceria ketika ayam-ayamnya diuber-uber oleh kucing piaraannya sendiri. Setelah itu, giliran saya yang mengajarinya tentang bagaimana caranya menyetek bunga. Waktu itu saya mencontohkan dua bunga mawar beda warna, merah dan kuning, yang dijadikan satu.
Pertemuan kedua saya dengan alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya (UBAYA) jatuh pada hari Jumat sore tanggal 09 September 2011 Pukul 15.45 WIB. Lagi dan lagi. Ketiga anaknya menyambut saya dengan sangat gembira. Kesan yang sangat tidak akan saya lupakan.
Sepuluh menit kemudian, Musa Hasyim, santri asal Tebu Ireng, Jombang itu tiba pula di rumah Lan Fang. Setelah melaksanakan solat Ashar, kami bertiga langsung menuju kantor redaksi Jawa Pos, Jl. A. Yani lt.4 Surabaya. Menurut Lan Fang, pak Budi Dharma dan Mbak Sanie sudah menunggu kami di sana. Mendengar nama pak Budi disebut, ada kebanggaan tersendiri bagi saya, karena akan bertemu dengan begawan sastra sekaligus Guru Besar Emeritus di Universitas Surabaya. Kami sempat pose bersama dengan pak Budi sekaligus memamerkan cerpen-cerpen kami yang tergabung dalam parade cerpen tersebut.
Setelah prosesi penyerahan donasi cerpen, kami sempat berkunjung ke kantor redaksi tabloid Nyata. Ditemani pak Siswadi, kami bermusyawarah bagaimana melanjutkan parade cerpen itu. Lan Fang mengusulkan agar parade itu dilanjutkan kembali di tabloid Nyata dengan format yang berbeda, misalkan satu judul yang sama tentang perempuan. Entah bagaimana caranya, hal ini belum menuai kesepakatan. Tetapi pada intinya, ia menginginkan agar nantinya cerpen-cerpen dalam parade itu dibukukan menjadi semacam antologi atau booklet. Karena waktu yang sudah terlalu malam, musyawarah hanya mentok di situ tanpa menghasilkan satu kesepakatan pun.
Tidak hanya itu, di di depan kantor redaksi tabloid Nyata, satu lantai di bawah kantor Jawa Pos, saya, Lan Fang dan penulis lainnya masih narsis-narsisan, jeprat-jepret dengan berbagai pose sebelum kami keluar Graha Pena.
Pukul 19.08 WIB, kami sudah berada di depan Graha Pena. Mbak Wina dan Mbak Sanie mohon pamit. Musa Hasnyim dengan temannya ke Royal Plaza. Tinggal saya dengan Lan Fang. Ia menawarkan apakah langsung tolak ke Madura atau mau menginap di rumahnya. Karena dimungkinkan Jam dua belas malam saya baru sampai di pondok, saya memilih menginap di rumahnya saja.
Esok hari, pukul enam pagi, saya pamit pulang kepada pembantunya. Namun ia tak mengizinkan karena Lan Fang masih tidur. Saya disuruh menunggunya bangun. Sampai jam setengah tujuh Lan Fang dan ketiga anaknya masih belum bangun. Saya pulang ketika mereka masih terlelap.
Ketika sampai di halaman rumahnya, ketiga anaknya yang sedari tadi masih tidur, bagun terburu-buru. Berhamburan keluar menyalami saya. Saya pandangi wajah mereka satu-satu. Lucu sekali: mata mereka merem melek dengan rambut acak-acakan.
“Kapan-kapan kembali lagi ya, kak. Aku masih ingin bermain lagi dengan kakak,” kata dik Koko. Saya hanya menjawab dengan senyuman serta mengucek kepalanya.
Memasuki penyebrangan Tanjung Perak-Kamal, isyarat pesan masuk berbunyi. Lan Fang, “maaf drik, saya tidak bisa mengantarkanmu ke terminal. Semalaman saya capek.” Saya balas, “tidak apa-apa ce, justru saya yang meminta maaf karena tidak menunggu cece bangun.”
Sebulan setelah itu, K Faizi mengabarkan kalau ia sedang sakit. Karena khawatir akan kesehatannya, saya mengirim SMS, “ce, bagaimana kabarnya? Katanya cece sakit?” Tak lama kemudian balasan itu datang, ”ah, tidak apa-apa, cuma pusing karena kecapean, dibawa istirahat sudah pada sembuh.” Saya lega. Saya bisa terima alasan itu karena yang saya ketahui saat mengunjungi rumahnya, ia sepertinya orang yang super sibuk. Kesimpulan saya, wajar bila demikian.
Tanggal 20 Desember 2011, sepulang acara Workshop di Universitas Jember, saya mendengar kabar dari Mbak Wina via facebook kalau Lan Fang akan diberangkatkan besok (21/12) Ke Ghuangzou untuk dioperasi. Saya terkejut, kenapa harus ke luar negeri? Apa sakitnya parah? Ini sayang saya klarifikasi kepada mbak Wina bahwa ternyata ternyata ia menderita penyakit kanker liver, katanya (namun media menyebutkan kalau ia Menderita kanker payudara. Entahlah dimana yang benar).
Seandainya saya tahu sehari sebelum tanggal 20 Desember kalau Lan Fang sakit, saya pasti menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Sungguh, ini yang saya sesalkan.
Hingga sampai pada hari kelima, ketika semua umat kristiani merayakan hari Natal, penulis yang kerap memenangkan lomba yang diadakan oleh Femina itu menutup mata untuk selamanya. Semua masyarakat sastra merasa kehilangan salah satu penulis terbaiknya. Ya, Meski Lan Fang masih tergolong penulis yang muda (41), karya-karya yang dihasilkan sangat banyak. Baik cerpen, prosa, dan novel.
Saya ingat betul ketika ia menggagas parade cerpen untuk kesembuhan mbak Sanie agar perempuan penderita kanker payudara itu tetap bersemangat menjalani hari-harinya. Namun, Tuhan memiliki cerita lain. Sebagaimana diberitakan di media, ternyata Lan Fang juga menderita penyakit ganas tersebut. Apakah karena ini alasannya untuk menggagas parade itu? Sama-sama menderita penyakit yang ia derita.
Saya sangat berhutang budi kepadanya. Ia telah sedikit banyak menularkan ilmunya kepada saya. Bukan hanya ilmu sastra, tetapi juga ilmu-ilmu sosial. Lan Fang telah mengorbitkan saya bagaimana menjadi penulis yang peduli terhadap sesama. Saya pernah mengatakan kepadanya,”ce, saya sangat bangga sekali tulisan saya bisa "sedikit" berarti kepada semangat hidup orang lain. dan ini adalah yang terindah dalam sejarah kepenulisan saya.” Ia mengatakan, “like!”
Dialah guru sastra saya. Saya akan berusaha mengumpulkan seluruh karya-karyanya. Kemudian saya akan mempelajari dan meniru bentuk karakter tulisannya, agar saya merasakan kalau Lan Fang tetap hidup dalam tulisan-tulisan saya.
Selamat jalan, Ce. Selamat jalan bersama ajaran agamamu di alam sana. Saya akan selalu merinduimu. Terima kasih atas semuanya. Saya akan berusaha menjadi penulis yang cece inginkan.
Annuqayah, 27 Desember 2011