Tuesday, August 27, 2013

Solat



Sepulang dari tanah suci, Haji Kamil kerap terlihat di Masjid. Tak sulit mencarinya bila tidak ada di rumah. Cari saja di masjid, pasti ketemu!

Usai menyempurnakan rukun Islam, Haji Kamil tampak berbeda. Setiap azan solat berkumandang, ia sudah berada masjid mendahului Sohib, takmir yang bertugas sebagai muadzin. Kalau Sohib terlambat, Haji Kamil bisa menjadi muazin sehingga keberadaannya di masjid cukup meringankan pekerjaan muazin.

Selain Haji Kamil, tak ada orang yang datang lebih awal daripada muazin. Orang-orang yang ingin solat berjemaah baru datang ketika ikamah berkumandang. Itupun yang datang dapat dihitung dengan jari. Masjid itu mendapat jemaah paling banyak dua saf pada waktu Magrib. Isya, saf sudah berkurang. Bila ingin melihat saf sampai ke belakang, harus menunggu tanggal biru alias jumatan.

Haji Kamil menjelma sebagai sosok haji teladan. Namanya kerap dibawa ketika penduduk kampung tengah bersilaturrahiem ke tetangga yang baru datang berhaji. Saat berjabat tangan dan saling rangkul, mereka kerap mengatakan, “Semoga menjadi haji mambur seperti Haji Kamil.”

Sebelum mendapat gelar “pak haji”, di masjid, Haji Kamil hanya tampak pada waktu solat Magrib dan Isya. Kini, berjemaah solat lima waktu benar-benar dijaganya.

Selesai ikamah, tanpa banyak pertimbangan, ia akan maju ke depan. Membaca takbiratul ihram[1] yang kemudian diikuti saf di belakangnya. Sejatinya, ilmu tajwid tak begitu dikuasainya. Tetapi, kehajiannya merupakan putusan yang tak dapat ditawar-tawar. 

Dalam sebuah obrolan kecil, Haji Kamil kerap mengatakan baru sadar—bukan baru tahu—kalau solat berjemaah itu memang lebih baik daripada solat sendirian. Pahala solat berjemaah itu lebih tinggi dua puluh tujuh derajat dari pada shalat sendiri. Dengan terus menjaga solat berjemaah, jalan menuju surga akan terhampar luas, katanya. Tak ada yang lebih indah di hari tua kecuali memohon pertaubatan dan mengharapkan surga.

Bukan hanya itu, Haji Kamil kerap bercerita perihal pengalamannya ketika berada di tanah suci. Dengan nada sumpah, Haji Kamil melihat betapa umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang datang ke tempat itu menitikkan air mata dalam kubangan dosa memohon pertaubatan. Kendati tubuh mereka dililit oleh selembar kain putih, lambang kesucian, mereka tetap merasa diri seorang hamba yang kotor. Lebih kotor dari kain ihram yang membungkus tubuh mereka yang mungkin tak ada sebercak noda yang menempel.

“Mereka menangis. Memohon ampun. Mengharapkan pertaubatan agar mendapat hidayah dan masuk surga,” cerita Haji Kamil menggebu-gebu.
Sebagai seorang yang pernah naik haji, Haji Kamil tak lepas dari peci putih. Jarang sekali penduduk kampung mendapati dirinya mengenakan peci warna lain, apalagi hitam. Gamis selalu dikenakannya saat melaksanakan solat, ditambah dengan janggut yang sengaja dibiarkan memanjang membuat dirinya tampak ke arab-araban.

“Sunnah nabi,” katanya.

Kepada anak-anak yang mengaji di masjid itu, Haji Kamil juga menjadi juru cerita yang baik. Cerita-cerita tentang kehidupan abadi setelah dunia: akhirat, surga, dan neraka, selalu didengung-dengungkan.

***
Ramadan tinggal menunggu waktu. Hampir setahun lebih Haji Kamil berstatus haji. Hampir setahun pula Ridho, anak semata wayang, menimba ilmu di sebuah pesantren tersohor di Jawa Timur. Kini, anak yang kerap disebut lebih mirip istrinya ketimbang Haji Kamil, pulang kampung karena libur panjang bulan Ramadhan.

Sebagai kepala keluarga, Haji Kamil menjaga betul solat anak dan istrinya dan diusahakan untuk selalu solat berjemaah. Urusan solat menjadi perhatian utamanya.

“Ramadan adalah bulan yang penuh berkah,” kata Haji Kamil kepada Ridho di perjalanan pulan usai solat Isya. “Sudah kau jalankan pesanku, Nak?”

Serasa jantung Ridho berdegup lain. “Sudah,” pungkasnya singkat.

Alhamdulillah, Baguslah. Abah memondokkanmu supaya kamu menjadi orang yang benar. Solat dengan benar, karena solat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar,” sesungging senyum beraroma bangga lepas pada anaknya.

Ridho tak bermaksud berbohong. Akan tetapi pertanyaan Haji Kamil yang datang tiba-tiba membuat dirinya reflek mengatakan sudah. Tak apalah, ini urusan sepele. Bagaimana mungkin bisa menjaga solat lima waktu berjemaah, sedangkan kegiatan pondok sangat padat. Lagipula program pesantren hanya mewajibkan santrinya solat berjemaah hanya waktu Magrib, Isya, dan Subuh. Sedangkan Zuhur dan Asar dihukumi mubah, pikirnya.

Berjemaah Solat Zuhur, tak mungkin. Sekolah pulang jam satu siang, sedangkan Kiai Sholeh mengimami di masjid 30 menit lebih awal. Berjamaah solat Asar sering alpa tersebab tidur siang. Kalau sudah bangun kerap tergesa-gesa karena usai Jemaah Asar, pengurus pesantren langsung memburu para santri untuk mengikuti ajian kitab turats[2]. Alasan nakal itulah yang termaktub di pikirannya, kendati solat berjemaah tidak harus di masjid atau bermakmum pada kiai.

Pertanyaan Haji Kamil menjebaknya pada solat berjemaah yang dihukumi wajib dengan yang dihukumi mubah oleh program pesantren. Sejatinya solat lima waktu semua hukumnya wajib. Tetapi pembagian dua hukum itu membuatnya merasa lebih enteng menunaikan solat yang dihukumi mubah daripada yang dihukumi wajib.

Seandainya solat tidak wajib, apakah manusia masih menunaikan solat? Cepat-cepat hati Ridho berseru istigfar.

Bohlam di pelataran rumah sudah tampak. Serangga malam yang kecil-kecil mengerubungi cahaya 5 watt itu. Haji Kamil menyapa Parman yang kebetulan lewat tepat ketika pagar rumah disentuhnya. Akunya, Parman baru datang kondangan. Sementara Ridho tengah terjebak pada pertanyaannya sendiri. Ia berusaha tak memikirkan pertanyaan konyol itu.

“Ada apa, Nak?”

Ah, tidak apa-apa, Bah.”

Gamitan hangat mendarat di bahu Ridho.

***
Hanya berumur sehari, betapa pertanyaan itu menghimpit kepala Ridho. Usai tasyakuran kecil menyambut hari pertama Bulan Ramadan, Ridho tak tahan ingin mengutarakan keingintahuannya. Apakah Abah akan marah, lalu memarahiku atau bisa saja menamparku? Ketakutan mengurungkan niatnya.

Ketika ia coba menjawab sendiri pertanyaan itu, malah yang muncul adalah pertanyaan turunan: kalau solat hukumnya wajib, berarti ada paksaan untuk melaksanakan solat. Ah, kenapa ketika berurusan dengan yang wajib serasa menjadi seorang pemberontak?

Bulan tampak separuh. Desir angin melengkungkan tubuh lelaki tua yang kepalanya dililit sorban. Sebuah tepukan keras di udara menyiratkan kegalakan nyamuk-nyamuk di musim hujan. Gemeretak gigi berpacu dengan denyit lincak yang menyangga tubuhnya. Ia tengah menyaksikan panggung rakyat di televisi.

Ridho berusahan mendekat. Perasaan bimbang menggetarkan bibirnya.

“Belum tidur?”

“Belum ngantuk.”

“Sini. Duduk. Ada tayangan seru.”

Ridho berusaha bersikap tenang. Kedua matanya terus disorongkan kepada Haji Kamil. Mencari celah kecil untuk kesempatan besar.

“Abah.”

“Ya,” jawab Haji Kamil tanpa menoleh. Tayangan di televisi sepertinya lebih menarik ketimbang menatap wajah anaknya. Nafas Ridho tambah berat. 

“Kenapa kita harus melakukan solat?” tanyanya pelan. Secara reflek punggung Haji Kamil bergerak sedikit ke belakang sebelum berganti memalingkan muka. Membaca kening abahnya yang mengerut, bara ketakutan mengelabui pikirannya.

“Kenapa bertanya seperti itu?”

“Tidak apa-apa. Sekedar ingin tahu, Bah,” Haji Kamil menahan pandanganya.

“Kita ini ‘abdun, Nak. Abdi. Hamba. Budak. Sudah seharusnya menjalankan apa yang diperintah oleh tuannya dan menjauhi apa yang dilarangan oleh tuannya. Solat adalah salah satu bentuk ketundukan seorang hamba kepada tuan-Nya.”

“Cuma itu, Bah?” tanyanya datar.

Haji Kamil tak mengerti isi kepala anaknya. Apakah aku memondokkan anakku di tempat yang salah, pikirnya. Tidak mungkin. Pesantren Kiai Sholeh adalah pesantren salaf, mana mungkin anakku diajarkan hal yang bukan-bukan. Dua pikiran membingungkan Haji Kamil. Pikiran anaknya dan pikiran dirinya sendiri.
Kiai Sholeh sendiri dikenalnya sebagai sosok ulama yang hati-hati dalam pesoalan fikih dan akidah. Sebagai alumni, Haji Kamil masih ingat, Kiyai Sholeh muda kerap terlibat diskusi dengan pakar-pakar agama yang bercorak liberal. Argumentasi yang dikeluarkan sudah cukup menjadi penilaian bahwa Kiai Sholeh memang pentolan shalafus shaleh.

“Allah sudah berjanji, barangsiapa yang selalu menegakkan solat, maka ia akan diselamatkan dari siksaan akhirat dan akan berada di tempat yang layak, yakni surga. Solat itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Hukumnya wajib. Orang yang sakit sekarat saja tidak boleh tidak harus tetap solat.”

“Itu dia, Bah.” Haji Kamil mengernyitkan dahi. “Seandainya solat itu tidak wajib, apakah kita tetap melakukan solat?”

Astaghfirullah! Istigfar, Nak. Istigfar!” Hampir saja Haji Kamil melayangkan tangannya ke muka Ridho jika saja tak segera mengontrol emosinya. Ridho ketakutan, air mukanya berubah keruh.

“Maafkan aku, Bah. Aku bukan bermaksud mempertanyakan perkara solat itu wajib atau tidak. Cuma, sebagai manusia, aku merasa melaksanakan solat karena perkara kewajibannya, semacam ada tuntutan melakukan solat,” serak suara Ridho dari sisa keberaniannya.

“Kau tahu apa urusan solat?”

“Ada semacam ketidakikhlasan tersebab harapan ketika melakukan solat, apalagi tidak melakukannya. Termasuk aku. Harapan masuk surga, ketakutan masuk neraka. Padahal, surga dan neraka itu kekal karena dikekalkan. Bagaimana bila nanti Allah, dengan sifat kuasa-Nya meniadakan Surga dan neraka. Kun fayakun[3].”

“Kau terlalu berandai-andai, Nak. Jangan menuhankan akal.”

“Aku tidak menuhankan akal. Aku merasa solatku masih sekedar kewajiban, bukan menjadi kebutuhan. Seandainya solat itu tak wajib, aku tak menjamin terus menjaga keutuhan solat. Aku ingin menjadikan solat sebagai kebutuhan, bukan kewajiban.”

Haji Kamil terpaku. Bagaimana mungkin anaknya berpikir sejauh itu. Dirinya saja, yang sudah sampai ke Baitullah tak bisa menjangkau terlampau jauh.

“Sudah larut malam. Tidurlah. Nanti kau terlambat untuk sahur,” tukas Haji Kamil.

Ridho menghilang di balik pintu dengan kepala menunduk.

Senyap ruangan membuat jam dinding yang tepat di atas Haji Kamil seperti lebih nyaring berdetak. Televisi bercakap-cakap tanpa suara. Haji Kamil menatap kosong. Air jatuh dari sorot matanya yang mulai memudar, tak disadari.

Betapa perkataan Ridho sebelum menyelot pintu kamar menyayat hatinya.

“Aku ingin solat seperti solatnya Abah.”
Jember, 27 Mei 2013




[1] Takbiratul ihrom: takbir pertama saat melaksanakan shalat. Ihram berasal dari kata haram, yang berarti takbir haram. Artinya takbir yang mengharamkan segala yang halal sebelum shalat.
[2] Kitab Turats: kitab yang dikaji di berbagai pesantren. Mengacu pada ciri fisik disebut kitab kuning atau kitab gundul. Dikatakan kitab kuning karena kertasnya berwarna kuning, sedangkan kitab gundul karena tulisan arab di dalam kitab tersebut tak berharkat.
[3] Surat Yasin ayat 82. Ayat ini menjadi simbol atas Maha Kehendak Allah terhadap alam semesta, baik alam nyata maupun alam gaib.

Friday, August 23, 2013

An!


(Majalah Femina, 13-19 Juli 2013)
Ketika kau mencinta, kau selalu merasa dia ada. Sejauh apa kau tetap yakin dia dekat?
Seberkas cahaya pas sekali rebah di mukaku. Kedua mataku menyipit sendiri. Aku jelas terkejut. Kau pasti juga paham mengapa aku terkejut. Ya, cahaya itu menandakan kalau kita bangun kesiangan. Tetapi peristiwa semacam itu kau anggap sebagai adegan lucu; bergelayut manja sembari berucap, “Sudahlah, tak usah kerja. Kita teruskan…” Lalu aku membalas pelukanmu.
Tetapi ketika aku bangun, kau sudah tak berada di tempat tidur. Satu pekerjaan telah kaulupakan. Membangunkanku. Lupakah? Di kamar mandi, bak air kosong melompong. Kukira kau lupa membuka kran air atau memang tak mandi dulu sebelum berangkat. Ah, sejak kapan kau jadi pelupa, An?
Awalnya, keyakinan itu tak sungguh begitu. Dugaku, pekerjaan telah memburumu. Tetapi meja makan yang dibiarkan kosong membuatku bertanya lagi: Benar kau menjadi pelupa?
An, aku kelimpungan memakai dasi karena kau yang biasa memakaikannya. Aku memanggilmu berkali-kali, tapi kau tak datang. Aku ke dapur, tak ada kau di sana. Aku ke belakang, di sana kau tak ada juga. Aku sudah mencarimu ke mana-mana.
Tanah pot bunga di beranda terlihat kering. Kukira kau sengaja tak menyiraminya karena seminggu lalu kau hendak mengganti bunga-bunga itu dengan yang baru. Semuanya. Kesimpulan sudah kubuat. Secarik surat kutulis karena tidak mungkin menunggumu terlalu lama.
Begini isi suratnya: An, aku berangkat. Setelah pulang nanti, aku ingin langsung makan masakanmu. Sebagai bonus, aku akan bawakan buku dongeng yang bagus.
Entah, aku seperti sangat lama tidak makan masakanmu. Masakan yang bagiku tiada tandingannya. Masakan yang menjadi senjata untuk membentuk seorang yang rindu pulang.
“Cukup dengan ini, kau tak akan punya alasan berpaling dariku,” godamu.
Surat itu kutempel di muka pintu. Tempat yang sangat cocok untuk menyapamu ketika pulang nanti. Tingginya kuukur dengan tinggi mukamu. Aku harap sebelum masuk rumah kau tak gelisah dan mencariku sebagaimana aku mencarimu. Aku tahu betapa pikiran yang gelisah akan menguras banyak tenaga. Aku ingin memanjakanmu karena aku mencintaimu, An.
An, aku memilih jalan kaki kendati sudah terlambat masuk kantor. Tujuannya cuma satu, dongeng yang kujanjikan itu. Aku ingin membelikanmu buku dongeng dan menyebutkan bahwa buku itu kubeli di sebuah toko buku yang sangat bagus dan terkenal di kota ini. Padahal, aku membelinya dari penjual buku keliling yang biasa mangkal di sepanjang trotoar menuju kantor.
Sejatinya, tempat pembelian buku tak penting bagimu. Sama halnya apakah buku itu stok baru atau stok lama, berlabel best seller atau most wanted. Yang terpenting adalah ceritanya menghibur. Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa hukum pasar mengatakan: semakin tinggi harga barang, maka akan semakin tinggi kualitasnya. Sedangkan tempat akan mengangkat derajat dari barang itu.
Tuhan Maha Adil, ya, An? Dia ciptakan orang yang suka berdongeng untuk orang yang suka mendengarkan dongeng.
Waktu SMA dulu, saat kata “sahabat” sedikit lebih dekat. Kau berdongeng tentang seorang putri yang kesepian bermimpi menyentuh awan, hingga dia berdoa agar Tuhan mengirimkan seorang yang bisa mengantarnya ke awan. Lalu, seekor unggas bersayap seketika muncul dari tubuhnya sendiri. Bukan. Tubuhmulah sebenarnya yang tumbuh sayap. Aku cukup ingat dongeng itu, An. Dongeng dengan gaya khas gestur, wajah, dan tutur ceritamu. Sayang, aku tak pernah lengkap untuk mengingatnya.
Sebutan populer yang terlalu sering kudengar betapa sekarang kita berada di jantung globalisasi; sebuah zaman ketika definisi jarak menjadi tak terlalu berarti. Semuanya dituang dalam sebuah gelas, dengan sebuah sendok yang terus mengaduk tak kenal lelah, hanya berputar dalam satu pusaran. Tetapi zaman yang dikatakan serba rasional ini kau larungkan dengan cerita-ceritamu yang absurd, penuh khayal, bahkan bisa dibilang konyol. Yah, begitulah caramu menertawakan dunia ini.
Sial hari itu, An. Tak satu pun kutemui penjual buku bekas yang mangkal. Mataku cuma menangkap penjual korang bersandar di bawah lampu lalu lintas, menunggu warna merah untuk kemudian berteriak menjual berita yang menurutnya tentu sangat menarik sehingga perlu diteriakkan: gosip, korupsi, kriminal, atau yang lainnya.
Tadi, saat lewat di depan toko bangunan milik Koko Liem, hanya ada pedagang nasi pecel dan rokok plontongan. Ya, adanya di simpang tiga itu. Bagaimana kalau aku tak mendapatkan buku dongeng? Ah, sudah terlanjur kukatakan. Apakah aku mesti beli koran saja? Ah, tidak, An. Tidak. Aku tak percaya berita di koran-koran itu. Lebih baik menutup mata saja seharian bila harus membaca koran, atau marahi saja aku habis-habisan ketimbang harus membeli koran murahan dengan berita—yang menurutku—juga murahan.
***
Seorang satpam tengah duduk di depan gerbang. Di parkiran, kendaraan karyawan tak banyak. Jawaban untuk mengantisipasi pertanyaan satpam yang pasti akan menyambutku sudah kupersiapkan. Semoga pertanyaannya berakhiran ‘ya’ sehingga aku hanya memberikan isyarat saja.
Satpam itu langsung berdiri. Aku menyetel dasi. Dalam kondisi apa pun, kita harus terlihat berwibawa, sifat yang harus dimiliki lelaki. Kau yang mengatakan itu, An. Padahal kau perempuan.
“Selamat pagi, Pak? Apa kabar?” ucapnya ramah.
“Baik.” Tatapannya lain dari yang biasa.
“Senang bisa bertemu bapak hari ini. Silakan masuk,” satpam tambun itu membuka sebelah engsel gerbang dan mendorongnya sedikit. Berderek. Terbuka.
Aku tak banyak bicara. Melempar senyum sebentar dan berlalu. Jawaban yang sudah kusiapkan sudah kubuang ke tong sampah. Tentu, satpam itu tak akan melihatnya karena yang mengerti aku hanyalah kau, An.
Aku bergegas, ke ruangan tempatku bekerja. Terlalu hangat sambutan mereka untuk orang yang terlambat. Satu yang kulegakan hari itu. Tak ada yang berbisik kalau bos hari itu bertanya aku. Tetapi, satu yang tak kumengerti. Semua mata seperti menitipkan iba. Lalu salah satu di antara mereka yang bernama Amdis merangkul pundakku.
“Kami ikut berduka cita atas kepergiannya, Sontak dahiku berkerut.
“Maksudmu?” Kupandangi lekat lelaki berambut ijuk pendek dan bertubuh karang itu.
Tiba-tiba Bram datang dan menarik tangannya sebelum ia menjawab.
“Jangan ganggu,” begitu sepertinya ia berbisik pada Amdis.
“Dia hanya salah paham. Ini pekerjaanmu. Bos tadi menitipkannya untuk diselesaikan hari ini.”
Berkas-berkas itu seperti nyengir ketika Bram menyodorkannya. Apakah ini bentuk hukuman? Entahlah, semoga saja nanti tidak pulang terlambat.
Siapa yang berduka? Siapa pula yang pergi? Ah, sudahlah! Tidak penting untuk dipikirkan. Pikirkan dulu pekerjaan ini biar nanti pulang lebih cepat. Aku sudah tidak sabar untuk makan masakanmu, An.
***
Sore itu, hujan sangat deras. Jalanan menjelma bayangan yang basah. Kendaraan menyemut. Gelombang air pada genangan yang dilindas oleh roda-roda, menaruh khawatir. Jangan-jangan kau terjebak macet. Petir berkilat-kilat mengubah rasa khawatir menjadi cemas—kendati khawatir dan cemas tak beda jauh, tetap ada jarak antara kedua kata itu.
Semoga kau masih sibuk dengan tugas-tugasmu di kantor. Atau semoga kau sudah sampai di rumah. Intinya, kau tak di perjalanan pulang. Aku tak kuasa membayangkan apabila kau terjebak macet apalagi berteduh menunggu reda saat petir meraja.
***
Sudah setengah tujuh. Satu jam lagi. Satu jam lagi kupastikan pekerjaanku selesai. Aku janji jam delapan nanti aku sudah berada di rumah. Duduk semeja sehadapan sambil menyeruput sup andalanmu itu. Sabar, ya, sayang!
***
Sial, An. Di Halte jalan Wonokromo, hujan membuatku kembali cemas. Marah sendiri. Aku menggigil bukan kedinginan, hanya tak sabar menunggu reda. Kutasbihkan kalimat yang kerap kauucap ketika hujan. Barangkali bisa memupuk kesabaran menunggu reda: hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.
Dan, hujan akan segera usai, hanya menyisakan rintik kecil. Kesabaran sudah benar-benar tandas. Cuma rintik segini akan hilang dengan semangkuk Sup. Aku yakin itu, An.
Tembus saja.
***
Pesan yang kutempelkan tergolek di lantai. Tulisannya tak bisa dibaca lagi karena resapan air. Tak apalah. Toh, melihatnya saja rasanya sudah lega. Sesaat rasa berbunga-bunga raib seketika mendapati meja makan bersih tanpa noda makanan. Kau tak masak? Kau marah? Kau ada di rumah?
Kupanggil-panggil, tak ada. Ke mana sebenarnya kau, An?
Kadang, aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam kebebasan. Tanpa rutinitas rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang kaulaporkan untuk kutukar dengan uang. Tapi saat ini aku tak punya alasan untuk mengatakan itu. Aku butuh kamu, An! Tidak tahukah kau sejak bangun dari tidur, aku merasa yang kurang dalam hidupku?
Aku ingat mimpiku tadi malam. An, aku melihatmu tidur dalam peti kaca. Kau begitu cantik, tapi aku belingsatan karena kau terpejam dan tak mau bicara denganku. Mereka tidak mempedulikan teriakku; membawamu jauh memunggungi mataku. Tak ada lagi tatapan paku itu.
Aku takut sekali, An. Aku takut kau benar-benar pergi. Larut malam kau belum pulang juga. Ah, kau, An. Rasanya aku ingin tidur selamanya.
An, bila kau sudah pulang, tolong bangunkan aku. aku hanya ingin memelukmu. Dengan begitu aku bisa memastikan bahwa kau baik-baik saja. Cepatlah pulang, An.
Semoga kau membaca suratku ini, nanti.
***
Selalu ada yang akan kita tinggalkan. Jiwa; bukan ruang kosong…
Karena hujan, bunga di beranda tak jadi layu. Bahkan bunga itu berani membuka kelopaknya. Harapan lelaki yang rupanya tak lelap di pembaringan mungkin sama seperti harapan kelopak bunga itu: menunggu sesungging senyum seseorang saat pulang nanti.
Di atas laci kecil, di bawah temaram lampu tidur, tergeletak surat kabar yang belum diganti selama seminggu.
Headline: Tragedi Jatuhnya Pesawat Terbang.
Jember, 25 Mei 2013