Tuesday, April 30, 2013

Harga Sebuah Kejujuran


Dalam sebuah kutipan wawancara yang dilakukan oleh K.H Imanul Haqq, pimpinan Ponpes Al-Mizan, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat kepada (Alm) KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gusdur adalah tentang moralitas. Menurut Gus Dur Indonesia yang semrawut ini karena dua aspek moralitas, yaitu akhlak dan kejujuran tidak dipakai. Disinilah, kata Gusdur, orang harus berhati-hati terhadap moralitas (akhlak) dan orang yang ngomong moralitas itu belum tentu bermoral.

Jujur memiliki pengertian menyatakan sesuatu yang sebenarnya. Dengan demikian jujur merupakan sebuah usaha untuk menyampaikan yang sebenarnya. Nabi Muhammad merupakan suri tauladan yang yang baik (lihat Surat al-Ahzab: 21). Kejujuran beliau tergambar pada salah satu sifatnya yaitu, Siddiq (benar). Benar di sini bukan hanya meliputi perkataan, tapi juga perbuatannya juga benar. Karena jujur merupakan salah satu dari sifat nabi, kita sudah dapat mengukur seberapa penting kejujuran itu.

Berangkat dari pernyataan di atas menarik disimak untuk menakar sejauh mana kejujuran seseorang saat ini. Namun demikian, pembahasan ini bukan berarti ingin memvonis kejujuran seseorang. Tidak. Tetapi lebih kepada sejauh mana harga sebuah kejujuran itu dalam konteks kekinian. Kejujuran merupakan asas terpenting bagi setiap manusia dan merupakan harga dalam agama Islam. Orang yang jujur dapat mendatangkan kasih sayang kepada manusia. Tidak hanya itu, sifat jujur juga akan mendatangkan rahmat dan kasih sayang dari Allah.

Di samping itu, orang yang jujur akan mempengaruhi tingkat martabat seseorang, karena jujur sifat jujur akan melahirkan amanah, yakni dapat dipercaya. Sekali saja melakukan kebohongan maka orang itu takkan di percaya selamanya.

Seiring perubahan zaman, banyak sekali praktek ketidak jujuran di negeri ini. Kejujuran menempati nomor yang kesekian dalam hidup ini. Pepatah “jujur maka akan mujur” sudah berubah menjadi “jujur maka akan terbujur.” Aneh memang namun begitulah fakta yang berbicara: yang terpenjara dan yang salah tertawa. Memang, kejujuran akan menjadi hal yang sulit bila dibenturkan dengan ralita yang menghambakan materialitas.

Untuk menjadi hamba yang kaffah, sebenarnya Nabi Muhammad sudah me-warning hambanya untuk senantiasa bersikap jujur, karena kejujuran menjadi salah satu pembeda seseorang dengan orang munafik. “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila berkata , ia berdusta. Apabila berjanji, ia berkhianat. Apabila diberi amanah, ia menyalahi.” (HR. Bukhari).

Kaitannya dengan sifat jujur, banyak dalil-dalil, baik dari al-Quran maupun Hadits—yang tidak bisa disebutkan semuanya yang menyuarakan tentang kejujuran. Namun, semua itu tiada berguna dan hanya membuahkan azab apabila hamba-Nya tetap mengacuhkannya.

Oleh karena itu, bentuklah sikap jujur dalam diri kita, baik dimulai dari sikap, perbuatan, dan perkataan.

Sunday, April 14, 2013

Pentingnya Berhijab


Oleh:Warda MF
(Buletin Al-Mu'ien,edisi ke 2 Maret 2013)


Pada zaman sekarang penghargaan terhadap kaum perempuan sangat merongsot sekali. Hal tersebut dikarenakan perempuan tidak bisa menjaga kehormatannya. Suatu contoh, perempuan saat ini jarang yang memakai jilbab. Mereka mereka sangat suka menebar pesona syahwat dengan cara membuka aurat.

Untuk apa mereka membuka hijabnya? Apakah hanya untuk pria tampan? Apakah hanya untuk harta yang melimpah? Sungguh, apabila demikian, pasti hanyalah kesengsaraan yang akan didapatnya. Jadi, jangan heran apabila di dunia ini banyak tindakan yang memerosotkan harga diri seorang perempuan: pemerkosaan, perzinahan, diskriminasi, dlsb.

Kiranya menjadi hal yang kurang bijak apabila serta merta mengkambinghitamkan kaum lelaki sebagai dalang atas tindakan tersebut. Koreaksi terlebih dahulu kepada para perempuan, apakah perempuan itu sudah bisa menjaga auratnya dengan baik? Jangan biarkan perempuan seperti kue yang sangat lezat akan tetapi di jual di tempat sembarangan denga harga yang sangat murah, sehingga orang yang membelinya bisa mencicipi kue tersebut secara gratis.


Manfaat menutup aurat sangat banyak sekali, di antaranya: terhindar dari sinar UV (Ultra Violet), mejadikan kulit tampak bercahaya, dan terhindar dari godaan para pria. Dan tentu, hal yang paling utama adalah untuk menutupi aurat yang menjadi bahan utama tipu muslihat syaitan kepada manusia.

Apabila perempuan menutupi auratnya, pria akan merasa malu dan butuh berpikir berkali-kali bagaimana cara mendapatkan perampuan itu. Yakinlah, bahwa orang yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Itulah salah satu janji Allah kepada orang yang sholeh/solehah.

Banyak yang mengatakan bahwa berjilbab itu kurang pergaulan alias kuper. Akan tetapi sebagian besar di dalam hati mereka berkata ”betapa anggun perempuan itu”. Cobalah bandingkan sendiri perbedakan antara perempuan yang tidak berhijab denga perempuan yang berhijab!

Wahai uhkti muslimah,  alangkah baiknya jika engkau menutup aurat dengan sempurna agar terhindar dari kehinaan serta terhindar dari godaan akal bulus syeitan. Jadikan diri kita seperti kue yang sangat lezat, yang di simpan dalam almari kaca yang sangat bagus. Dan yang pasti harganya sangat mahal, sehingga tidak sembarang orang dapat memilikinya.

Jika perempuan bisa menjaga auratnya dengan baik, demi menaati dan menegakkan ajaran agama, menjalani hukum-hukum syara’, niscaya kaum perempuan akan mendapatkan kebahagiaan.


Kawan dan Lawan Iblis

Oleh: Imam Junaidi
(Buletin Al-Mu'ien,edisi ke 2 Maret 2013)

Iblis adalah makhluk yang dilaknat oleh Allah (laknatullah). Makhluk yang ditentukan oleh Allah sebagai penghuni nerakanya. Makhluk yang mempengaruhi manusia menuju kesesatan. Dan dialah yang menjadi penyebab diusirnya Nabi Adam As dari surga. Selama bumi berputar pada porosnya, ia tidak rela bila Adam dan keturunannya taat pada Allah. Oleh sebab itu kita sepatutnya mengerti dengan cara apakah iblis menggoda manusia agar menjadi pengikutnya.

Mungkin sepenggal cerita di bawah ini bisa menjadi landasan bagi kita untuk mengerti dengan apa dia menjerumuskan manusia kedalam neraka.

Suatu saat, Allah SWT memerintahkan iblis untuk mendatangi Nabi Muhammad SAW dan menjawab semua pertanyaan beliau. Maka dia pun datang pada nabi dalam wujud orang tua yang memegang tongkat. Kemudian terjadi komunikasi antara nabi dan iblis:

Siapakah engkau?” tanya Nabi

Aku iblis,” Iblis menjawab.

Untuk apa kau datang padaku?”

Allah memerintahkan aku datang padamu dan menjawab semua pertanyaanmu.”

Berapa yang termasuk musuh-musuhmu dari umatku?”

“Ada lima belas. (1) kamu (2) pemimpin yang adil (3) orang kaya yang tawadlu’ (rendah hati) (4) pedagang  yang jujur (5) orang alim yang rendah diri (6) orang mu’min penasehat (7) orang mu’min yang penyayang (8) orang yang bertaubat yang tetap pada taubatnya (9) orang yang hati-hati dari perkara haram (10) orang mu’min yang suci terus menerus (tidak putus wudlu) (11) orang mu’min yang selalu bersedekah (12) orang mu’min yang berakhlak mulia (13) orang mu’mim yang bermanfaat bagi orang lain (14) orang yang terus menerus membaca Al-Qur’an  (15) orang yang bangun malam pada saat manusia sedang tidur,” jawab iblis dengan tegas.

Siapakah teman-temanmu dari umatku?

“Ada sepuluh wahai nabi. (1) pemimpin yang tidak adil (2) orang kaya yang sombong (3) pedagang yang khianat (tidak bisa dipercaya) (4) peminum arak (5) tukang adu domba/fitnah (6) penzina (7) pemakan harta anak yatim (8) orang yang meremehkan (enteng) terhadap sholat (9) orang yang tidak membayar zakat (10) orang yang selalu berangan-angan (penghayal), jawabnya lagi.

Dikisahkan dari salah seorang ulama’ bahwa suatu hari beliau ikut dalam penguburan adik perempuannya yang meninggal dunia. Tanpa dia sadari dompetnya terjatuh ke dalam kubur. Sesampainya di rumah, ia teringat pada dompetnya. Ia yakin bahwa dompet itu jatuh kedalam kuburan adiknya.

Ulama’ itu memberanikan diri mendatangi dan menggali kuburan adiknya. Setelah beberapa saat menggali,  alangkah terkejutnya setelah mendapati api yang menyala dan berkobar di dalam kuburan itu. Ia pun berhenti karena takut.

Ulama’ itu pulang sambil menangis dengan perasaan sedih atas apa yang terjadi terhadap adiknya. Sesampainya di rumah ia bertanya kepada ibunya, “Wahai ibu ceritakanlah padaku tentang adikku dan apa perbuatannya semasa hidup?”

”Untuk apa kau bertanya seperti itu?” tanya ibunya.

”Wahai ibu kuburan adikku dipenuhi api yang menyala-nyala.

Mendengar cerita anaknya itu sang ibu pun menangis seraya berkata, “Anakku! Adik perempuanmu ketika masa hidupnya meremehkan sholat dan mengakhirkannya.Inilah adzab bagi orang yang meremehkan sholat. Lantas bagaimana dengan siksa orang yang sama sekali tidak melaksanakan sholat???? (Wallahu a’lam)
            

Siluet Pantai Utara

(Minggu Pagi, 23 November 2012)

“Kau siap?”

Aku tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Betapa berat meninggalkan rumah ini. Ya, di sinilah aku dilahirkan, memulai tawa dan tangis. Namun, satu hal yang menguatkanku tetap bertahan pada satu keputusan pergi, keyakinan bahwa akan banyak hal baru di tempat yang baru.

“Kami tidak memaksamu ikut, tapi ibu pastikan kau akan betah. Kau bisa lebih leluasa menghirup udara. Ibu yakin tak akan ada sesal,” ujarnya seraya memasukkan boneka dolphinku ke dalam tas.

“Azura tidak akan pernah menyesali keputusan Azura,” Jawabku. Ibu mengulum senyum dan memelukku. Tampaknya ibu dapat membaca kunang-kunang di mataku.

Ayah mematung di ambang pintu menyimak dan menunggu kami selesai bercakap-cakap.

“Sudah siap?” aku dan ibu membalas dengan stu senyuman.

Kami meluncur menuju sebuah tempat—yang katanya indah—yang kata ayah aku akan melihat panorama asli Indonesia sesungguhnya. Terlalu deras angin menjamah rambutku, terlalu terik matahari menyentuh kulitku, tetapi sangat disayangkan bila aku melewatkan keindahan di samping kiriku.

Tak ada alasan yang jelas kenapa aku bisa memilih ikut serta pindah dan menetap di sini, menemani nenek. Hanya saja, cerita-cerita ayah tentang nelayan, tentang ikan, tentang senja, tentang angin, tentang ombak, dan tentang perahu-perahu yang tertambat rapi di tepian pantai membuatku berani mengambil keputusan. Di sini, aku bisa mendengar suara-suara saronen dari gubuk menjelang peristirahatan para nelayan sepulang melaut.

Ayah dan ibu tengah asyik mansyuk melepas kangen dengan nenek. Sementara diriku keluar ke beranda hendak menikmati cahaya kekuningan di pantai laut utara. Seminggu selepas kakek meninggal, keluargaku memutuskan pindah barang sejenak karena nenek sangat keberatan untuk untuk kami bawa; tinggal bersama kami. Entah kapan takaran barang sejenak itu, apakah sehari? Seminggu? Sebulan? Setahun? atau bahkan lebih, aku tak tahu.

Benar! Garis-garis siluet senja menyita waktuku berlama-lama duduk di serambi. Sore yang sempurna. Aku melihat seorang perempuan yang mungkin usianya sepantaran denganku tengah duduk pada sebuah gubuk tanpa sekat menghadap ke laut, beralas pasir putih, beratap anyaman daun lontar. Kedua kakinya diselonjorkan, diayunkan. Sepertinya ia sedang menikmati desau angin yang memanjakan bulu matanya.

“Siapa yang kau perhatikan?” Suara ibu sedikit mengagetkanku. “Hem, rupanya kau sudah menemukan teman baru, ya?!” Pertanyaan ibu bak pernyataan, tak bisa kubedakan. “Kalau mau, samperlah! Jadikan ia teman barumu,” pungkasnya. Aku menggeleng. Lekas aku masuk ruangan.

“Lho?”

***

Selain siluet senja, tak dapat dinyana sikapnya memang sedikit mencuri perhatianku. Berdaster putih dengan warna cukup suram serta rambut sebahu yang selalu diikat ke belakang. Kususun kemantapan hati sekedar menyapa sekedar berbasa-basi. Dan, pada suatu kesempatan, aku menyuruhnya untuk meniup saronen milikku.

“Maukah kau mengajariku?” tanpa menunggu persetujuannya, mau atau tidak, aku menyodorkan saronen itu ke wajahnya. Tanpa kuduga, ia langsung mengambil lantas memainkannya. Sendu. Syahdu. Indah.

“Kamu suka laut?” Tanyaku.

Sementara, pada perahu-perahu yang tertambat kaku, para nelayan bertelanjang dada sibuk mempersiapkan pembekalannya menuju pelayaran malam nanti. Otot-otot mereka menyumbul saat bersama-sama menarik jala dan kotak-kotak kayu ke atas perahu.

“Kau siapa?” Akhirnya aku mendengar suaranya. Meski pertanyaan yang dia lontarkan sepertinya kurang bersahabat.

“Azura. Apa kau menyukai senja?”

“Bapak bilang, senja adalah wujud keindahan.” Jawaban yang aneh. Aku menanyakan dirinya, kenapa jawabannya tentang bapaknya. Dagunya diangkat cukup tinggi. Jatuhlah langit di kelopak matanya.

“Jadi kita sama. Sama-sama menyukai senja. Yah, aku hanya merasa damai setiap kali melihat bias itu,” kataku. Aku menunggu beberapa detik, berharap menanggapi kesamaan akan sebuah simpulan.

“Aku suka kunang-kunang.” Ah, pernyataan macam apalagi yang dilontarkan perempuan ini. Padahal disekitarku dengannya tak sekelippun terpandang pijar kunang-kunang. Ah, mana mungkin kunang-kunang sudah muncul pada sore hari. Bodoh. Diriku terjebak dalam pertanyaanku sendiri, benarkah di tepi laut juga ada kunang-kunang? Entahlah. Hem, perempuan yang aneh.

“Oh, ya?”

“Meskipun banyak orang bilang kunang-kunang adalah kuku orang yang sudah mati, aku tetap suka. Bapak selalu menangkapkannya untukku. Setiap malam. Tapi itu dulu, sekarang tidak lagi,” ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laut.

“Kenapa bapakmu tidak lagi menangkapkan kunang-kunang untukmu?” Aku mengikuti alurnya. Berharap ia mau berbagi cerita.

“Bapakku sudah tak ada.”

“Meninggal, maksudmu?” potongku.

“Empat tahun lalu ia meninggalkanku dan ibuku, sampai sekarang.” Lalu dia beranjak. Senja semakin memerah. Gadis itu terus melangkah pergi. Mungkin ia tak suka dengan topik tentang bapaknya. Ah, aku lupa menanyakan namanya. Awal persahabatan yang aneh. Semoga ini bukan awal keanehan selanjutnya.

***

Seperti sore kemarin, aku sengaja menunggunya di gubuk itu. Terlalu banyak keanehan yang harus kutanyakan padanya. Jujur, menurutku, ia bukan tipikal perempuan yang tertutup. Hanya saja, mungkin, selama ini tak ada yang peduli pada hidupnya. Siapa yang tidak iba melihat wajah mendung di bawah senja?

Perempuan itu datang.

“Hei…Aku menunggumu sejak tadi,” sapaku saat perempuan itu tengah di depanku. Ia duduk di sampingku.

“Aku merasa kita adalah sahabat. Tapi kamu belum memberitahukan siapa namamu. Boleh aku tahu?” Kuamati wajahnya lekat: hidung mancung, mata teduh, alis lebat, serta warna kulitnya lebih putih ketimbang perempuan pesisir seusianya.

“Aku Hanna.”

“Hanna…nama yang cantik. Seperti orangnya,” pujiku tulus.

“Bapak juga sering bilang begitu. Aku jadi sangat merindukannya,” wajah sayunya melabrak wajahku. Aku gelagapan dan berusaha menarik semnyum agar tak ketahuan.

“Azura, sebenarnya aku merasa kita sudah dipertemukan sejak zaman azali. Aku mengenalimu. Kamu adalah perempuan penyuka ornamen langit, kan? Dan aku yakin keputusanmu turut pindah ke sini karena langit di depanmu itu. Di sini kau bebas melihat, menikmati, bahkan melukis langit sesukamu.” Aku terkejut. Kukira selama ini Hanna tidak pernah mempedulikanku.

“Kau tak perlu kaget karena aku sedikit banyak tahu tentangmu dari ibuku. Kau jadi pembicaraan orang sekampung. Katanya kamu adalah anak pejabat teras yang sudah pensiun. Benar, bukan?”

“Ah, itu hanya kata mereka. Aku merasa sama denganmu, penyuka langit, benar bukan?” Pelan kekakuan yang biasanya menemani percakapan kami mulai mencair.

“Tidak Azura. Hidup yang kau jalani tidak separah diriku. Hidupku selalu penuh dengan tantangan seperti mereka.” Hanna menunjukkan sekumpulan nelayan. “Dan biasanya, bila masih ada bapak, ia selalu menguatkanku dengan nasihat-nasihatnya. Sampai saat ini bapak belum pulang. Dulu, bapak memintaku menunggunya di laut. Wajarlah, kemanapun orang-orang kampung pesisisr pergi pasti mereka akan datang dari laut, termasuk bapak. Empat tahun sudah bapak belum juga datang. Sebagaimana pesannya, aku selalu menunggu kepulangannya.” Hanna menghirup napas panjang. Serasa melepaskan sebuah beban.

“Bapakmu seorang pelaut?”

“Tidak. Bapak Cuma pekerja kasar pembuat perahu.”

“Kalau boleh aku tahu, terakhir bapakmu pergi ke mana?”

“Tak ada yang tahu ke mana bapak. Tidak juga dengan lurah yang mendampinginya waktu itu,” dagunya terangkat. Tatapannya kosong pada sebundar kuning telur yang hampir terbenam.

“Hanna, kau hanya menceritakan penggalan hidupmu saja. Ayolah, ceritakan seluruhnya. Jika ceritamu adalah rahasia yang harus disimpan, aku janji akan merahasiakannya. Kita kan sudah menjadi sahabat,” bujukku.

“Tak ada yang perlu dirahasiakan. Semua orang tahu runtutan cerita bapak,” Hanna kembali menghirup napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

“Empat tahun lalu bapak dijemput oleh lurah kampung. Aku tidak tahu ada acara apa. Tapi sebelum pergi bapak mencium pipiku sambil berpesan aku tidak boleh menjadi gadis cengeng. Aku harus kuat, begitulah pesan bapak setiapkali akan pergi. Pergi jauh. Ketika aku ke warung, orang-orang ramai membicarakan pemilihan calon bupati, juga tentang beberapa orang yang dicurigai punya kharisma untuk mempengaruhi orang-orang kampung kami yang diajak pergi oleh orang-orang berpakaian necis. Waktu itu aku sangat tidak paham apa itu urusan politik. Tapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kata orang-orang di warung itu, bapak telah menjadi korban kampanye gelap. Aku tidak menyangka akan seperti ini.”

“Apa kamu tidak mencari bapakmu?” kejarku.

“Sejak bapak menghilang aku selalu menunggunya. Dan setelah selama setahun aku mulai sadar penantian tanpa pencarian adalah sia-sia. Maka aku mulai mencari tahu kemana bapak pergi. Aku menanyakan kabar bapak pada setiap orang yang pernah kulihat berbincang dengan bapak. Setelah pencarian yang sangat panjang itulah akhirnya aku tahu, orang-orang berpakaian necis itu telah mengajak bapak pergi dari kerumunan orang-orang dan bapak tidak datang lagi…” Hanna menelan ludah. Aku melihat ada air yang mengambang di sudut matanya.

“Maaf, , kalau aku membuatmu sedih.”

“Tak apalah. Aku hanya…” tak ada lagi yang diucapkannya. Lagi-lagi sepi tercipta diantara kami. Tembang saronen melilit-lilit pelepah nyiur tersebab desau angin pesisir.

“Apa kamu tahu siapa orang yang telah mengajak bapakmu pergi?” tanyaku setelah kami terdiam cukup lama.

“Trihatmodjo Kusumanegara.” Hanya itu jawabannya.

Aku terkesiap. Tak perlu aku cari tahu siapa dia. Karena aku sangat mengenalnya. Cerita yang sama pernah kudengar bertahun-tahun yang lalu. Seseorang yang sangat aku kagumi menceritakan kehebatannya karena berhasil mengantarkan kerabatnya menjadi orang nomor satu sekabupaten. Aku mendengar cerita itu diceritakan dengan penuh semangat, penuh kebanggaan yang meluap. Tapi hari ini, aku kembali mendengar cerita yang sama dengan ekspresi yang berbeda. Sangat jauh berbeda. Juga dari orang yang berbeda. Dan baru kutahu bahwa ternyata, sejak dulu, aku mengidolakan orang yang salah.

 JEMBER, NOVEMBER 2012

Monday, April 8, 2013

Riwayat Langgar

(Suara Merdeka, Minggu 7 April 2013)

Namanya Siti. Bila fajar merekah, ia menuruni bukit Payudan menuju sebuah sumber mataair di lereng bukit. Berbasahan dengan setumpuk pakaian yang larung di bawah pancuran, menunggu kucekan.

Di atas air menggenang, berguguran daun-daun kering. Alang-alang dan tanaman pakis tumbuh lebat di sekitar pancuran dan di sepanjang sisi selokan. Ikan-ikan kecil mengambang—yang melesat bilamana coba disentuh. Air beriak sepanjang selokan membentuk gugusan kristal. Lepas pandangan ke barat, goa Payudan terpancang kokoh.

Bila cakrawala bergelantung di pelepah nyiur, gadis bermata ilalang itu juga di pancuran. Bedanya, ia tak sendirian sebagaimana pagi itu. Siti bersama Emaknya. Membawa dengan menenteng setumpuk peralatan dapur; bajan, panci, piring, cobek, sendok serta kresek isi abu tomang dan sabun colek.

Segala bentuk perkakas dapur itu bukan Siti yang membereskan. Ia sekadar duduk-duduk di sebuah batu besar menikmati panorama lereng bukit; angin sepoi, burung tekukur berbaris di pelepah nyiur, ladang yang tampak miring, serta cecericit kecil serangga. Kadang ia mengusili ikan dengan melemparinya dengan kerikil. Atau melantunkan tetembang kejhung yang sengaja dipinta oleh Emaknya.

Dalam keadaan seperti itu, ilalang di dalam mata Siti melambai. Menggambarkan sesosok lelaki yang berlari ke arahnya dengan senyum tak kalah rekah dari cakrawala. Derap kaki yang berlari di atas pematang seperti perjalanan sebuah perahu yang dipermainkan ombak. Siti pun tersenyum.

''Siti. Ayo pulang. Mak sudah selesai,'' pungkas Emaknya.

''Ya, Mak.''

Dibimbing gadis mungil itu berjalan menaiki bukit Payudan. Sampir lorek dijinjing setinggi lutut. Tanpa sepengetahuan Siti, Emaknya menoleh, menomang perasaan anaknya. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya.

***
Pijar teplok di pilar beranda meliuk,berdesis-desis mempertahankan cahayanya. Belum lagi teplok itu dituntut adil membagi cahaya antara beranda dan langkan langgar. Api yang menjilati gelap tampak memberi isyarat kalaulah bulu kuduk akan berdiri bila keluar beranda, tercekam dingin.

Suara dedaunan rumpun pering yang saling bergesek bak suara harmonika yang sumbang. Kerjap kunang-kunang di pekarangan rumah. Sesekali kelebat kelelawar menyibak kelam. Sebuah krocok jatuh. Isyak baru saja lewat. Tetapi apalah daya, hanya bertumpu pada jilatan satu teplok membuat malam larut dari biasanya.

Siti. Siti. Siti.
Siti. Siti. Siti.
Bangun. Bangun, sayang.

Siti membukakan mata. Mencoba mengenali suara yang terasa dekat dengan perasaannya. Kendati mata sudah terbuka lebar, tanpa sebersit sinar, melihat tak lebih dari—sebagai—tunanetra. Mujur ada bulan sabit di balik tirai tipis berpaling ke arahnya sehingga Siti dapat menerka letak jendela kamar.

Siti. Siti. Siti.
Bangun. Bangun, sayang.

Siti menyingkirkan sampir yang menutup tubuhnya. Perlahan ia mendekati jendela. Tirai dan daun jendela terkuak. Ada seberkas cahaya terang di sisi kiri jendela. Alisnya mengernyit. Dahinya mengerut. Matanya menyipit. Ada cahaya yang tak bisa digambarkan terangnya. Bahkan ketika ia berkunjung ke seorang kerabat jauh yang tinggal di Surabaya beberapa tahun lalu, belum ada cahaya sepadan dengan yang dilihatnya di kota itu.

Siti mematung berlama-lama di paras jendela. Cahaya itu tak mengabur, tetapi Siti dapat melihat apa, siapa, dan bagaimana rupa di balik cahaya itu. Ya, sebentuk istana dengan lapisan kristal menghablur di dasar lantai. Empat pilar emas menyangga atap berlapis dedaunan hijau dengan kemboja sebagai motifnya.

Sebagian dari temannya tengah berada di sana, tetapi tidak tahu persis satu persatu diantara mereka. Ia cuma menerjemahkan sebuah kisah dalam adegan-adegan itu dengan sikap dan perasaan yang tak asing; anak sepantarannya yang sedang mengeja huruf hijaiah.

Siti terenyuh ingin segera bersimpuh bersama mereka. Bibirnya terkatup rapat. Apa yang dilihatnya membuncah kerinduan betapa peristiwa itu tak lagi ada. Siti terka wajah-wajah berpakaian serba putih itu satusatu, namun tak berhasil. Rentang waktu lebih dari lima belas purnama memajal ingatan.

Seekor kucing melesat. Panci di dapur jatuh. Semua buyar. Emaknya terperanjat berlanjut menyumpahserapahi suara itu. Siti duduk bertekuk kaki. Sepasang matanya kosong membuang pandang ke paras jendela.

''Masih gelap. Tidur lagi,'' pungkas ibunya. Siti terpaku menatap paras jendela.

***
Berebahan di langkan langgar, pada hamparan tikar rajutan serat daun siwalan, bagi Siti dan Emaknya, merupakan pilihan yang tepat ketika matahari menerik. Angin leluasa masuk dari celah-celah tabing yang bagian bawahnya sudah melepuh. Rimbun rumpun pering duri yang menudung atap langgar membuat tempat itu lebih teduh. Konon, pering-pering itu ditanam di sekitar langgar sebagai persembunyian dari pantauan tentara penjajah serta tempat untuk menghimpun Laskar Joko Tole .

Siti menerakan mimpinya semalam. Tutur polos gadis berkulit sawo matang dengan rambut lurus menjuntai itu mendorong Emaknya mengetuk masa lalu yang belum pernah termaktub sama sekali di benak anaknya. Wajahnya tertegun pada seorang pemuda yang terkapar di pematang ladang dengan muka pucat berkabu-kabu. Pemuda yang lupa pada dirinya sendiri. Pemuda yang tekun belajar mengaji kepada Ke Ramuk—Abahnya. Pemuda yang kemudian mendapat nama Abdullah.

Ya, Ke Ramuk mendapati Abdullah tergolek lemas di pematang. Di tangan Ke Ramuk, Abdullah dituntun menjadi hamba yang saleh; solat dan ngaji. Barangkali Abdullah merupakan jawaban atas doanya yang menginginkan keturunan laki-laki. Bagaimanapun keberhargaan memiliki anak lelaki tak bisa dinilai dari emas dua puluh empat karat sekali pun.

Seiring waktu berputar, kasak-kusuk tetangga mulai tak sedap didengar. Abdullah dituduh sebagai pembawa aib kampung. Gonjang-ganjing soal status yang tidak jelas mencuat. Sebagai tokoh masyarakat, Ke Ramuk memahami pangkal perkaranya. Bukan soal status, melainkan soal keberadaan putrinya yang berstatus perawan. Wajarlah bila warga merasa was-was atas nama adat. Untuk meredakan fitnah, Abdullah disandingkan dengan Ratin, anak sematawayangnya.

Ke Ramuk wafat ketika Siti berusia dua puluh lima bulan. Sebuah langgar tua dititipkan pada Abdullah dengan beberapa wasiatnya. Segala aktifitas Ke Ramuk atas langgar itu Abdullah yang menggantikan.

Lapuk dimakan usia sudah menjadi bagian dari kodrat alam. Pandangan Emak Siti menyudut di sudut-sudut langgar. Memastikan dan meyakinkan kebenaran atas kepergian suaminya.

Barangkali sudah saatnya Siti mendengarkan yang sebenarnya. Dipandangi lekat wajah oval gadis mungil itu lalu dicium pipinya yang tembam. Siti merebahkan kepala di pangkuannya. Sentuhan tangan menyisiri rambut Siti. Sesuatu mengeristal di pandangan. Lepaslah sebuah cerita panjang. Sepanjang perasaan menjangkau ke belakang.

''Aku harus mencari biaya untuk memperbaiki langgar,'' ucapnya lirih. Wajahnya yang dingin terpantul di dalam segelas kopi yang dingin.

''Kita kan bisa bermusyawarah dengan warga untuk meminta patungan.''

''Sudah kurencanakan. Perhitunganku tak akan cukup. Pilar dan plafonnya sudah sangat rapuh. Apalagi bubungan sudah melepuh,'' keduanya bersitatap.

''Abah mau kerja apa?''

''Ikut Suliman ke Surabaya. Ada proyek bangunan. Bosnya membutuhkan tenaga yang banyak, katanya.''

''Nunggu panen saja.''

''Harga singkong cuma seberapa, mana cukup. Rencananya, hasil kerja itu akan kukumpulkan bersama hasil panen dan patungan warga. Insya Allah cukup.''

''Memang berapa biaya yang dibutuhkan?''

''Tiga sampai empat juta.''

''Tak usahlah, Bah. Nunggu panen dua kali saja. Kalau sudah tak mampu, tak usah dipertahankan. Ngaji di rumah bisa juga kan?''

''Langgar itu titipan Abah. Wasiat! Tak mungkin aku membiarkannya mati. Apalagi sudah bertahun-tahun berdiri di situ, sejak jaman perang,'' suara Abdullah meninggi. ''Apa Ummi lupa Abah pernah bilang kalau langgar ini dulu menjadi tempat musyawarah pasukan gerilya Kiai Haji Husain Arifin? Tempat melatih silat, bukan sekadar tempat mengaji,'' tambahnya.

''Apa Abah tidak kasihan pada Siti?'' Ratin terpaku. Ceruk di matanya mengambangkan air yang ditahan agar tak jatuh.

''Nanti aku akan bicara sendiri padanya. Toh, aku keluar hanya sebentar. Sementara waktu, biar kamu yang menggantikanku dan biar Mad Juma yang jadi imam salat,'' Ratin terhenyak.

''Kalau aku berhalangan?''

''Biar Mad Juma sementara waktu menggantikanmu,'' Ratin semakin terhenyak. Terdiam menahan dada yang tiba-tiba bergolak. Mengapa harus Mad Juma?

Betapa tawaran suaminya sungguh berat. Ini bukan soal penunjukan Mad Juma menjadi imam salat atau guru ngaji. Abdullah tak pernah tahu bahwa sebelum sah menjadi istrinya, Ratin sudah lama berhubungan dengan lelaki yang memiliki bekas luka di jidadnya itu. Abdullah juga tak tahu mengapa Siti mirip dengan Mad Juma. Bisakah Ratin bertahan dan menjaga kesucian cinta seorang istri? Firasatnya mengkhawatirkan. Ia tak kuasa sekalipun hanya untuk membayangkan.

Begitulah anakku, mengapa amanah Abahmu tak kulaksanakan. Aku takut perasaan itu datang lagi. Aku tak ingin masuk pada lubang yang sama dua kali. Mad Jumalah dulu yang menjadi dalang atas fitnah itu agar Abahmu diusir dari kampung ini. Namun, jebakan menelan dirinya sendiri karena aku justru dinikahkan, batinnya.

Tidak semuanya dikisahkan kepada Siti. Termasuk wajah Siti yang mirip dengan Mad Juma. Hanya beberapa penggal saja yang ada benang merah antara langgar dan keluarganya, bukan dengan masa lalunya. Bila ada kata menyorong ke Karman, maka difiksikan sebagaimana kisah dalam cerita fiksi.

***
Namanya Siti. Bila fajar merekah, ia akan berbasahan dengan setumpuk cucian di bawah pancuran. Bila cakrawala bergelantung di pelepah nyiur, ia juga di pancuran. Tak membawa apa-apa, sekedar duduk-duduk di atas batu besar.

 Ia baru akan kembali kalau sebuah suara memanggilnya.

''Siti. Ngaji dulu.'' Senyumnya tipis dan seperlunya.

Jember, Maret 2013