Saturday, June 29, 2013

05.03.2004

Cerpen Lan Fang

05.03.2004: 06.00 - 09.00 pagi.
Aku bangun dengan jiwa berpengharapan. Matahari pagi menembus kisi-kisi batinku yang remang. Sejenak hatiku terasa ringan ketika merasa seharusnya ada sesuatu yang "manis" untukku hari ini. Semalam, aku memang tidur lebih cepat. Karena aku ingin lebih cepat menyongsong pagi.
Perasaan itu membuatku segera terbang ke kamar mandi. Kucuran air membuatku terasa nyaman. Lalu kubiarkan busa sabun menjilati tubuhku yang telanjang. Membilasnya. Membelitkan handuk di tubuhku. Mengenakan pakaian. Berkaca.
Saat mereguk kopiku yang masih hangat di atas meja, aku tersenyum ketika melihat banyak SMS masuk yang berisi ucapan selamat ulang tahun. Mas Ari, seorang redaktur harian beroplah besar di Surabaya; Vina dan Evy, sekretaris di kantorku; Rudi, sahabat yang tidak pernah berpaling; Janet, adik yang paling sering berselisih paham denganku; Vera seorang gadis muda energik editor sebuah penerbit.
Aku sudah meraih tas, kamera, dan notes kecilku, siap hendak berangkat ke kantor. Meski begitu banyak SMS yang masuk, tetapi aku masih menunggu dari seseorang...

05.03.2004 : 09.00 - 13.00 siang.
Aku keluar rumah menuju terminal kota Joyoboyo dengan menumpang colt bison dari arah Malang. Anganku terbang ke dunia lain. Saat ini aku adalah seorang wanita karier dengan blazer licin bermerek dari sebuah butik mahal di Tunjungan Plaza berwarna terakota, make up made in Japan yang membuat wajahku mulus seakan tanpa pori dan komedo, parfum beraroma laut tropis dengan harga hampir satu juta rupiah untuk sebuah botol kecil saja, dengan note book tipe terbaru, duduk di atas jok empuk Mercedes A 140 yang kecil lincah, dengan hembusan air conditioner yang halus, ditingkahi suara empuk Julio Iglisias yang mengalunkan When I Need You?
Lamunanku pecah ketika tiba-tiba badanku terdorong ke depan dan suara sopir colt bison mengeluarkan sumpah serapah khas Surabaya, "Jancuk! Matamu, cuk! Nyebrang gak ndelok-ndelok (Menyeberang kok tidak melihat-lihat)?!"
Olala! Ternyata aku hanya penulis freelance di sebuah media yang belum menerimaku sebagai pegawai tetapnya dan saat ini sedang berada di jok colt bison tua yang koyak berdebu. Tidak ada air conditioner atau Julio Iglisias. Yang ada hembusan angin kota Surabaya yang terik dan suara serak kernet berteriak-teriak, "Boyo...Boyo...Joyoboyo... kiri... kiri!" Ternyata aku perempuan dengan wajah tanpa bedak, kakiku terbungkus celana strect murahan made in China, dengan atasan sederhana, dari tubuhku menguap aroma keringat yang membasahi tengkuk, leher, dada dan ketiakku, karena harus berlari mengejar berita.
Di Terminal Joyoboyo, aku leluasa melihat para pedagang kaki lima yang berseliweran menjual buah-buahan, permen, tisue, pangsit mie, sampai VCD porno bajakan. Aku mengamati para kernet, sopir, makelar, pengamen sampai pengemis. Mereka beraktivitas dengan ekspresi bebas. Mereka duduk mencakung, merokok, tertawa terbahak menampakkan gigi geligi yang hitam karena kerak nikotin dan bermain kartu. Tidak adakah himpitan kesusahan menekan batin mereka? Ataukah kesusahan sudah begitu akrab menjadi sahabat mereka sehingga tidak perlu lagi untuk ditangisi? Aku berpikir diam-diam.
Sekelompok pengamen datang dan mulai mendendangkan Cucakrawa dengan suara sumbang, ditingkahi suara botol galon air minum mineral dan bunyi uang logam beradu. Kulirik dengan ekor mataku, salah satu di antara mereka adalah seorang gadis dengan wajah cukup manis kalau saja tidak banyak luka-luka parut yang terlihat jelas di lengannya sebelah dalam. Aku sempat memikirkan bekas luka itu karena apa? Karena narkobakah? Bekas berkelahikah? Kenapa gadis semanis dia memiliki luka parut begitu banyak di lengannya? Apakah luka parut di hatinya lebih banyak lagi karena hidupnya begitu pahit?
Pahit?
Rasa pahit itu menyeruak tanpa permisi ke dalam dadaku karena ring tone ponselku yang kutunggu sama sekali belum berbunyi.

05.03.2004 : 13.00-17.00
Ini sudah lewat setengah hari, begitu aku membatin dalam hati dengan perasaan gelisah. Tetapi kenapa yang kuharap dan kutunggu belum juga mengirim salam? Lewat jam makan siang, aku mulai merasa putus asa dengan penantianku. Apakah aku terlalu berharap banyak hanya untuk sebuah ucapan selamat ulang tahun dari seorang laki-laki?
Tengah hari, Surabaya diguyur hujan deras. Kuhabiskan siangku dengan menikmati rasa dingin di dasar hatiku. Aku masih belum berniat kembali ke kantor walaupun dikejar deadline.
Dingin? Ah, tidak!
Kehangatan sontak menyeruak ketika aku teringat laki-laki itu.
Senja bergerimis yang kemudian menjelma menjadi hujan lebat membuat kami duduk rapat di dalam sebuah angkutan kota menuju terminal kota Bekasi ketika aku ditugaskan untuk menulis tentang seorang anak cacat di Kelurahan Karang Satria, Bekasi. Walaupun hanya ada empat orang yang berada di dalam angkutan kota itu, aku enggan untuk jauh darinya. Aku suka menghirup aroma tubuhnya yang memenuhi seluruh aortaku menuju pompa jantung. Aku suka bersandar di bahunya. Selalu saja ada rasa nyaman yang menghangati seluruh katup dan bilik hatiku bila berada di dekatnya. Karena itu, aku selalu merasa ingin menikmati setiap detik yang kulalui bersamanya.
"Datanglah, percayalah, dan bersandarlah padaku. Aku tidak akan membuatmu menderita," begitu ia menawarkan asa di tengah keputusasaan yang tengah melandaku.
Alangkah indah, nyaman, dan menentramkan kata-kata itu. Apakah aku terlalu bodoh, tolol, atau naïf, jika akhirnya tanpa berpikir panjang uluran tangan ini kuterima dengan kata "ya"? Apakah aku dalam kontrol sihir sehingga begitu mudah tersirap hanya dengan sebuah pengharapan yang masih di dalam angan-angan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu pasti, laki-laki itu benar-benar seperti alien yang menyedot seluruh energiku sehingga aku tidak mampu berkata "tidak". Juga seperti monster yang menarikku amblas sampai ke perut bumi dan memaksaku hanya bisa mengucap "ya". Aku cuma merasakan adanya perasaan ngeri jika harus melepaskan rasa nyaman yang tengah melingkupi seluruh rasa di batinku.
Rasa nyaman?
Ya... rasa nyaman itu langsung ada ketika ia menawarkan tumpangan di terminal keberangkatan bandara Cengkareng. Ketika itu aku sedang menawarkan naskah ke sebuah penerbit di Jakarta. Aku berangkat hanya dengan modal pengharapan penerbit itu bersedia menerbitkan naskahku. Tetapi ternyata penolakan yang kuterima. Aku panik karena tertinggal pesawat terakhir yang terbang ke Surabaya. Padahal uang di dompetku tinggal lima puluh ribu rupiah sekadar cukup membayar airport tax dan ongkos taksi dari Bandara Juanda Surabaya ke rumah. Aku duduk termenung tanpa harus tahu berbuat apa di belantara Jakarta yang kurasa sangat luas. Dan laki-laki itu datang mengulurkan tangannya.
"Aku Ian," begitu ia memperkenalkan diri dengan hangat dan menawarkan tumpangan di rumahnya serta janji mengantarku kembali ke Cengkareng mengejar pesawat terpagi yang terbang ke Surabaya.
"Aku Metta," rasa nyaman yang hangat itu membiusku.
Apakah aku begitu murahan? Apakah aku begitu ceroboh? Apakah aku begitu tolol? Begitu mudahnya aku percaya dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kukenal. Tetapi aku tidak peduli itu. Yang kurasakan saat itu, betapa lelahnya tubuh dan jiwaku. Jika kemudian, ada yang menawarkan rasa nyaman, hangat, dan keteduhan, aku tidak mau berpikir dua kali untuk menerimanya.
Salahkah aku?
Ya... rasa nyaman itu terus melingkupiku ketika sepanjang malam ia duduk di sampingku untuk mendengarkan cerita tentang hidupku yang tersaruk dan terpuruk. Mungkin ia seperti mendengarkan sebuah dongeng tentang kisah hidup seorang pengarang roman picisan yang tenggelam di dalam keputusasaan yang tidak berujung pangkal ketika harus berkeliling menawarkan naskahnya, ia menjelma bak seorang penjual jamu yang mempromosikan naskahnya sampai mulut berbusa tetapi masih saja menerima penolakan. Akhirnya ia cuma diterima bekerja sebagai penulis freelance yang honornya hanya cukup untuk sekadar melewati hari demi hari tetapi harus berlari berlomba dengan deadline untuk menyerahkan hasil tulisannya, sampai akhirnya, ketika si pengarang jatuh bangun dalam pelukan cinta seorang laki-laki yang salah --laki-laki yang menyesatkan jalan hidupnya, laki-laki yang menggunakan tulisannya sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya sendiri, laki-laki yang kemudian ditinggalkannya ketika ia merasa sudah berada di ujung garis batas pengharapan, sampai... ketika si pengarang bertekat memulai kehidupan barunya dengan kemungkinan terburuk: "berjalan sendiri"! Laki-laki itu duduk tanpa menyela sepatah kata pun.
Kuselesaikan ceritaku dengan air mata yang berurai. Aku merasa menjadi perempuan paling cenggeng dan tolol, karena sudah begitu banyak berbicara dengan seorang laki-laki yang baru pertama kali kutemui. Tetapi sekaligus juga merasa sangat lega! Semua beban yang kusimpan sendiri seakan-akan mendapat tempat berbagi. Segala suntuk tumpah ruah. Aku seakan-akan menjelma menjadi manusia baru yang mempunyai pengharapan kembali. Jiwaku yang mati seakan berarti lagi.
Lalu kami menghabiskan malam itu dengan bercerita sambil telentang tidur di lantai rumahnya yang sederhana. Aku menjadikan kedua lenganku sebagai bantal dan mataku menatap serat-serat kayu yang menjadi langit-langit rumahnya. Di sampingku, laki-laki itu bercerita tentang rasa sepi, rasa sayang, dan rasa asa.
"Istriku pergi. Aku malas mencarinya. Aku butuh kau di sisiku. Aku sayang sekali padamu..."
Aku menoleh setengah tidak percaya, setengah takjub, setengah heran, setengah terpesona, sekaligus setengah muak! Jujur saja, aku sedang dalam keadaan penuh kemuakan menghadapi laki-laki dan cinta. Aku anggap yang kudengar barusan adalah kata-kata gombal. Bukankah seharusnya ia tahu bahwa aku adalah pengarang roman picisan yang suka mengobral kata-kata cinta dan sayang di dalam tulisan-tulisanku? Lagipula ia bukan berbicara dengan perempuan belia yang baru pertama kali jatuh cinta.
"Kau laki-laki kesepian... Kau hanya butuh perempuan untuk ditiduri...," sahutku setengah geli acuh tak acuh.
"Tidak. Aku butuh kamu dalam segalanya. Aku sayang sekali padamu. Aku butuh kau untuk bercinta. Bukan sekadar untuk ditiduri," ia tidak mengindahkan tawa geliku. Ia menjawab dengan nada serius sambil memandangku dalam-dalam.
Aku terperangah ketika rasa nyaman dan hangat menjalari seluruh pori-pori jiwaku. Rasa itu mem-bah! Aku terdiam seperti pengarang kehabisan kata-kata.
Dan akhirnya malam itu kami bercinta di dalam angan-angan sampai aku lena di dalam genggaman tangannya sampai pagi.
Besoknya ia mengantarku sampai di Bandara Cengkareng. Sesaat sebelum turun dari mobilnya, lagi-lagi ia berkata, "Bolehkah aku memeluk dan menciummu?"
Aku terpana. Aku terpesona. Seluruh jiwaku tergetar.
Ia memelukku cukup lama. Mencium pipi, kening dan rambutku. "Ah... kamu wangi. Aku suka wangimu," ujarnya ketika menghirup udara di sela-sela rambutku. Lagi-lagi aku tidak mampu mengucap sepatah kata pun. Mulutku terkunci. Tanpa mampu kucegah, aku memejamkan mata dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Mendadak saja, aku ingin waktu berhenti, ketika untuk kesekian kalinya aku merasakan rasa nyaman itu memenuhi seluruh duniaku. Ajaibkah?
"Jangan pulang ya. Tetaplah di sisiku," kudengar bisikan suaranya seperti desau angin lalu.
My God...!
Apakah rasa lelahku mencari sandaran dan rasa sepinya mencari penghiburan membuat dua jiwa yang kosong saling melengkapi? Dalam batinku, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ini anugerah, kecelakaan, halusinasi, ataukah deja-vu? Hatiku berperang sendiri, benarkah perasaan cinta, sayang dan dekat, bisa timbul mendadak begitu cepat pada seseorang yang hanya kita kenal beberapa saat? Apakah ia laki-laki dari masa lalu?
Semua berjalan dalam rotasi yang begitu cepat.
Ketika aku ingin berjalan kaki, ia menemaniku menaburkan kenangan di sepanjang jalan yang kami lewati. Ketika aku tengadah memandang dahan-dahan pohon yang saling meliuk, ia memelukku pula dengan melingkarkan lengannya di bahuku. Ketika aku ingin naik angkutan kota dari terminal ke terminal, ia bersamaku dalam deru debu dan keringat. Ketika aku menghirup aroma tanah basah sehabis hujan, ia taburkan aroma tubuh dalam desah nafas dan geliat birahi.
Hari masih tinggal seperempat lagi. Harapan mendengar suaranya atau sekadar SMS-nya tinggal sebiji sawi. Tetapi aku masih berbesar hati. Lima Maret dua ribu empat, masih belum berganti...

05.03.2004 : 17.00-22.00
Aku masih belum berniat pulang. Aku masih menanti. Aku melangkah gontai menembus gerimis menggigil dingin, membiarkan sepatuku, bajuku, rambutku, tubuhku, wajahku, seluruh pipiku basah. Aku tidak tahu, basahku karena gerimiskah atau karena air mata. Aku ingin menghabiskan waktu menunggu salam selamat ulang tahun. Aku gigit bibirku sendiri dalam rasa senyap yang kian menggigilkan. Tidak sakit. Tetapi ngilu. Rasa ngilu yang bertebaran di sepanjang jalan, membias di tirai gerimis, bergaung di antara gedung-gedung, meninggalkan noktah di bekas jejak kakiku melangkah.
Kuingat tulisan Kahlil Gibran: jika cinta sudah memanggilmu, pasrahlah dan menyerahlah, walau pisau di balik sayapnya akan melukaimu.
Laki-laki itu benar-benar membuat aku pasrah dan menyerah di dalam sayap cinta. Pun, laki-laki itu membuat aku terluka dan berdarah ketika pisau di balik sayap cinta itu menikamku!
"Istriku kembali. Kami tidak bisa bercerai. Kami menikah di gereja," ujarnya setelah kami saling mengenal empat bulan.
"Aku tidak menyuruhmu bercerai. Aku hanya ingin selalu bersamamu," apakah jawabanku terdengar sangat naïf?
"Tidak mungkin."
Aku tersalib kecewa dan luka. Aku merasa seperti Yesus yang didera sakit dari ujung rambut bermahkota duri sampai ke ujung kaki dipalu paku. Kulihat bukan saja kepalaku, tanganku, kakiku, tubuhku berdarah, tetapi hatiku, jantungku, paru-paruku, lidahku, mataku, telingaku, semua mengucurkan darah.....
Surabaya menggelap ketika aku melambaikan tangan mencegat sebuah angkutan kota. Semestinya aku belum berniat pulang, kalau saja tidak merasa khawatir kemalaman dan sudah tidak ada angkutan kota lagi.
Kuraba saku celana strect-ku. Kulihat telepon selularku masih dalam keadaan yang sama. Tidak ada message, tidak ada miscall, tidak ada mailbox...

05.03.2004 : 22.00 - 24.00
Aku berbaring telentang di atas ranjang yang senyap. Di sampingku, telepon selularku masih dalam keadaan on. Akalku menyuruhku lebih baik tidur saja dan melupakan harapan sebiji sawi yang sejak pagi kuletakkan di tempat yang tertinggi. "Lupakan saja... laki-laki itu menipumu...", begitu kata otakku. Tetapi perasaanku mencegahnya dan tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu. "Hari ini belum habis...laki-laki itu tidak menipumu... dia memikirkanmu...," begitu kata batinku.
Akal dan perasaanku terus berperang sampai menjelang tengah malam. Tetapi kenyataannya toh perasaan yang selalu menang.
Aku tetap memelihara asa setipis kulit bawang itu!

06.03.2004 : 24.01
Lima Maret dua ribu empat sudah lewat....
Tidak ada apa-apa di telepon selularku. Benda komunikasi canggih abad millennium itu tetap diam tidak bergerak. Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis untuk ketololanku atau kenaifanku? Aku tidak tahu apakah aku harus membuang biji sawi ataukah menyimpan kulit bawang?
Yang kutahu, ada rasa asin menganak di lekuk pipiku ketika aku menggambar rupanya, menulis namanya, mendengung suaranya di langit luas, di langit kamarku, di langit hatiku...
Kututup mata... bercinta dengan bayang-bayang sepanjang malam!

(Surabaya: 05.04.2004: 08.45 PM: saat ini aku masih kasmaran!)

Festival Topeng


(Cerpen Lan Fang, Jawa Pos 28 Maret 2010)

1. Tidak ada

PERKENALKAN, namaku Prameswari. Kata orang tuaku, arti namaku adalah permaisuri. Karena aku dilahirkan dengan kecantikan seorang putri. Jadi sudah sepantasnya kalau orang tuaku berharap aku memiliki kemewahan hidup seorang permaisuri.

''Nasibmu akan menjadi istri pejabat tinggi yang kaya raya. Paling tidak pangkat suamimu itu adalah kepala desa,'' begitulah ibu berharap aku mendapatkan suami yang kaya, berpangkat, dan mempunyai jabatan tinggi.

Nah, suamiku bernama Drajat Hartono. Kata orang tuanya, arti namanya adalah laki-laki yang berderajat dan berharta. Tetapi ternyata tidak ada hubungannya antara nama dengan nasib manusia. Karena suamiku bukan kepala desa apalagi pejabat tinggi yang kaya raya. Suamiku cuma seorang pembuat topeng.

Suamiku membuat wajah-wajah dari kayu. Ia membentuk kayu-kayu itu menjadi wajah tokoh-tokoh pewayangan. Ada wajah Kresna, manusia setengah dewa, titisan Dewa Wisnu. Ada wajah Bisma, putra Gangga, satria Hastinapura yang tidak bisa mati. Ada wajah Arjuna, salah satu Pandawa yang paling dipuja. Sampai ada pula wajah Durna, guru Hastinapura yang sangat dihormati.

Selain membuat topeng-topeng dengan wajah wayang, suamiku juga menerima pesanan topeng wajah yang disesuaikan dengan kehendak pemesannya. Ada yang memesan topeng wajah dengan mimik sedang tertawa lebar atau sedang tersenyum simpul. Ada juga yang minta dibikinkan topeng berwajah bijaksana dan berwibawa.

Sebetulnya aku kesal dengan pekerjaan suamiku. Karena pekerjaannya ini tidak menghasilkan uang setiap hari. Padahal kami butuh uang untuk makan setiap hari, bukan?

Bayangkanlah, setiap hari suamiku membuat berbagai macam topeng kayu. Ia menyerut kayu sampai permukaannya menjadi halus. Lalu membentuk mata, hidung, mulut dengan telaten sehingga topeng kayu itu benar-benar menyerupai wajah manusia. Tetapi sampai saat ini tidak ada yang membelinya.

Akhirnya, topeng-topeng itu hanya menumpuk di seluruh sudut ruangan rumah. Topeng-topeng itu tumpang tindih satu sama lain. Mata beradu telinga, telinga beradu hidung, hidung beradu mulut, mulut beradu mata. Kadang-kadang aku melihat mereka saling diam. Tetapi aku lebih sering melihat mereka bertengkar dan saling menggigit satu sama lain karena berebut tempat yang lebih leluasa.

''Minggir! Ini tempatku!''

''Tidak. Kau saja yang ke pinggir.''

''Rupanya kau mau kutendang, ya?''

Begitulah, aku kerap mendengar keributan mereka. Bukan itu saja. Mereka juga saling menyikut dan menendang sehingga tumpukan topeng-topeng itu selalu bergerak. Kadang-kadang hendak rubuh tetapi kemudian mereka segera berkelompok untuk saling bergandengan. Misalnya, para topeng Durna berkelompok dengan sesama topeng Durna. Dan para topeng Arjuna menyatukan diri dengan para topeng Arjuna lainnya. Atau kelompok topeng berwajah bijak berkumpul bersama-sama. Sedangkan topeng-topeng yang tersenyum simpul pun mengelompokkan diri mereka sendiri.

''Kangmas, mungkin topeng-topeng itu hendak menyerang kita. Sepertinya mereka sedang merencanakan suatu konspirasi besar-besaran," kataku gelisah.

''Tidak apa-apa. Mereka hanya menginginkan etalase, sebuah tempat terhormat untuk memajang wajah mereka,'' sahut suamiku tanpa mempedulikan kegelisahanku. ''Tetapi kita tidak perlu membeli etalase. Karena pada waktunya nanti, topeng-topeng itu akan habis terjual semua. Dan topeng-topeng itu akan menyiapkan etalase untuk diri mereka sendiri," sahut suamiku.

Begitulah, setiap kali setelah menyelesaikan sebuah topeng suamiku menumpuknya lalu ia terus membuat topeng yang berikutnya. Kian hari, topeng-topeng pun semakin menggunung. Sehingga aku semakin terganggu karena suara dan pandangan mereka terasa mengikutiku. Tetapi mungkin aku keliru. Karena yang sebenarnya terjadi justru aku yang selalu memperhatikan gerakan dan mendengarkan suara mereka.

Pada suatu ketika, aku menemukan ada sesuatu yang tidak biasa. Yaitu, ternyata ada sebuah topeng yang hanya dibuat sebuah saja oleh suamiku. Dan topeng itu tidak dilemparkannya ke gundukan topeng-topeng itu. Melainkan, ia meletakkan topeng yang hanya satu-satunya itu di samping tempat tidur kami.

''Topeng apa ini?'' tanyaku.

''Ekalaya.''

''Kenapa tidak ditumpuk bersama topeng-topeng yang lain?''

''Jangan. Biarkan saja dia di situ,'' cegah suamiku ketika aku hendak melemparkan topeng Ekalaya keluar kamar.

Kupikir, suamiku semakin keterlaluan saja. Rumah kami yang kecil sudah dipenuhi tumpukan topeng. Mereka sudah menyita banyak tempat dengan bergerombol di ruang tamu, di meja makan, di dapur, sampai di kamar mandi. Satu-satunya tempat tanpa topeng adalah kamar tidur. Hanya di tempat inilah aku tidak dihantui pandangan dan bisik-bisik para topeng itu. Di kamar, aku bebas bermanja-manja pada suamiku tanpa kuatir ada topeng yang mengintip dan menguping kegiatan bercinta kami.

''Ayo, ceritakan dongeng pengantar tidur, Kangmas,'' aku memintanya meninabobokanku dengan dongeng.

''Dongeng kancil dan buaya?'' tanyanya.

''Tidak. Kemarin sudah dongeng itu. Aku bosan.''

''Lalu Yayi mau dongeng apa?''

Mataku menangkap seekor cicak lari terbirit-birit di tembok. ''Ceritakan dongeng cicak dan buaya saja,'' sahutku sambil memeluknya.

Suamiku tertawa, ''Yayi...Yayi...buat apa cerita indah yang terlalu licin itu? Lebih baik kuceritakan tentang Ekalaya saja ya?''

Aku setuju karena aku pun ingin tahu kenapa ia sampai meletakkan topeng Ekalaya itu di pinggir tempat tidur. Padahal, setahuku, Ekalaya sama sekali bukan tokoh wayang yang terkenal. Bahkan namanya hampir tidak pernah terdengar.

''Itu karena orang-orang tidak mengetahui ada cerita yang tak terkisahkan...,'' kata suamiku. Lalu ia menempelkan bibirnya ke telingaku. Terpaan napasnya terasa halus. Suamiku meneruskan ceritanya dengan suara lirih. Seakan-akan kuatir terdengar oleh yang lain. Rupanya ia mengerti bahwa topeng-topeng yang memenuhi rumah pasti sedang menelinga.

Tiba-tiba kulihat cicak yang terbirit-birit tadi menghentikan larinya lalu menatap kami dengan mata berkedip-kedip. Sepertinya ia juga ketularan penyakit menguping para topeng. Diam-diam kupuji, cicak kecil itu rupanya bernyali juga. Bagaimana kalau sekarang dia kutembak dengan ketapel karet? Pasti dia akan terpelanting dari tembok, jatuh ke lantai, lalu....bisa saja kepalanya kuinjak dan...

Perhatianku dari cicak di tembok itu teralihkan ketika mendengar suamiku mengisahkan nasib Ekalaya dengan suara yang begitu pilu.

''Ekalaya rela memotong ibu jari kanannya sebagai bukti baktinya kepada Durna. Walaupun dengan demikian maka Ekalaya tidak bisa menjadi pemanah ulung lagi. Padahal diam-diam Durna memberikan ibu jari itu kepada Arjuna,'' tiba-tiba mataku bagaikan terhalang embun dan kabut.

''Jadi ibu jari kanan Arjuna ada dua. Dan Arjuna selalu menyembunyikan cacatnya itu karena malu. Tetapi tidak ada yang tahu kalau Arjuna sebenarnya berjari sebelas...''

''Betapa jahatnya Durna. Ia bermain dua kartu. Ia tidak layak menjadi guru!'' aku berteriak dengan penuh kemarahan.

''Sssttt...cerita ini hanya untukmu, Yayi...'' Suamiku membungkam kemarahanku dengan sebuah ciuman.

Ciumannya membuat kemarahanku mencair. Dan betapa bodohnya Ekalaya..., kemarahanku lalu mencair menjadi tetes yang tergelincir di ujung mata.

''Sudahlah, Yayi... Dalam perang memang harus ada yang dikorbankan untuk sebuah kemenangan,'' aku tahu suamiku bermaksud menghiburku. Tetapi suaranya getir sekali.

Topeng Ekalaya melihat suamiku menciumi air mataku.

***

2. Mengada.

Kemudian sampailah kami pada suatu waktu yang terasa aneh. Mendadak saja, setiap hari rumah kami didatangi para pembeli topeng. Mereka datang dengan mobil yang mengkilap dan mengenakan baju safari, jas atau batik sutra yang selalu necis dan licin. Ada yang rambutnya klimis seakan-akan sebotol minyak rambut ditumpahkan di sana. Ada yang bergaya flamboyan dengan kumisnya.

''Siapakah mereka?'' tanyaku keheranan.

''Mereka semua kupanggil Pakde Wan. Merekalah yang memesan topeng-topeng itu.''

''Tampaknya mereka adalah orang-orang kaya. Mereka membayar topeng tanpa menawar. Dan mereka gembira ketika mendapatkan topeng yang sesuai dengan keinginan mereka. Sebenarnya apa pekerjaan mereka?'' tanyaku penasaran.

Lalu suamiku menjelaskan bahwa para Pakde Wan itu sedang mempersiapkan diri menyongsong Festival Topeng Nasional. Mereka sudah menyediakan etalase yang dihias seindah mungkin dengan bermacam-macam warna. Lalu mereka akan berjejer beramai-ramai dengan memakai topeng-topeng yang dibeli dari suamiku seperti layaknya kemeriahan sebuah parade. Untuk itu, mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang berapa banyak pun. Karena ini adalah sebuah festival yang akan mengantarkan mereka sampai pada gerbang megah sebuah singgasana.

''Singgasana? Aku ingin singgasana itu. Jadikan aku seorang permaisuri," tukasku.

''Yayi...Yayi...,'' gumam suamiku ini jelas tidak memuaskanku.

Maka, mulailah setiap hari aku mengomel dari pagi sampai pagi lagi. ''Kau yang membuat topeng tetapi orang lain yang kaya. Kenapa tidak kau kenakan sendiri saja topeng itu sehingga bisa kaya seperti para Pakde Wan itu?'' aku merasa suamiku tampak semakin bodoh saja.

Bagaimana suamiku tidak bodoh kalau ia tidak menaikkan harga jual topeng-topeng itu? Padahal topeng-topeng dengan wajah yang tersenyum dan tertawa itu sangat dicari pembeli. Terlebih lagi topeng wajah Arjuna laris seperti pisang goreng saja. Hampir rata-rata semua Pakde Wan yang datang ingin membeli topeng wajah Arjuna. Menurut mereka Arjuna adalah satria sakti yang berwajah mempesona. Sehingga Arjuna bisa memikat siapa saja.

Bukankah seharusnya suamiku bisa menjual topeng wajah Arjuna itu dengan harga seratus kali lipat. Karena para Pakde Wan itu tampak seperti orang-orang kalap yang tergila-gila memakai wajah Arjuna. Tetapi suamiku tetap menjual topeng-topeng itu dengan harga yang hanya cukup dipakai untuk membeli dua kilo beras. Bodohnya lagi, suamiku juga tidak menolak ketika para Pakde Wan itu menukar topeng dengan baju kaos yang berwarna, berangka dan ada gambar topeng yang dibelinya. Sampai akhirnya rumah kami berubah seperti tempat penimbunan kaos.

Akhirnya omelanku pun menjadi-jadi. ''Kita butuh hidup yang lebih layak! Bukan butuh kaos!''

Tetapi suamiku tetap tenang-tenang saja. Ia justru lebih suka membersihkan topeng wajah Ekalaya daripada mendengarkan omelanku.

Aku semakin panik ketika perayaan Festival Topeng semakin dekat. Kemeriahan umbul-umbul parade sudah terlihat di mana-mana. Begitu juga topeng-topeng sudah dipajang di etalase-etalase. Di rumahku sudah tidak ada persediaan topeng lagi. Yang ada hanyalah topeng wajah Ekalaya itu. Itu satu-satunya topeng yang tidak dijualnya. Tepatnya, topeng wajah Ekalaya adalah satu-satunya topeng yang tidak pernah diminati para pembeli.

''Buatlah sebuah topeng lagi. Dan ikutlah menjadi peserta Festival Topeng. Apa gunanya namamu Drajat Hartono kalau ternyata kau tidak berharta dan tidak punya jabatan,'' aku masih meneruskan omelanku dengan kesal karena melihatnya begitu memanjakan topeng Ekalaya yang menurutku bodoh itu. Aku tidak mau kebodohan Ekalaya yang rela memotong ibu jari kanannya sendiri itu menular kepada suamiku.

''Aku harus membuat topeng apa, Yayi?''

Aku terlonjak saking gembiranya. Akhirnya suamiku bergeming juga.

''Buatlah topeng wajah Rahwana. Jika para Pakde Wan itu harus memiliki banyak topeng untuk mengubah-ubah wajahnya tetapi kau cukup memiliki sebuah topeng saja. Sebuah topeng tetapi sudah berdasamuka, bersepuluh wajah. Dan setelah itu kau adalah Drajat Hartono yang sebenarnya, laki-laki berharta dan mempunyai jabatan yang tinggi,'' sahutku menggebu-ngebu dengan penuh semangat.

Aku gembira sekali ketika suamiku mulai menyerut sepotong kayu lagi. Kali ini ia membuat topeng yang lebih besar dari sebelumnya. Wajah di topeng ini lebih banyak daripada jumlah delapan penjuru mata angin. Ada wajah dengan mata melotot sebesar meteor, ada yang bermulut besar sampai bisa menelan gunung dan mengisap lautan, ada juga wajah dengan hiasan taring seperti Pangeran Drakula, dan bermacam-macam bentuk yang lain. Pokoknya, inilah topeng suamiku yang paling hebat. Setelah selesai, suamiku langsung mengenakan topeng Rahwana itu. Sehingga aku yakin takdirku menjadi permaisuri akan segera tiba.

Topeng Ekalaya berairmata ketika topeng Rahwana menciumiku.

***

3. Tidak ada

Akhirnya dengan seluruh gegap gempita, Festival Topeng berakhir juga. Dan seperti yang sudah bisa kuduga sebelumnya, suamiku berhasil mendapatkan singgasana yang kuidam-idamkan. Sejak itu orang-orang memanggil suamiku bukan Drajat Hartono, tukang topeng lagi. Tetapi dipanggil Pakde Wan Drajat Hartono. Dan sudah jelas namaku juga berubah. Bukan lagi prameswari, istri tukang topeng. Sekarang aku dipanggil Prameswari Pakde Wan Drajat Hartono. Dan hidupku benar-benar bergelimang kemewahan seorang permaisuri.

Aku bangga sekali dengan suamiku. Sekarang ke mana pun ia pergi selalu dihormati banyak orang. Bila ia duduk, selalu diberi kursi di depan dan diberi pelayanan kelas satu. Setiap kali ia berbicara pasti banyak orang memberikan tepuk tangan. Dan ia tinggal menunjuk-nunjuk saja maka ada orang lain yang akan menyelesaikan apa yang ditunjuknya.

Tetapi sekarang mulai ada yang terasa menggelisahkanku. Kian hari aku semakin tidak mengenal suamiku sendiri. Aku mulai merindukan suamiku yang sederhana berwajah bersih dengan keningnya yang berseri. Suamiku, yang setiap malam mengakhiri dongengnya tentang kejujuran, pengabdian, dan kesetiaan dengan mesra ''Yayi...Yayi..., kita sambung besok lagi, ya...''

Itu semua sudah tidak pernah kutemukan lagi pada suamiku. Karena setiap saat yang kulihat adalah sepuluh wajah Rahwana. Wajah yang menyeramkan itu hadir baik ketika suamiku sedang berbicara, makan, berjalan-jalan, tidur atau pada saat bercinta sekali pun. Bahkan setiap malam yang kudengar adalah dengkur raksasa kekenyangan. Celakanya, suamiku tidak berniat untuk menanggalkan topeng Rahwana itu.

Aku mulai berpikir keras bagaimana caranya agar bisa melepas topeng Rahwana dari wajah suamiku. Maka kusiapkan obeng, lingis, palu, kapak, pisau, dan segala peralatan pertukangan yang biasa dipergunakan suamiku bekerja. Lalu kutunggu sampai sepuluh wajah itu mendengkur seperti gemuruh gunung yang hendak meletus. Saat itulah kuayunkan palu dengan seluruh kekuatan untuk menghancurkan wajah-wajah buruk itu.

''Kraaakkkk!'' kupecahkan satu per satu wajah-wajah kayu itu sampai terbelah dengan bunyi berderak.

''Yayiiiii...!'' suamiku meraung sambil mendekap kesepuluh wajahnya yang telah bergelimpangan di lantai.

Ketika itulah aku melihat lagi wajah suamiku yang tanpa topeng. Wajahnya sudah menghitam seperti terkena radiasi kemoterapi penyakit kanker. Bentuk wajahnya juga sudah tidak karuan. Pipinya penuh dengan borok bergelembung, hidungnya melengkung seperti tukang sihir, matanya tanpa kelopak, bibirnya melebar sampai ke pipi dengan lidah yang terjulur.

''Tidak. Tidak. Kau bukan Drajat Hartono, suamiku...,'' aku menangis kecewa melihat wajah asli suamiku berubah serupa dengan topeng Rahwana.

''Yayi...Yayi...,'' mahluk itu menangis mendekap wajahnya sendiri. ''Ini aku...Kangmas-mu...'' Dari sela-sela jarinya, kulihat air matanya mengalir. Air mata yang berwarna abu-abu.

Aku semakin tersakiti karena mengenali suara yang sangat kurindukan. Aku menginginkan suamiku kembali, Drajat Hartono --si tukang topeng yang sederhana tetapi berhati legawa. Walaupun ia tanpa harta dan tanpa jabatan apa-apa tetapi selalu jujur, setia, dan berbudi mulia.

Topeng Ekalaya melihat aku menciumi air mata suamiku. ***

Sumber: http://lakonhidup.wordpress.com/2010/03/28/festival-topeng/

Dua Perempuan


(Cerpen Lan Fang, Suara Merdeka, 11 Desember 2006)
Kamar A5
AKU melihat perempuan muda itu masuk sendirian ke kamar sebelah. Ia cantik berumur tiga puluh lima tahunan. Ketika melintasiku, ia cuma tersenyum tipis, hanya senyum basa basi. Karena kulihat ada mendung di wajah cantiknya. Sepanjang sore aku duduk di depan kamarku, tetapi ia tidak kelihatan keluar dari kamarnya lagi. Sampai malam.
Kamar A6
Perempuan muda di kamar sebelah itu tersenyum ramah ketika aku hendak masuk ke kamarku. Kurasa ia hendak mengajakku ngobrol. Tetapi aku sedang tidak berniat ngobrol. Perempuan di kamar sebelah itu muda, segar, dan cantik. Aku sempat mengintip sedikit dari tirai jendela yang kusibakkan, kulihat ia tertawa ceria dengan seorang laki-laki separuh baya. Sampai malam.
Kamar A5
Akhirnya perempuan di kamar sebelah itu mengajakku ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang, ia mondar mandir keluar masuk kamar dengan gelisah seperti sedang menanti seseorang. Ia bahkan tidak memesan makanan.
Wajahnya keruh, muram, juga marah, dan sedih. Sebenarnya aku ingin tahu kenapa. Tetapi ia tidak memberiku kesempatan bertegur sapa. Padahal hampir semua penghuni rumah penginapan ini sudah kukenal.
"Hamil ya? Berapa bulan?" mendadak ia bertanya ketika sekeping sore jatuh dari kaki langit. Ia duduk di teras depan kamarnya sendiri. Kelihatan sekali, pertanyaannya itu hanya basa-basi daripada duduk melongo sendiri.
"Tujuh bulan," aku senang ia menyapaku walau pun sekadarnya.
"Anak pertama ya?" ia bertanya lagi.
"Untukku anak pertama. Tetapi untuk bapak, ini anaknya yang keempat."
"Maaf, bagaimana maksudmu?" ia tidak kelihatan ngobrol sekadar lagi.
"Ini kehamilan pertama untukku. Tetapi bapak -maksudku suamiku- sudah memiliki tiga anak dari Teteh, istri terdahulu."
"Ooo..." ia tidak meneruskan percakapan.
Kamar A6
Akhirnya aku mengajak perempuan di kamar sebelah itu ngobrol. Sepanjang pagi sampai siang aku sudah menunggu. Sampai capai, bosan, kesal, marah dan sedih. Aku sampai tidak mempunyai selera makan sama sekali.
Tadi aku berpikir hendak sarapan bersamanya. Tetapi ia tidak datang-datang juga. Katanya, sibuk, sibuk dan sibuk. Entah pekerjaan apa yang membuatnya begitu sibuk sampai sulit sekali untuk menemuiku. Padahal aku datang dari Surabaya ke Jakarta khusus menemuinya. Tapi aku tahu, ia pasti disibukkan oleh istrinya.
"Kami dari Cilegon," begitu kata perempuan muda di kamar sebelah, ketika sekadar iseng aku menanyakan mereka dari mana. "Bapak hendak membeli rumah di sini. Kami sedang melihat-lihat kompleks perumahan di sekitar sini."
Perempuan muda itu memanggil laki-laki yang diakui sebagai suami tersebut dengan panggilan "Bapak". Laki-laki itu memang sudah kelihatan seperti bapak-bapak. Kepalanya plontos dengan kacamata botol dan perut sedikit membuncit. Ia memang lebih pantas menjadi bapak perempuan muda itu.
"Selisih usia kami memang jauh. Bapak sudah lima puluh lima tahun dan usiaku dua puluh lima tahun," perempuan itu menjelaskan dengan nada tanpa beban. "Tetapi enak kok, Mbak, kalau punya suami yang usianya lebih tua. Bisa ngemong dan lebih pengertian," sambung dia santai.
"Bapak juga sangat adil dalam membagi waktu, perhatian, dan keuangan kepadaku dan Teteh. Bahkan belakangan ini, Bapak selalu memberiku sedikit lebih banyak karena aku sedang hamil. Adil kan bukan sekadar harus sama rata, Mbak...tetapi sesuai dengan pemenuhan kebutuhan."
Ooooo..., aku jadi malas untuk meneruskan percakapan.
Kamar A5
Kuceritakan kepada Bapak mengenai pembicaraanku dengan perempuan di kamar sebelah. Kukatakan bahwa aku adalah perempuan yang paling berbahagia ketika dikawini Bapak. Walau pun pada saat mengenal Bapak, aku sudah mempunyai pacar yang seusia denganku. Tetapi entah kenapa aku memutuskan untuk menerima Bapak, walau aku tahu bahwa Bapak telah beristri dan mempunyai tiga anak yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di bawahku.
Ketika mengenal Bapak, aku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor. Dan Bapak sebagai patner usaha dari perusahaan di tempatku bekerja. Aku langsung saja mengiyakan lamaran Bapak walau pun kedua orang tuaku keberatan karena selisih usia kami terpaut jauh dan kedudukanku sebagai istri kedua.
Kamar A6
Aku sudah tinggal di sini dua hari. Dan rasanya aku hampir meledak. Ia sama sekali tidak mengunjungiku. Kami hanya saling menelepon atau bertemu di plaza terdekat, lalu ia terbirit-birit begitu ada dering telepon dari istrinya. Ia begitu ketakutan dengan istrinya. Aku marah tetapi tidak punya hak untuk marah. Aku sedih dan meratapi ketololanku di kamar yang melompong.
Aku tidak tahan. Aku ingin cerita kepada perempuan di kamar sebelah tentang kemalanganku. Aku mengenal lelakiku sudah tiga tahun lebih. Aku menyayanginya lebih dari menyayangi diriku sendiri. Kalau ditanya kenapa aku menyayanginya sampai seperti itu, aku juga tidak tahu apa alasannya.
Bahkan kalau mau jujur, lelakiku justru memiliki banyak kekurangan. Ia tidak kaya, tidak ganteng, tidak kekar, tidak lulusan luar negeri, tidak mempunyai deposito, tidak punya sikap tegas, dan banyak "tidak" "tidak" "tidak" yang lain. Juga membuatku tidak tega meninggalkannya.
Tetapi aku malu cerita kepada perempuan di kamar sebelah itu. Apa yang bisa kuceritakan kepadanya karena lelakiku hanya memiliki kata "tidak" yang lengkap. Adapun Bapak -suaminya itu- memiliki semua kata "ya" yang genap.
Laki-laki tua separo baya itu bukan saja memiliki kekayaan, memberinya uang dan akan membelikannya rumah, tetapi juga jelas-jelas mencintainya.
Kerap kudengar suara mereka tertawa di teras kamar. Mereka bercerita dan saling berbicara dengan nada lemah lembut. Kalau pun lelaki itu berada di rumah istri tua nya, lelaki itu tidak segan menerima teleponnya. Lalu lelaki itu segera terbang ke pelukannya.
Bagaimana dengan lelakiku?
Aku bukan perempuan mata duitan yang menuntut kekayaan darinya. Tetapi jangankan memberiku uang, memberiku sekilas ciuman saja susahnya minta ampun. Ia mau bermain api tetapi tidak mau terbakar. Ia suka bermain air tetapi tidak mau basah. Ia melarangku SMS bahkan jeritan teleponku ratusan kali pun tidak diterima bila ada istrinya. Ia selalu kalah dengan teriakan dan bantingan pintu istrinya. Lalu ia seperti balita kebelet ngompol, lari terbirit-birit meninggalkanku bila istrinya sudah memekik di telepon seluler. Dan terus menerus berjalan begitu. Siapa yang tahan?
Sampai saat ini ia tega membiarkan aku terkapar terbakar kerinduan di kamar ini. Aku bukan sekadar gemetar inginkan napasnya menyentuh kulitku.
Lebih dari itu. Aku ingin ia mengerti bahwa napasku untuk hidupnya. Aku ingin waktu berhenti ketika aku bersamanya. Karena semua yang ada pada diriku untuknya. Akhirnya aku hanya bisa menceritakan kemalanganku sambil tersedu sepanjang malam kepada tembok.
Kamar A5
Perempuan di kamar sebelah itu benar-benar misterius. Dua malam ini tidur kami terganggu karena semalaman entah berapa kali kudengar bunyi pintunya terbuka dan tertutup. Ia keluar masuk kamar hanya sekadar mondar-mandir lalu duduk di teras kamar. Apakah ia tidak tidur? Atau ia tidak bisa tidur? Dan besoknya kulihat matanya sembab dengan pelupuk mata bengkak. Ia menangis. Pasti! Tetapi apa yang ia tangisi?
Kamar A6
Perempuan muda yang sedang hamil itu benar-benar mengagumkan. Bagaimana tidak mengagumkan? Keberadaan perempuan kedua di dalam sebuah rumah tangga akan selalu dihujat masyarakat sebagai perempuan yang memalukan. Tetapi ia kelihatan begitu tenang, berbahagia dan menikmati keberadaannya. Sementara aku kelincutan seperti ikan kehabisan air. Tidak tahu harus bagaimana
"Aku tidak bingung dengan statusku. Kalau suatu saat harus mundur, aku tidak keberatan untuk mundur. Asal bapak bertanggung jawab atas anak yang kulahirkan. Karena aku masih muda. Aku masih bisa kawin lagi," ia bercerita sangat ringan.
"Apakah kamu tidak memiliki perasaan cemburu dan ingin memiliki?" tanyaku.
"Perasaan itu kadang-kadang ada. Tetapi buat apa? Bapak mencukupiku semuanya. Aku tidak pernah kekurangan apa pun."
Aku terperangah mendengar jawabannya. Tetapi permasalahanku bukan karena lelakiku tidak seperti lelakinya yang serba mencukupinya dari kepala sampai ke kaki. Juga bukan masalah apakah aku bisa mencari laki-laki lain atau tidak.
Masalahnya, aku bisa mati kalau hidup tanpa laki-laki itu!
Kamar A5
Aku bisa tertawa kalau ada yang bilang cinta bisa bikin orang mati merana. Yang benar adalah orang bisa mati kalau tidak punya uang.
Karena itulah, aku memutuskan untuk menerima lamaran Bapak dan memutuskan pacarku yang kerjanya saja masih tanda tanya. Walau pun ia lebih pantas jadi bapakku daripada menjadi suamiku, tetapi yang jelas hidupnya sudah mapan. Daripada pacarku yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kapan aku bisa menikmati libur ke luar negeri, mobil mahal dan rumah mewah? Aku tidak mengurangi jatah istrinya. Karena milik Bapak sudah berlimpah ruah. Aku hanya mengambil kelebihannya sedikit. Kurasa aku tidak salah.
Tetapi kalau orang mencibirku sebagai perempuan pengeretan, aku bisa marah. Karena aku tidak seperti itu. Bukankah sekarang aku sedang mengandung anak Bapak? Aku akan memberikan seorang bayi kepada laki-laki tua itu. Kalau pun aku tidak menjadi istrinya lagi, tetapi anakku tetap akan menjadi anaknya.?
Kamar A6
Aku ingin sekali memberikan anak kepada lelakiku. Karena anak adalah bagian yang hidup dariku dan darinya. Anak akan membuat cinta tidak pernah berakhir. Anak membuat aku memilikinya utuh penuh. Aku tidak perduli jika itu dikatakan salah. Karena tidak ada yang salah di mata cinta.
Kamar A5
Aku tidak tahu apa yang salah dengan perempuan di kamar sebelah. Karena sudah seharian ini ia tidak kelihatan. Semalam juga tidak terdengar pintu kamarnya terbuka dan tertutup seperti malam-malam sebelumnya atau langkah sandalnya yang terseret-seret di teras depan.
"Aku menunggu seseorang," itu katanya ketika kami bertemu kemarin.
"Sudah ketemu?" tanyaku.
Ia mengangkat bahu. "Sebetulnya sudah. Tetapi tidak bisa bicara."
"Kenapa?"
"Karena dia selalu sibuk," sahutnya seakan asal menjawab.
"Seandainya kamu bisa bicara dengannya apakah kamu mau bercerita?"
"Maaf, bagaimana maksudmu?" aku meniru pertanyaannya ketika
awal percakapan kami.
"Ceritalah tentang aku."
"Oooo...," aku tidak tahu bagaimana harus meneruskan percakapan.
Kamar A6
Tidak salah kalau aku capai menunggu lelakiku datang. Aku sudah
di sini tiga hari dan dia tetap tidak punya waktu. Padahal sudah bermalam-malam aku menyisir sepi sampai tepian pagi. Maka tubuhku yang penat kubaringkan di tempat tidur dengan perasaan enteng. Di sisi bantal, kuletakkan amplop dari dokter kandungan yang menyatakan aku positif hamil.
Aku harus istirahat. Kulihat ada lingkaran hitam di mataku karena terlalu banyak menangis dan tidak tidur. Tetapi aku takut, kalau sewaktu-waktu dia datang menemuiku, padahal aku masih lelap. Karena buatku, waktu bersamanya sangat berarti. Aku tidak ingin kehilangan sedetik pun.
Kamar A5
Ada seorang laki-laki yang mencari perempuan di kamar sebelah.
Ia mengetuk-ngetuk pintu kamar sebelah tetapi tidak ada yang membuka.
"Ketuk saja, mungkin sedang di kamar mandi," kataku sok tahu.
Laki-laki itu mengetuk pintu agak keras.
Tidak ada sahutan.
"Apakah ia keluar?" laki-laki itu bertanya kepadaku.
Aku menggeleng dengan yakin. "Dari semalam ia tidak ke mana-mana.
Ia menunggu seorang laki-laki."
Ketukan di pintu semakin keras.
"Apakah kamu yang ditunggunya?" aku bertanya lagi.
Laki-laki itu diam.
Pintu itu bukan diketuk lagi. Tetapi digedor. Lalu dibuka paksa dengan kunci serep milik penjaga wisma.
Bau tidak sedap menghambur keluar.
Perempuan itu tidur nyenyak di atas tempat tidur.
Laki-laki itu terhenyak.
Tetapi telpon selulernya menyalak nyaring. Suara seorang perempuan terdengar menggelegar di ujung sana "di manaaaaa? Cepat pulangggggg!!!"
Laki-laki itu langsung membalikkan badan.
"Hei, ada pesan untukmu...," panggilku.
"Aku sibuk...," ia pergi seakan terkencing-kencing.
Bahkan laki-laki itu tidak sempat membaca amplop di sisi bantal perempuan itu.
Surabaya, 15.07.2006, 01.58 WIB

Bayi Ke Tujuh


(Cerpen Lan Fang, 08 Juli 2006)

"NYONYA Lan Fang, selamat pagi! Bayinya cantik sekali," seorang perawat masuk sambil mendorong boks bayi kecil dari kaca dan meletakkannya di sampingku. "Kalau kondisi Nyonya sudah lebih nyaman, apakah hendak menyusui bayinya?" tanyanya sambil membuka jendela.
"Suster, orang itukah yang merawat taman di rumah sakit ini?" tanyaku ketika melihat seorang laki-laki yang sedang memangkas rumpun bougenvile di halaman taman.
"Ini anak yang keberapa, Nyonya?"
"Sampai jam berapa ia bekerja?"
"Suami Nyonya tentu sangat senang mendapatkan bayi secantik ini."
"Suster, bisakah bayi itu dibawa keluar?" akhirnya aku menukas dengan kesal.
"Tapi ini waktunya ia menyusu."
"Beri saja susu formula. Saya sedang ingin menikmati taman itu."
"Ng..."
"Saya yakin kalau perawat-perawat di rumah sakit ini bisa merawat bayi itu dengan baik," tandasku.
Kali ini ia tidak berkata apa-apa lagi. Ia mendorong boks bayi itu keluar dari kamarku. Sedikit rasa pening dan rasa sakit di bagian bawah perutku, membuatku teringat bahwa empat hari yang lalu aku telah melahirkan bayiku melalui operasi caesar. Sebetulnya, ini adalah rasa pening dan rasa sakit yang sudah kesekian kalinya kualami, sehingga seharusnya tidak perlu lagi kurasakan. Bukankah rasa ini yang setiap kali kurasakan sehabis melahirkan bayi-bayiku?
Ini adalah kelahiran bayiku yang ketujuh!
Aku menikah pada usiaku yang kedua puluh tahun. Usia suamiku terpaut tujuh tahun denganku. Ia mengantongi sarjana komputer dan bisnis keuangan dari Amerika. Dalam usianya yang muda, orang tuanya sudah mempercayainya untuk menjalankan sebagian dari roda bisnis perusahaan yang membiak besar. Bisa kukatakan, suamiku adalah laki-laki ideal impian para gadis. Entah aku kejatuhan bulan dari mana ketika keluarga besar mereka memilihku menjadi istri laki-laki itu.
Aku tahu bahwa keluarga besar mertuaku masih sangat kolot memegang tradisi. Mereka tidak sembarangan memilih menantu. Kalau cuma sekadar mencari gadis cantik, kaya atau berpendidikan tinggi, pasti mereka bisa mencari gadis lain yang jauh melebihiku. Ditilik dari segala segi, aku hanyalah kontestan yang tidak diunggulkan menang dalam perebutan posisi menjadi menantu di keluarga itu. Bahkan sangat dimungkinkan aku tereliminasi di babak-babak awal.
Tetapi ternyata mereka memilihku! Sudah tentu aku mau!
Dan point kemenangan itu adalah aku dilahirkan pada hari, bulan, tahun, waktu yang bagus. Berdasarkan feng shui , shio ku cocok dengan shio suamiku. Setelah semua aspek dihitung oleh calon mertua perempuanku, diantara semua gadis yang dicalonkan, akulah yang akan membawa nasib keberuntungan, harmonis, umur panjang dan banyak anak...
Banyak anak... banyak anak...banyak anak...
Dua kata itu mendengung seperti bunyi sekumpulan tawon yang menyerang telingaku. Aku memang sudah melahirkan banyak anak untuk suamiku. Enam anak! Apa kurang banyak?
Sakitku terasa menjadi-jadi. Bukan saja pening, tetapi kepalaku seakan meledak dibombardir bom nuklir. Otakku seperti milk shake yang terkocok-kocok. Batok kepalaku seperti sudah menjadi serpihan kaca pecah. Masih ditambah payudaraku yang bengkak membatu karena air susu yang mendesak-desak. Membuat sakitnya terasa menjalar sampai ke ketiak. Bagian bawah perutku memilin-milin mengembalikan rahim yang membesar agar menciut kembali. Kulit perut yang menggelambir seperti leher sapi dengan guratan-guratannya. Ketika aku miring ke kiri, seonggok kulit itu pun ikut menumpuk ke kiri. Kalau aku miring ke kanan, onggokan kulit itu juga ngeloyor ke kanan. Kalau aku telentang, kulit lembek yang kisut itu melebar di seluruh area perut.
Sebetulnya kondisi ini juga bukan masalah.
Seperti yang sudah-sudah, sehabis masa empat puluh hari bersalinku, aku akan menghabiskan banyak waktuku di salon untuk menjalani program perampingan dan pembentukan tubuh lagi. Lemak-lemak di seputar lengan, paha, punggung dan perut akan disedot. Payudara akan dibentuk agar kencang kembali. Aku akan menjalani diet ketat. Juga senam aerobic untuk mengencangkan otot-otot yang kendor.
Lalu...simsalabim!
Tubuhku kembali seperti patung pahatan seniman Bali. Kembali menjadi tubuh sempurna yang memamerkan kemolekan perut rata dan dada kencang. Untuk mengurus bayi pun aku tidak perlu pusing. Karena bayiku langsung menempati kamar sendiri yang lengkap dengan bed set dengan gambar kartun, dinding ber-wall paper, susu formula yang paling mahal, dan seorang baby sitter yang akan menjaganya dua puluh empat jam.
Aku tidak perlu cemas dengan biaya hidup atau biaya sekolah anak-anakku. Dengan kekayaan yang dimiliki suamiku, semua makanan lezat, permen, gula-gula dan ice cream, selalu saja tersedia. Bukan pula suatu yang sulit untuk membelikan baju dan mainan untuk memenuhi lemari keenam putriku. Di kemudian hari, juga bukan hal yang aneh bila putri-putriku bersekolah ke luar negeri. Jadi, melahirkan banyak anak, sama sekali bukan masalah bagi suamiku atau mertuaku.
Beberapa bulan kemudian setelah aku melahirkan anak yang ke sekian – yang ternyata anak perempuan lagi, mertua perempuanku mulai mencekoki aku dengan jamu dan ramuan penyubur kandungan. Kadang-kadang aku bertanya, apakah aku kurang subur? Bukankah aku sudah memberikan cukup banyak cucu untuknya?
"Tetapi belum ada cucu laki-laki," begitu jawabnya tenang seakan-akan aku adalah cetakan puding agar-agar jelly. Di mana ia mengaduk sebungkus agar-agar jelly dengan gula pasir dijerang di dalam panci, lalu setelah mendidih ia menuangkan ke dalam cetakan plastik yang berbentuk aneka rupa.
Aku ingin sekali mengatakan kepada mertuaku, aku sudah capek menjadi cetakan puding agar-agar jelly. Aku capek melahirkan. Aku bosan gembrot dengan perut membusung, kaki membengkak, berjalan terseok-seok, mengejan atau menjalani operasi caesar, lalu kembali dengan kulit perut menggelambir seperti celana jeans yang harus dipermak.
"Kamu menantu tertua di keluarga ini. Coba lihat, ipar-ipar perempuanmu semua sudah memberikan cucu laki-laki. Masa kamu tidak bisa? Padahal hokky mu bagus. Kamu harus mempunyai anak laki-laki yang meneruskan warisan perusahaan dan menyambung marga," begitu mertuaku bersikeras dengan nada menyalahkan. Lalu apakah aku harus mengatakan kepadanya bahwa secara teori kedokteran, jenis kelamin bayi ditentukan dari khromosom Y yang dibawa spermatozoa anak laki-lakinya pada saat pembuahan? Bukankah sel telur ovum perempuan hanya mengandung khromosom XX? Jadi bukan kesalahanku kalau aku terus menerus melahirkan anak perempuan. Walau pun aku bukan mahasiswa kedokteran dan kebanyakan nilai ujianku hanya standar C saja, tetapi aku tidak terlalu bodoh untuk mengingat pelajaran biologi.
"Lebih baik kita ke dokter saja," begitu kataku kepada suamiku. "Kita menjalani proses inseminasi saja, kalau perlu bayi tabung sekalian. Pilih semua khromosom Y dari spermatozoa-mu, agar semua menjadi bayi laki-laki."
Aku sudah tidak tahan lagi menjadi cetakan puding agar-agar jelly. Seharusnya suamiku yang lulusan luar negeri itu bisa menerima pendapatku. Setidaknya ia bisa membelaku di hadapan mamanya bila aku yang disalahkan karena terus menerus melahirkan anak perempuan.
"Ke dokter?! Hanya untuk membuat bayi laki-laki saja kita harus ke dokter?! Lalu orang tuaku dan saudara-saudaraku semua akan tahu bahwa aku yang tidak mampu memberi bayi laki-laki! Begitu?! Gimana sih kamu? Yang benar saja. Itu akan mempermalukan aku, tahu?!" suamiku malah mengomel panjang lebar kepadaku.
"Kalau begitu kita tidak usah mempunyai anak lagi. Kita sudah punya enam anak!"
"Enam anak perempuan!" tandasnya. "Semua saudaraku memiliki anak laki-laki. Sudah seharusnya kita mempunyai anak laki-laki juga."
"Lalu?"
Lalu ketika suamiku mencumbuku untuk calon bayi laki-laki lagi, kusuruh ia memadamkan lampu. Bukan karena aku merasa minder dengan bentuk tubuhku yang sudah mengalami permak berkali-kali. Tetapi karena aku merasa ini bukan kegiatan bercinta lagi yang membutuhkan sarana untuk saling memandang pancaran ekspresi dari pasangannya. Ini hanya sekadar aktivitas pembibitan seperti ayam betina petelor, seperti oven kue bolu, atau seperti injection moulding machine di pabrik plastik yang menghasilkan gayung yang sudah diproses melalui moulding dari biji-biji plastik.
Dan hamillah aku untuk yang ketujuh kali!
"Banyak anak itu banyak rezeki. Apalagi kalau banyak anak laki-laki. Sepertinya kali ini kamu mengandung anak laki-laki," kata shinhe yang memberikan obat penyubur. Mama juga sudah bertanya kepada suhu yang menghitung feng shui, berdasarkan perhitungannya, kali ini adalah anak laki-laki.
"Lalu bentuk perutmu juga kelihatan berbeda. Tidak bundar seperti biasanya. Kalau perutnya sedikit lancip, itu tandanya bayi laki-laki," mertuaku sudah sibuk sejak bulan pertama kandunganku.
Ia menyuruhku memakan tim ayam, madu, kacang hijau, sop buntut, dan semua makanan yang bergizi setiap hari. Juga ramuan jamu Cina yang membuatku semakin muntah karena pahit dan getir. Ia bahkan melarangku makan rawon dan kecap agar bayiku tidak sehitam kuah rawon dan kecap. Ia menyuruhku memperbanyak makan telor dan susu, agar bayiku seputih dan sehalus telor dan susu.
Dia membuatku merasa lebih cemas sampai semakin lemas. Aku waswas sekali kalau bayi yang kukandung lagi-lagi perempuan. Rasa takut dan khawatir itu membuat kehamilanku kali ini sangat rewel. Aku sering muntah, mual dan pening. Sebetulnya itu adalah gejala biasa yang dialami orang hamil. Tetapi karena rasa yang menghantuiku sangat mencekam, maka segalanya menjadi tidak nyaman. Aku jadi malas merapikan diriku karena tahu bahwa akan sama saja seperti waktu-waktu terdahulu.
Ketika aku berkaca, maka yang tampak di pantulan kaca itu adalah sesosok tukang sihir. Aku kelihatan lebih tua dua puluh tahun, kulit wajah yang lusuh, pori-pori wajah yang berminyak, mulut cemberut, lingkaran mata yang cekung, sinar mata suram dan rambut kusut masai ditambah perut yang kian hari kian membuncit.
"Itu tanda-tanda mengandung anak laki-laki. Kalau mamanya tambah cantik, biasanya mengandung anak perempuan. Tetapi kalau mamanya tambah jelek maka ia mengandung anak laki-laki," mertuaku berteori.
Itu adalah teori mertuaku! Tetapi kenyataan bisa berbeda dengan teori.
* * *
AKU memicingkan mata bukan saja karena silau terkena sinar matahari yang pecah ketika berjingkat-jingkat menerobos bingkai jendela kamar. Tetapi lebih banyak karena merasa seluruh ruang berputar-putar naik turun seperti roal coaster.
Aku memencet bel berulang-ulang dan seorang perawat masuk tergopoh-gopoh.
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanyanya.
"Saya tidak mau dijenguk siapa pun. Termasuk mertua dan suami saya!"***
(Surabaya, 11.05.2006, 00.15 WIB)