Friday, September 13, 2013

Rumah Kardus




(80 Naskah Terbaik FAM Indonesia) 

Hujan ruah. Menara kebanggaan negara Indonesia basah. Jakarta menggigil. Air hujan meruak menutupi gorong-gorong, meluber ke jalan. Matahari tak memiliki waktu luang sejenak bercengkrama dengan alam. Tak sempat mengucapkan "selamat pagi", atau sekedar mengecup kening bumi. Mungkinkah sibuk? hingga ia melupakan tugasnya menerangi alam. Atau awan telah membekukan cahayanya? Semua bungkam. Diam. Kota yang mati.

Jerit gedung-gedung pencakar langit meyesakkan dada. Pilu. Tamparan hujan mungkin tak selembut tampatan tangan bayi. Suara rintik yang jatuh di atas atap perumahan, pertokoan dan perkantoran mengundang gelisah. Seperti akan menyembuyikan kehidupan ibukota untuk digantikan dengan satu kata, sejarah. Sejarah kota mati. Genangan air tal lagi bisa dikatakan memalung dari lembah-lembah jalan beraspal yang rusak karena sebagian ruas jalan sudah tergenang air.

Air terus muntah dari gorong-gorong. Sampah-sampah semakin menutup tenggorokan kota. Sesak, terbawa arus deras. Kebiasaan yang tak semestinya dilakukan, hingga harus menjadi korban kebiadaban tangan sendiri. Slogan “jangan membuang sampah sembarangan” hanyalah sebuah hiasan kecil di sepanjang jalan selain baliho-baliho partai yang berdiri menjulang.

Aku duduk mnyendiri di depan toko bercat kuning. Toko Barokah, namanya. Sebuah toko yang menjual aneka bahan bangunan. Toko itu tutup. Sepi. Sangat Sepi. Aku seperti berada di penjara pengasingan. Sebagian besar pusat jual-beli di kota itu semuanya tutup. Barangkali pemiliknya merasa jenuh, enggan membuka toko mengingat derasnya hujan. Mustahil ada pengunjung datang, begitulah sementara anggapan mereka. Paling tidak, pasti hanya bocah-bocah jalanan, bocah-bocah comberan yang selalu ramai dan senang bermain bermandikan air kotor itu. Itulah lingkungan mereka; saling mengejar, bermain petak umpet di emperan pertokoan. Hanya bocah itu yang tawanya pecah, melawan deras hujan dan gelegar petir. Sungguh hujan yang membosankan..

Sandal jepit kumal kujadikan sebagai tempat yang nyaman memandang bilir-bulir hujan yang jatuh dengan drajat kemiringan tertentu. Sebuah sandal jepit, satu-satunya alat yang kumiliki untuk melindungi kaki bajaku dari perjalanan yang terjal ketika menjelajah sudut-sudut kota. Mencari sisa rejeki Tuhan di antara tempat bertuliskan ‘TEMPAT SAMPAH’.

”Jika bermalasan, tidak cakatan, maka bersiaplah mati diujung tangan sendiri. Siapa yang cepat, dia yang dapat.” Kalimat yang pernah dilontarkan ibu menggaung tanpa henti. Kalimat yang yang dihambur-hamburkan oleh segolongan kami. Segolongan cacing tanah yang meliuk-liuk seperti penari ronggeng.

"Sudah untung lelaki sepertimu tidak jadi preman, pencopet atau pekerjaan lain yang menjijikkan menurut ajaran agama kita." Kata paman ketika meleraiku datang ke tempat ini.

Hari ini, hujan menjadi saksi. Benar, apabila Jakarta disebut dengan kota surga oleh bapak saat mendukung kepergianku karena di sana segala kebutuhan akan terpenuhi. Namun, ada yang melenceng dari yang dikatakannya. Kota surga bukan untuk semuanya. Kota surga hanya untuk orang ‘beruang’—aku tak tahu arti kata beruang, aku tahu hanya nama binatang—yang bisa memiliki segalanya. bahkan membeli harga diri.
Tidak salah jika kota jakarta sebenarnya kota neraka, seperti dikatakan ibuku yang dulu berusaha meleraiku untuk pergi. Jakarta akan menjadi kuburan yang menyakitkan bagi yang kalah dalam persaingan, seperti orang-orang yang tak jelas, hanya niat mengadu nasib, tanpa ijazah menjanjikan.

Berbaju dekil dan celana sebatas di atas mata kaki, bagian tumit itu bolong, serta topi jerami Cowboy, sebagian sudah rusak, itulah ciri khasku setiap hari. Jelas, saat hujan seperti ini semua yang kumiliki tak mampu menghadirkan kehangatan dan melindungi tubuh hitam kurus ini dari rasa dingin. Aku mendekap, menahan dingin yang menusuk tulang-belulang. Sekilas aku pandang keranjang besar yang selalu kupanggul menelusuri pasar Senen. Keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, tempat barang bekas yang bisa didaur ulang. Disamping keranjang bersandar sebatang kawat besi panjang. Ujungnya runcing, seperti Celurit, pusaka orang Madura.

Aku mendesah, melihat keranjang itu hanya berisi lima gelas botol Aqua, dua kaleng Susu dan satu botol Coca-Cola. Tidak mungkin meneruskan pekerjaan ini. Dingin telah menggerogoti tenagaku. Keranjangku basah. Hujan semakin marah, seperti ingin melemparkan langit.

Sekilas, petir melesat cepat, menggambarkan wajah tirus ibu.

“Kamu yakin?” Wajah perempuan lanjut usia terbayang jelas. Aku berkaca dari cermin wajahnya yang mulai melepuh. Seorang ibu yang tidak rela melepas buah hatinya pergi merantau.

“Bu, yakinlah. Doa ibu akan menuntunku di sana,“ ucapku lirih. Aku  harus mendapatkan restu ibu agar keberangkatanku tidahk akan menjadi dan tanpa beban. Bikankah surga itu berada di telapak kaki ibu?

“Kata, Kang Rahman, di sana itu tempatnya preman,” Ibu tetap berat melepasku.

“Dengan lembaran ijasah SMA-ku, aku ingin berjuang di sana. Kota yang disebut kejam itu akan aku taklukkan.”

“Jangan paksakan dirimu!”

“Aku tidak ingin ibu menjadi kepala sekaligus ibu rumah tangga sejak bapak terus sakit-sakitan. Aku tak tega melihat Ibu naik dan turun gunung hanya demi mengepulkan dapur.”

“Tak usah pikirkan itu,” air mata ibu hampir tumpah.

“Benar, hanya Aku tak ingin adik-adikku diolok-olok oleh mereka.”

“Nak! Allah Maha tahu terhadap hambanya. Dia Maha adil. Kita berkumpul seperti ini sudah kenikmatan yang sangat luar biasa, hanya kita tak menyadarinya. Jangan terlalu rakus terhadap dunia. Dunia ini luas, tidak seperti kandang ayam di belakang rumah kita.”

“Tapi, apakah kita harus berdiam diri meratapi nasib, mematung dengan keadaan seperti ini? Ibu aku ingin jadi anak yang baik. Aku ingin membuat Ibu bahagia.”

“Ibu sudah bahagia dengan keadaan seperti ini. Cukup. Hanya ini.”

“Tidak denganku, bu. Aku belum cukup mampu menerima ini semua. Menerima ejekan Ki Bandol yang menyebut kita tidak mampu melunasi hutang.”

"Kenyataannya!"

Kuraih erat kedua tangannya. Tangan itu masih lembut dari tangan Srikandi. Aku berusaha meyakinkan ibu agar tak ada setitik pun kecemasan yang tertinggal di hatinya.

”Juga demi impian ibu. Bukankah Ibu ingin pergi ke tanah suci?”

“Lupakan! Lupakan bila harus kehilanganmu.”

“Bu, yakinlah! Aku akan kembali ke pangkuan Ibu.”

”Berat sekali melepasmu! Nak.”

Air mataku tak dapat dibendung lagi. Bendugan itu ambruk oleh perasaan sedih seorang Ibu. Ingin aku meneriakkan kepada semesta tentang kesakitan hati ini. Namun, bisaku hanya memeluk ibu seerat mungkin dan mengusap mutiara kasih ibu yang mengalir.

Pelukan terakhir Ibu berkelebat di kepala. Pelukan yang aku rasakan selama dua tahun terakhir. Langit masih kelabu. Sedikit kurasa, ada yang menetes dari mataku saat rumput ilalang melambaikan kerinduan. Butiran padi kuning menghampar, anak gembala sapi yang ceria, bersama pagi dan seruling kecilnya. Aku tak ingin jauh dari pangkuan Ibu. Tapi, karena tuntutan ekonomi dan impian ibu, terpaksa aku melakukannya kendati ibu tak pernah menuntut. Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuk ibu.

Kilatan petir terus memotret kota. Garang. Menakutkan. Aku beringsut sedikit. Air mulai merembesi tempat yang tengah kududuki. Samar-samar telingku mendengar derek pintu dari belakang. Pemilik Toko keluar, membawa tempat sampah. Tanpa beban ia melemparkan sampah pada genangan air. Ada seberkas harapan tumbuh. Berharap ada pertolongan darinya, untukku. setidaknya memberiku sedikit pengganjal perut. Sejak pagi itu, aku cuma makan satu buah pisang dan segelas air putih. Sekarang, perutku mulai berdemonstrasi kembali, meminta subsidi kembali. Senyum kurekahkan untuk menarik simpati si empu toko. Ia tersenyum sinis, kecut, dan kembali menutup pintu. Menghiraukan aku dan sampah yang bertebaran di hadapanku.

“Ingat! Di sana hidup sendiri-sendiri. Kamu harus bisa seperti ikan di laut. Kendati hidup di air asin, ikan tidak ikut asin. Satu lagi paling utama, peliharalah shalatmu, jagalah imanmu,” Aku ingat petuah ustadz Abdul Karim saat aku minta restu darinya. Sosok guru Alif yang begitu aku hormati. Aku dilahirkan dari golongan sampah namun bukan berarti orang yang berhati sampah.

***
Panggilan suci mengakhiri bergulirnya mega merah yang membias langit sebelum dihempas gelap. Aku telah bersuci memenuhi panggilan itu, menunaikan solat maghrib dan isyak berjama’ah di Masjid Ar-Rahman. Selanjutnya aku memilih berdiam diri di rumahku yang hanya berukuran 2 X 4 meter.  Di luar, angin berhembus pelan. Ada gerimis yang membuat dingin semakin berpetualang. Aku menghidupkan radio, satu-satunya penghibur di istana kecilku.

Di pos ronda, tetanggaku asik menikmati segelas kopi. Mereka sedang membicarakan sesuatu. Entahlah, apa yang dibicarakan. Biasanya aku juga ikut nimbrung di sana. Tetapi kali ini aku merasa sangat lelah. Baisanya, mereka hanya sering membicarakan topik-topik yang tak jauh berbeda dari yang biasa diobroli setiap malam. Apalagi kalau bukan soal bermain kucing-kucingan dengan Satpol PP atau berbagi cerita mengenai rejeki yang diperoleh. Tapi, hari itu kelihatannya mereka sangat serius!   

***
Pagi cerah sekali. Langit seakan menjanjikan rejeki sebanyak-banyaknya. Langit seakan berjanji tidak akan menurunkan hujan. Ranjang dan kawat bengkok itu telah kupersiapkan. Teman-teman yang lain telah melambaikan tangannya. Matahari mulai mengecup kening bumi. Dengan lembut ia menaburkan cahaya pada hingar-bingar aktifitas ribuan manusia.

Matahari sudah membentuk sudut 60 Derajat. Keranjangku sudah hampir penuh. Aku berencana mengakhiri pekerjaanku sejenak. Sudah lelah kakiku berpijak. Di tengah perjalanan pulang, segerombolan orang yang kukenal lari pontang-panting, seperti prajurit-prajurit dalam perang badar.

“Bang…ada apa? Apa yang terjadi?” Tanyaku pada Bang Pardi. Tangannya kupengang erat tetapi dirinya berusaha melepaskan diri.

“Hancur…Hancur.” Nafasnya tersegal-segal, ingin segera pergi. Bang Pardi seperti orang kesurupan.

“Tenang… tenang. Sekarang ceritakan apa yang terjadi,” aku bersikap lebih tenang.

“Ada penggusuran, tempat kita akan digusur!” Kang Pardi berlalu seketika.

Petir seperti turun secara tiba-tiba, lebih keras dari biasanya. Benarkah demikian? Aku tak percaya, pasti ini salah duga. Kaki  kecilku segera berlari ke arah suara yang menimbulkan keributan. Dua buah Hotmix besar dengan tenang melahap kompleks perumahan tanpa mempedulikan teriakan dan perlawanan korban penggusuran itu. Istana kecilku tak tampak lagi. Mungkinkah sudah menyatu dengan tanah?

Tatapanku kosong. Yang terlihat hanyalah harapan wajah tirus ibu.
Jember, Pembuari 2013