Saturday, November 10, 2012

Cakar Istri

Cerpen Fandrik Ahmad
(Tabloid Nova, November 2012 )
 Ia mencakarku. Lagi. Dan, lagi. Begitulah cara ia mengungkapkan perasaannya. Aku menikmati. Hanya dengan seperti itu aku merasa betapa cinta itu masih ada, untukku.
Sakit memang. Menderita memang. Kalau kau menyibak bulu-bulu yang menutupi sebagian wajahku, kau akan mendapati beberapa bekas coretan hasil maha karyanya. Ia mencakarku sebab gagal dan kesal tak bisa mencerabut bulu-bulu itu dari akarnya. Bukan segelas kopi atau teh sebagai penghangat pagi yang disodorkan ketika aku bangun, atau bergelayut manja memintaku mendaratkan kecupan hangat di keningnya. Bukan. Ia langsung menjambak dan mencakar mukaku sembari berteriak histeris; pekerjaannya setiap kali bangun pagi.
Sebenarnya, aku tak suka bertampang brewokan. Ketika masih muda, menikah, sampai memunyai anak semata wayang dengannya, aku tak pernah memelihara bulu-bulu itu. Tetapi kemudian semua berubah ketika aku merasakan sebuah siksaan batin di lapangan pemasyarakatan. Ya, di dalam jeruji besi itu, aku tak sempat memikirkan untuk memotong bulu-bulu wajahku. Jangankan memotong, seberapa panjang pun aku tak peduli.
Aku pernah memotong kumis dan janggutku agar tak ada lagi bulu-bulu yang bisa dijambaknya. Upayaku berhasil. Setelah kupotong, ia tak pernah menjambak dan mencakar mukaku lagi. Namun, ia berganti ketakutan melihatku serta berusaha keras menghindar. Mirip orang kesurupan.
''Siapa, kau? Pergi! Jangan mendekati,'' katanya suatu pagi ketika baru terjaga. Ia menjauh hingga terjerembab dan ngesot di lantai kamar.
''Aku suamimu.''
''Bukan. Bukan suamiku!'' histerisnya. 
Aku merasa tidak hanya kehilangan bulu-buluku, tetapi juga kehilangan istriku. Pernah aku berpikir bahwa ia bukan mengenaliku, tetapi mengenali kumis dan janggutku. Aku merasa total kehilangan segalanya. Tak memiliki apa-apa. Ia tak mau kursi rodanya kudorong, tak mau kusuapi bubur, dan tak terdengar pula umpatannya ketika baru bangun yang kemudian dilanjutkan dengan sebuah cakaran.
''Bapak jahat. Bapak kejam. Kembalikan anakku,'' betapa umpatan itu kurindukan.
Demi mendengar umpatan itu lagi, terpaksa aku menaruh kumis dan jenggot palsu di mukaku. Kehidupan kembali normal.
Dua tahun sudah istriku seperti itu. Dua tahun pula aku merasa telah berkelamin ganda; sebagai kepala dan ibu rumah tangga. Ia tak bisa beraktifitas kecuali duduk manis di atas kursi roda dan senang berbicara sendiri di bawah pohon kakau dengan beragam mimik: bercanda, bersedih, menagis, dan tertawa. Memang, pohon kakau yang tumbuh di halaman itu adalah tempat bermain istri dan anakku.
Saat menemaninya, kerap kali aku mengungkapkan permintaan maaf kendati responnya selalu sama, diam sejenak lantas tertawa. Kalau bukan diam-diam karena aku tak lari ke pelukan perempuan lain, tak mungkin ia bernasib malang seperti ini. Tujuh tahun menikah, aku cuma tetap tinggal berdua saja. Kukira ia tak bisa memberiku tangis seorang bayi. Di balik kebohongan atas rasa keberpuraan sabar menantikan ia berkata AKU HAMIL, kulampiaskan kepada perempuan lain.
Setahun berjalan dalam lingkar skandal perselingkuhan, ia mengabarkan kalau sedang jatuh hamil. Matanya menatap teduh. Penantian panjang akhirnya tercipta. Jelas aku bahagia. Jiwa yang kering bertahun-tahun akhirnya basah juga. Hanya waktu itu aku bisa melupakan sosok perempuan yang berdiri di balik punggungnya. Untuk menandai kabar gembira ini, aku ke kebun kakau tempat kerjaku. Kuceritakan kepada kepala mandor kalau istriku sedang hamil muda.
''Kalau boleh aku mau minta satu pohon kakau kepada bapak,'' pintaku.
''Untuk apa?''
''Mau di tanam di halaman, Pak. Sebagai tanda kalau pohon itu ditanam saat istriku sedang hamil muda. Biar kalau sudah besar, anakku juga bisa bermain di bawahnya.''
Kepala mandor memberikan satu bibit pohon kakau yang kupinta. Bibit itu merupakan yang terbaik dari bibit pohon kakau yang lain. Sebagai hadiah, katanya.
Hari tak cukup sore ketika aku keluar dari pintu gudang. Namun, awan hitam sudah merenggut matahari yang seharusnya sebentar lagi akan menjadi sunset. Langit menggelap. Angin bertiup menggugurkan dedaunan. Mobil dan motor terlihat berjalan tergesa-gesa. Takut dimakan gerimis atau hujan di perjalanan, aku menghampiri sebuah rumah yang kental dengan arsitektur rumah adat kolonial belanda, tak jauh dari tempatku bekerja.
Seorang perempuan dengan senyum berlesung, yang tak asing lagi bagiku, membukakan pintu. Rambutnya ikal tergerai di atas balutan kaos u can see, yang membuat dadanya terlihat mengeras. Aroma parfum merebak di sekujur tubuhnya. Aku menyambarnya dan mendaratkan satu kecupan manis.
Ia menuntunku. Duduk di sofa. Seekor kucing belang tidur melingkar. Perempuan itu hendak membuatkanku secangkir kopi, tapi aku melarangnya.
''Istriku hamil,'' kataku.
''Aku juga hamil,'' katanya.
''Kau hamil?'' tanyaku bercampur kaget.
''Kau tak akan mengingkari janjimu, bukan?''
Aku diam. Tatapannya tajam, siap menerkam. Sedangkan tatapanku telah menjadikan perempuan itu seperti seekor ular raksasa yang tengah melilit mangsanya. Tak bergerak. Senyumnya tak lebih dari sebuah desis dengan lidah yang menjulur-julur. Kenapa aku jatuh ke pelukannya? Tangannya yang lembut terasa kasar dalam belaian.
''Bukankah kau menyatakan siap meninggalkan istrimu bila aku bisa memberiku seorang anak? Bukankah kau akan membawaku pergi sejauh mungkin? Sejauh dari pandangan istrimu. Masih ingatkah?''
Aku terduduk lesu. Bukan tak ingat pada janji itu. Kupandang lekat bibit pohon kakau yang kusandarkan di depan pintu. Gorden biru langit pada jendela yang terbuka, sedikit meliuk ditiup angin. Dadaku seketika berat. Kupandangi perempuan itu. Tangannya mendekap. Tenang bersandar di lemari. Senyum bergincu itu tak lagi menarik.
''Aku tak bisa...'' kataku lirih.
''Berarti kau memilih keluargamu hancur? Pilihlah! Memberikan kesan meninggalkan istrimu tanpa sebab atau hancur karena perselingkuhanmu terbongkar? Yah, sama-menyedihkan, sih. Tapi paling tidak, salah satunya ada yang terbaik.''
''Jangan kau paksa aku untuk memilih.''
''Hidup itu pilihan, sayang. Tak usahlah kau bermain api jika takut terbakar.''
''Jangan sampai kau menyakiti istriku,'' nadaku kini tak lebih dari sebuah ancaman keras.
''Owh, kau memilih istrimu? Justru kau sendiri yang akan menyakiti istrimu, bukan aku,'' perempuan itu membentak.
Seberkas sinar memantul dari jendela. Hujan urung untuk turun. Aku dan perempuan itu saling menyulutkan emosi. Sebagaimana dalam film-film, si perempuan berakhir dengan tangis, sedangkan si lelaki berakhir setelah memecahkan suatu benda. Dan, benda yang kupecahkan adalah kaca meja. Kucing belang kaget dan melonjak terbirit-birit.
''Beri aku waktu tiga hari bersama istriku. Setelah itu, kau bebas memilikiku.''
Perjalan sore itu sungguh berat.
Di halaman, aku dan istriku bersama-sama menanam pohon kakau. Kubilang, kelak, di bawahnya akan kujadikan taman bermain anak kita. Matanya yang bening berkilau-kilau. Ia tersenyum. Oh, betapa aku tak kuat meninggalkan senyum itu. Senyum yang tulus, tak dibuat-buat. Seharusnya aku bisa berbahagia berlindung di bawah senyuman yang tulus, bukan senyuman yang dibuat-buat. Ia menginginkan seorang anak laki-laki. Katanya, kalau sudah dewasa bisa sesempurna diriku sebagai suami. Ah, apa sempurnanya? Tak tahulah di belakangnya aku menyimpan bangkai. Tak tahulah kalau cintanya kubandol-bandolkan kepada orang lain.
Sungguh, melewati waktu sampai mencapai tiga hari merupakan perjalanan yang sangat sulit. Seperti menunggu kedatangan seekor siput. Aku memiliki hasrat kuat membuat keinginannya menjadi sempurna dan terkabulkan. Sejak itu, aku menemukan diriku menjadi sosok dari bayang-bayang anakku. Ah, apa sempurnanya bila anakku seperti diriku.
Menginjak hari kedua, keputusan sudah kuambil. Aku harus memotong sebagian hidupku. Layaknya sebuah pohon, aku ingin hidup cuma bercabang satu, membesar, dan menjulur ke atas dalam satu pucuk tujuan. Oh, bayang-bayang ketakutan, kecemasan, kegundahan, dan perasaan dag-dig-dug lainnya menyerangku secara bergantian, semacam bom molotov yang jatuh di medan pertempuran.
Pada hari ketiga, malam rebah tanpa sepotong bulan. Aku menemui perempuan itu. Mengabarkan kalau malam ini aku ingin menghabiskan malam sebelum benar-benar pergi dengannya, meninggalkan istri dan rumah bekas kolonial itu. Tetapi, esoknya, aku tak jadi pergi. Perempuan itu pergi sendiri. Kendati demikian, akulah yang mengantarnya pergi. Ke neraka! Kututup mulutnya dengan bantal dan kucekek sedikit sebelum kucongkel sedikit pula sebagian isi perutnya dengan gunting. Bayang-bayang ketakutan telah menuntunku untuk berani melakukan perbuatan senekat itu.
Drama cinta segitiga terendus setelah itu. Istriku shock berat. Ia mengamuk. Histeris. Mencakar-cakar mukaku. Cakaran yang pertama dalam perjalanan rumah tangga. Lalu, aku membusuk di penjara. Mendekap 20 tahun. Selama itu, kesetiaan menitikkan airmata; setiap Sabtu dan Rabu ia tak pernah absen datang membesuk. Sampai anak yang dikandungnya lahir, tak sendirian lagi ia datang. Betapa menderitanya membesarkan anak seorang diri. Kesalahan masa lalu semakin membusukkanku di penjara.
Sepanjang waktu. Mendekap. Membusuk.
Jam menunjukkan pukul 9.47 pagi. Seorang polisi jaga menuntunku sampai di depan pintu gerbang. Aku tak percaya telah melewati massa sepanjang 20 tahun. Betapa tak terbilang bahagia. Jeruji-jeruji besi yang memisahkan aku, istri, dan anakku seperti ambruk seketika.
Seorang anak muda datang menghampiri seraya memelukku erat. Menyambut kebebasanku.
''Anakku.'' sekali dalam seumur hidup, aku menangis.
Kami pulang dengan wajah semringah. Ia memboncengiku dengan sepeda motor miliknya. Kehidupan kembali bergerak. Udara segar melabrak. Kencang. Kencang sekali. Sampai, tanpa sadar aku telah terkapar di tanah lembab. Jantungku berdegup kuat dan merasakan pusing yang berlipat-lipat. Lengan sebelah kiri terasa sangat ngilu. Banyak bercak darah di sekujur tubuhku. Kukira itu darahku. Namun ternyata, darah itu adalah darah anakku yang terkapar kaku. Tak jauh. Tak bernyawa.
Kehilangan anak semata wayang tak bisa diterima oleh istriku. Kondisinya menjadi labil, kian tak waras memahami situasi. Apalagi sejatinya ia belum bisa berdamai dengan masa lalu. Aku dijadikan kambing hitam sebagai orang yang telah merenggut nyawa anakku sendiri. Orang yang menyebabkannya kecelakaan. Oleh karena itu, setiap kali bangun tidur, ia berteriak dan mencakar-cakar mukaku.
Kupandangi istriku di bawah pohon kakau yang tengah asyik berbicara dengan pohon itu. Bila sudah begitu, jangan diganggu. Ia akan marah. Marah sekali. Ia bisa menghardik dan mencakarmu. Menyangkamu sebagai orang yang akan memisahkannya dengan pohon kakau yang telah ditahbisnya sebagai anak. Betapa menderita memang hidup dengan keadaan keluarga seperti ini. Tetapi aku tak punya alasan lain untuk tak meninggalkannya karena perempuan itu satu-satunya cinta yang tersisa. Tempat untuk berpulang.
Bubur yang tadinya terasa hangat sudah menjadi dingin. Aku masih menunggunya selesai bercakap-cakap.***

Jember, 28 September 2012


Bau Busuk Dalam Sumur

Cerpen Fandrik Ahmad
(Dimuat di Lampung Post, 11 November 2012)
Di matanya, nasi putih yang tersaji di atas lincak, kosong tanpa rasa. Nyeri yang timbul dari salah satu bagian otot pahanya yang terputus membuat selera makannya tak kunjung datang. Hanya duduk miring-miring di sisi lincak. Sedikit-sedikit meringis sakit bila sebagian tubuhnya digerakkan. Maka sebenarnya, kendati hanya paha kaki bagian kiri yang bengkak, perasaan sakit akan menjalar, terpusat di situ. Geliatnya tak ubahnya sebuah ekspresi manusia yang sudah bosan menjalani hidup.
Namanya Salim. Ia acapkali mengutuk kecerobohan Parjo, patner kerjanya. Mengatai tak becus bekerja sampai mengatai memang sengaja ingin mencelakainya. Suatu hari, saat hendak menyudahi pekerjaan menggali sumur milik Nyai Tomang, lelaki dekil 20 tahun itu tak cekat meraih ember dan parang ketika diarit sehingga ember yang digunakan untuk mengarit tanah ke permukaan dan parang yang sudah tumpul ujungnya untuk merapikan sisi bundaran sumur, nyemplung kembali mengenai dirinya yang masih berada di dalam sumur itu.
Si istri menghampiri. Menyodorkan sambal sisa kemarin pagi yang sudah digoreng lagi. Salim tetap tak berselera meski di atas lincak itu tersedia terong rebuskesukaannyamenggoda. Ikan asin pun juga gagal memancing selera makannya.
“Dimakan, Pak. Mumpung masih hangat. Kapan mau cepat sembuh kalau terus begitu,” tukas istrinya.
“Bentar saja. Belum lapar,” Salim meninggalkannya sendirian di lincak. Seperti menyeret beban hidup, ia bergegas ke beranda sembari menyeret kakinya yang tak pernah berhenti ngilu dan kesemutan, seakan ada tumpukan ulat berpesta dalam bengkak luka yang tak kunjung tertutup dan kering. Di luar, matahari menghanguskan halaman. Sesekali pandangan dikacaukan angin yang menghempaskan debu.
Tangannya mengepal bersandarkan tiang bambu. Kedua alisnya mengerut hampir bersatu membentuk kepak sayap elang yang tengah menukik menemui mangsa. Angin tenggara membarakan amarahnya. Sudah diputuskan kalau Parjo akan di-PHK dari daftar patner kerja. Toh, kehilangan Parjo bukan perkara memusingkan. Masih ada Dulla, Saini, Ropil, atau yang lain yang bisa diajak. Intinya tidak dengan Parjo!
Warga kampung dan yang setetanggaan dengan kampungnya merasa berbela sungkawa berselimut cemas atas musibah itu. Pasalnya, kala mereka bergantian menjenguk Salim, kerapkali ia membuat pernyataan untuk berhenti menggali sumur. Tentu akan menjadi mimpi buruk apabila Salim berhenti. Siapa yang akan memberikan kehidupan di kampung itu selain dirinya? Siapa yang akan memberikan sumber mata air selain dirinya? Hanya ia yang bersedia menjadi tukang gali sumur, semua merasa gengsi. Lebih baik tak memiliki pekerjaan ketimbang menggali sumur. Lebih baik kerja di luar negeri ketimbang menggali sumur. Begitulah, segelintir pernyataan dari mereka.
Tak terhitung sudah seberapa banyak jasanya bagi keberlangsungan hidup kampung itu. Lebih banyak dari pundu-pundi uang hasil dari timbal jasanya. Satu sumur bisa dikerjakan dalam waktu tujuh sampai delapan hari, tergantung dalamnya sumur. Upah yang bisa didapat dua ratus ribu sampai tiga ratus ribu rupiah, tergantung kedalaman sumur dan tergantung pada keikhlasan yang memberi. Itu pun seperempat persennya diberikan kepada si tukang arit tanah galian.
Salim adalah aset berharga. Satu-satunya orang yang mau mengambil pekerjaan itu. Berkat dirinya warga kampung tak cukup kesulitan mencari air. Berkat dirinya penduduk kampung terhindar dari derita musim penceklik berkepanjangan. Tangannya adalah sumber mata air yang membasahi kulit, kerongkongan, sawah, dan ladang saat kemarau tengah mencekik kampung. Baginya, musim kemarai merupakan berkah karena warga banyak yang membutuhkan jasanya. Pada musim inilah ia berkesempatan menyisakan uang untuk ditabung untuk biaya kehidupan keluarga, termasuk anak semata wayang yang sudah menginjak kelas dua Madarasah Tsanawiyah.
Keberhargaan warga terhadap Salim baru terasa saat ia mengalami musibah. Maka, apabila salah satu dari mereka tengah lewat di lokasi sumur Nyai Tomang, tempat di mana awal perkara terjadi, mereka tak pernah absen menggaungkan umpatan serta kutukan kepada Parjo ke dalam sumur yang kedalamannya sudah mendekati enam meter itu. Bahkan sampai ada yang berani menggaungkan sebuah ancaman membunuhnya apabila Salim benar-benar tidak mau lagi menggali sumur.
“Ini tanggungjawab Parjo,” kata Lessap kepada kawannya ketika tengah melewati sumur itu.
“Bertanggungjawab bagaimana? Ya, nama sudah kecelakaan, ya, memang sudah apes,” Jawabnya mencoba bersikap bijak.
“Kamu mau menggantikannya jadi tukang gali sumur?”
Lelaki itu tak bisa menjawab. Akan tetapi, dari raut muka yang ditampakkan, tidak bisa memerankan posisi Salim. Diam adalah pilihan yang tepat menengahi kebingungan.
“Makanya,” ia menaikkan suaranya. “Pikirkan bila kang Salim benar-benar berhenti. Tak ada sumur. Tak ada air. Kampung kita akan mati!”
Terbayang kemudian di kelopak matanya sebuah kampung yang dilindas sejarah. Cerita yang diabadikan sebagai kampung yang hilang hanya karena gara-gara tukang gali sumur. Air mukanya menjadi keruh. Kekeringan dan kelaparan menyelimuti ketakutan; kampung mati. Tak ada ternak. Tak ada hijau tanaman. Hanya dua usaha yang terbesit, menekan perut sembari saling sikut antar kerabat serta tetangga. Seperti sebuah sakratul maut, mereka merintih dan menjerit sebelum benar-benar larung dalam tidur panjang.
“Kamu benar. Parjo pantas bertanggungjawab,” lelaki itu pun turut mengamini.
Kebencian warga kepada Parjo bertumpuk di dalam sumur menggantikan air yang gagal menggenang. Kasak-kusuk warga yang menyalahkan Parjo seperti sebuah gaung; di manapun, kapanpun, dan dari manapun asalnya gaung itu akan ditangkap oleh gendang telingan Parjo. Sadar keselamatan dirinya terancam, Parjo tak bisa tinggal diam. Ia membutuhkan keadilan untuk membela. Siapa tahu gaung itu akan berbuah nyata. Toh, musibah tersebut bukan kehendaknya. Harus ada kuasa hukum yang bisa memberikan keadilan untuk dirinya.     
Pada suatu kesempatan, Parjo bertamu ke rumah kepala RT. Pemahamannya, kepala RT memiliki payung hukum kenegaraan, bisa memberikan keadilan. Kepala RT kan termasuk aparat pemerintah meski hanya selevel kepala kampung, pikirnya.
Kepala RT menyambut Parjo dengan wajah sinis. Bibirnya ditarik separuh. Mungkinkah juga tersebab peristiwa itu? Ah, ia dipilih untuk menegurus kampung dan harus bijak menyelesaikan sebuah permasalahan.
“Pak, tolong saya. Ancaman kepada saya semakin banyak,” jelas Parjo.  
“Ancaman yang bagaimana? Persoalan apa?”
“Bapak pasti sudah tahu mengapa mereka mengancam saya. Mereka semakin banyak, Pak. Ancamannya macam-macam. Katanya mereka ingin mengusir saya dari kampung ini. Bila tidak mau, mereka akan memaksa dengan membakar rumah saya. Ada juga yang ingin membuat kaki saya bengkak seperti kang Salim. Ada yang lebih nekat lagi, Pak. Mereka ingin membunuh saya!” Jelasnya dengan nada yang sangat kuat. Kepala RT diam hambar.
“Begitu, ya. Hem…”
“Ya, Pak,” tegasnya.
“Lalu, kenapa kamu ke sini?”
“Saya ingin meminta perlindungan kepada bapak.”
“Kepada saya? Memang saya hansip kampung? Memang saya polisi? Saya kepala RT.”
“Justru itu, Pak. Saya ingin meminta perlindungan hukum dari bapak.”
“Owh, tunggu dulu. Tidak bisa begitu,” kata kepala RT. Tenang. Tenang sekali.
“Kenapa, Pak? Di kampung ini bapak kepala RT.”
“Kalau urusan kampung, baru ke saya. Ini kan urusan pribadimu.”
“Semua penduduk kampung mengancam saya. Bukankah ini sudah menjadi persoalan kampung? Persoalan keamanan karena mau main hakim sendiri? Bapak harus melindungi saya. Saya tidak bersalah, Pak,” urat di lehernya hampir menyumbul.
“Terus?”
“Apanya yang terus, Pak?”
Kepala RT diam. Sesekali pula lelaki tambun itu melirik Parjo. Sementara Parjo semakin tidak tenang menunggu keputusan lelaki tambun di depannnya. Betapa ia merasa kesulitan mendapatkan keadilan di kampung sendiri, apalagi di luar.
“Kamu kabur saja dari sini. Beres.” Parjo tersentak.  
“Kabur? Bapak ngawur! Bapak mau mengusir saya?” Nadanya meninggi.
“Tidak.”
“Siapa yang akan mengurus emak dan adik saya?”
“Bawa kabur saja sekalian. Beres.”
Parjo naik pitam, tak mampu menekan amarah. Ia berdiri. Mendorong cepat kursi duduknya ke belakang sembari menatap tajam kepada kepala RT yang tetap begitu tenang. Ingin rasanya mencekik leher kepala RT tersebab kegagalan mendapatkan keadilan. Namun ia lebih memilih menyegerakan langkah menjauhi rumah itu.
“Ketimbang digerebek massa, lebih baik pergi jauh-jauh!” Teriakan kepala RT semakin mengukuhkan kesimpulan bahwa orang tersebut juga tidak menghendakinya.
Hampir sebulan Salim melawan luka bengkaknya. Warga semakin cemas. Satu per satu sumur tak bisa terpakai. Kosong tak berisi. Sementara mereka tetap tak memunyai solusi apa pun untuk bertahan memenuhi kebutuhan air. Mereka tetap tak menemukan pengganti Salim. Tak ada yang mau. Alasannya beragam, namun di balik keragaman itu tersirat betapa upah tak sebanding dengan pekerjaan. Lebih baik merantau ketimbang memilih pekerjaan itu.
Pada suatu malam yang tak lagi hening, penduduk kampung menyemut menuju rumah Parjo. Ada yang membawa parang, golok, celurit, pentungan, pikulan, gentong, dan apa saja yang bisa menggebuk Parjo. Di tangan kiri mereka memegang benda yang sama, obor.
“Celaka, Pak. Penduduk kampung mendatangi rumah Parjo,” pungkas istrinya ketika melihat pendar cahaya yang membesar. Aduan istrinya menyentakkan adrenalin. Salim ternganga. Bagaimanapun ia tahu kemarahan warga tersebab dirinya. Tak pernah dibayangkan betapa pekerjaan yang oleh warga dipandang sebelah mata kini berbuah petaka. Satu sisi ia merasakan sebuah kebanggaan akan keberhargaan dirinya. Ya, hatinya berseru betapa perannya sangat vital. Namun, secuil kebanggaan itu tidak lebih besar dari rasa bersalah yang ia rasakan: Parjo adalah orang yang pernah sama-sama mengusap peluh, makan, menyeruput kopi, dan merokok bersama sehabis bekerja. Oh, betapa tiada yang lebih indah daripada kenangan itu.
“Kita ke sana, bu!”
“Terlambat, Pak,” kata istrinya. Parjo tak memedulikan. Ia terus berjalan secepat mungkin meski jalannya tak beraturan. Cemas akan keadaan suami, istrinya turut menyusul.
Api begitu nyata di mata Salim. Percikan itu melumat perasaannya. Umpatan-umpatan para warga seperti turut pula membabat habis rumah beratap anyaman jerami padi itu. Semua yang menyaksikan bersuka cita, tontonan menarik, kecuali Parjo, istrinya, dan perempuan tua yang bersimpuh di tanah meratapi nasib. Dadanya sesak. Matanya sembab. Seorang perempuan kecil menjerit-jerit di sampingnya. Menyeracau tak jelas. Ya, perempuan tua dan perempuan kecil itu adalah emak dan adik Parjo.
Salim memeluk istrinya sekuat mungkin. Bibirnya berguncang. Benar-benar tidak terduga sikap warga bisa senekat ini. Darah tak lebih panas dari api di hadapannya. Namun apa dikata ia tidak mungkin bisa melawan orang sebanyak itu. Matanya terus menjalar di antara kobaran api mencari keberadaan Parjo. Kemanakah orang itu? Hanguskah di dalam sana?
Hingga sudah tak ada yang bisa dilahap oleh kobaran api, hingga panas sudah menjauh dari rumah itu, dan hingga tinggal serakan arang abu di sana-sini, Salim belum menemukan lelaki dekil itu. Namun ia cukup merasa lega. Pasalnya, Parjo selamat dan berhasil melarikan diri dari amukan massa.
Kecemasan belum berlalu. Warga terus memburu Parjo. Di samping itu, beberapa orang berusaha membujuk Salim untuk kembali bekerja. Mereka bersedia menaikkan gaji yang biasa ia dapat menjadi dua kali lipat. Namun ternyata Parjo sudah terlanjur kecewa oleh peristiwa pembakaran itu. Akhirnya, melalui kesepakataan bersama, warga bersedia bergotong-royong membuat sumur. Demi membuktikan komitmen, mereka akan meneruskan sumur milik Nyai Tomang yang belum selesai. Setiap hari akan dipilih setidaknya lima orang untuk bekerja menggali sumur. Herannya, di sumur itu mereka merasakan suatu keanehan; bau busuk yang sangat menyengat.Ternyata bau busuk itu dari seonggok mayat. Parjo!
Ditemukannya mayat Parjo justru kian membuat penduduk kampung semakin cemas dan ketakutan. Kematian Parjo seperti menjadi sebuah kutukan. Orang-orang yang mencoba membuat sumur hanya mentok pada kedalaman tak lebih dari sembilan meter. Macam-macam alasan yang mencuat: tak ada tanda-tanda air akan muncrat, takut ketinggian, takut gelap, sampai ada yang mengemukakan mencium bau busuk yang diduga sebagai kutukan dari kematian Parjo.
Semakin hari, sumur-sumur semakin tandas air. Dedaunan meranggas. Bebatuan di dasar kali teronggok lesu. Kering. Reta-retak tanah memilukan. Bila ada ingin mendapatkan air haruslah berjalan menuju kampung sebelah sejauh dua kilo menuruni sekaligus menaiki bebukitan.
Warga tergerak kembali mendesak Salim bersedia menggali Sumur, dengan cara apa pun. Ini adalah tugasnya.***
Jember-Sumenep, 8 September 2012


Di Balik Kekerasan Orang Madura dalam Cerpen Kerabhan Sape Karya Mahwi Air Tawar dan Lotrengan Karya Fandrik Ahmad

Oleh: Mawaidi, Imron Wafdurrahman, Muhammad Suharji, Nur Muhammad*

Abstrak

Makalah ini mengkaji cerpen “Kerabhan Sape”, dan “Lotrengan” melalui pendekatan sosiologi sastra. Kajian sosiologi sastra dalam cerpen ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat (Wiyatmi, 2009:97).

Metode pendekatan sosiologi sastra ini dilakukan dengan cara mengkaji fenomena dibalik kekerasan orang Madura dalam cerpen “Kerabhan Sape” karya Mahwi Air Tawar dan “Lotrengan” karya Fandrik Ahmad. Dalam hal ini, wujud karya sastra agar menjadi cermin yang dapat menghidupi pandangan orang-orang terhadap orang Madura terkait dengan predikat kekerasan. 

Kata Kunci: Dibalik kekerasan orang Madura

A. Pengantar

Tahun 2010, di bulan Maret terbit buku Antologi Cerpen Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Corak cerpen dalam Antologi tersebut adalah menggunakan latar Madura dan budayanya. Dalam Antologi tersebut memuat 12 cerpen—yang 10 cerpen sudah dimuat di media (“Bulan Selaksa Celurit”, “Eppak”, “Nyanyian Perempuan Sunyi”, “Barana”, “Kerabhan Sape”, “Mata Blater”, “Tandak”, “Kasur Pasir” dan “Cerita Penandak”) dan 2 cerpen belum dipublikasikan (“Durama” dan “ Sapi Sonok”).

Lahirnya Antologi Cerpen tersebut mendapat apresiasi dari banyak kalangan, termasuk Kiai yang juga penyair Madura, D. Zawawi Imron mengatakan, Mahwi Air Tawar adalah cerpenis Madura yang berhasil mengangkat tema lokal Madura. Lewat cerpen-cerpennya, Mahwi menunjukkan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya[1]. Sampai saat ini, nama Mahwi Air Tawar bukan nama asing lagi dalam kancah kesusastraan.

Adalah Kerabhan Sape, cerpen yang dimuat di Kedaulatan Rakyat, Minggu 30 Oktober 2006. Pada dasarnya, cerpen ini berjudul (asli) Lotreng. Kemudian, oleh penulisnya diubah menjadi Kerabhan Sape ketika dalam perampungan Antologi tunggalnya dengan tujuan judul dan isinya mempunyai satu kesatuan makna. Sebab, Lotreng mempunyai arti Sapi Sonok (nama lain Lotreng/Lotrengan). Sementara, jika tetap terpaku pada judul awal, tidak etis kemudian dalam pemaknaannya.

Enam tahun berikutnya (dari cerpen Mahwi Air Tawar yang dimuat di Kedaulatan Rakyat), Koran Radar Surabaya, Minggu 08 April 2012, melahirkan Lotrengan di rubrik “CERPEN” karya Fandrik Ahmad. Salah satu cerpenis yang tinggal di Sumenep Guluk-Guluk ini merupakan lelaki kelahiran Ledokombo Jember. Seiring lamanya ia berada di Madura, ketertarikannya menulis cerpen berlatar Madura menjadi gila setelah cerpennya berjudul “Anak Celurit” tayang di Koran Sumatera Ekspres (01 April 2012).

Radar Surabaya mengawali tahun 2012 dengan menghadirkan cerpen bertema budaya lokal Madura. Sejak sebelumnya, cerpen yang dimuat di rubrik tersebut rata-rata menonjolkan tema sosial dan romantisme. Meskipun pada akhir tahun 2011 (Minggu 04 Desember 2011) Suhairi Rachmad sempat menyuguhkan karyanya berjudul Pacek. Suhairi mengangkat budaya Madura seputar dinamika perempuan pacek dan ruang kehidupannya. Sebagai tokoh utama perempuan (Suminah), terdapat konstruksi gender juga sedikit demi sedikit saling bergesekan dalam cerpen Pacek.

B. Kekerasan Orang Madura

Mendengar kata “Orang Madura”, maka pertama kali yang tergambar adalah paradoks dari keluguan dan kecerdasan, kesombongan dan kekonyolan, serta kekerasan sekaligus kelucuan. Ungkap Joni Ariadinata dalam kata pengantar Mata Blater karya Mahwi Air Tawar. Setidaknya, paragraf awal ini menjadi pembuka pada bahasan berikutnya mengenai Kekerasan Orang Madura yang ditakuti, disegani, dikagumi, dibenci, oleh banyak orang.

Pada Februari 2001, terjadinya perang antar suku Madura dan Dayak menghabiskan ratusan korban jiwa yang mati sia-sia. Dalam perang tersebut, Madura terkenal dengan kekerasannya. Sehingga banyak orang berimplikasi bahwa Madura kejam dan tidak punya perikemanusiaan.

Tahun 2011, koran Radar Madura memberitakan di Kecamatan Ambunten, bahwa seorang lelaki berinisial dan mempunyai istri berinisial. Suatu waktu, istrinya pergi ke pasar dalam rangka belanja. Ternyata, si istri pergi ke pasar juga bertujuan lain yaitu bertemu dengan seorang lelaki selingkuhannya. Suami dari istri itu yang mulai sejak awal mencurigai sikap istrinya, langsung membuntuti istrinya ke pasar dengan meminjam motor milik tetangga. Pendeknya, istrinya yang diketahui benar-benar bertemu dengan seorang lelaki itu diketahui. Suaminya itu langsung mendatangi lelaki itu waktu itu juga dengan celurit yang disebetkan ke tubuh lelaki itu hingga tak berdaya.

Simbol bagi orang Madura yang menjadi ciri khas tidak hanya dapat dilihat dari sikap kerasnya saja. Anggapan orang-orang yang demikian dan tidak mengenal benar siapa orang Madura selalu mempunyai perspektif “keras” dan lain-lain. Kenyataannya, dari sekian pengalaman para wisatawan dan berbagai survei yang dilakukan, justru mendapatkan hal yang unik dari orang Madura sendiri ketika berinteraksi langsung, lebih-lebih terjun langsung ke dalam masyarakat. Orang Madura yang dikenal arogan, ternyata mempunyai watak yang lembut, sopan, santun dan menghargai terhadap orang lain.

Sepakat dengan pernyataan Dr. A. Latief Wiyata dalam makalahnya berjudul Benarkah Orang Madura Keras? yang dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Madura, di hotel Utami Sumekar Sumenep, pada tanggal 09 November Maret 2007. Di sana, ungkapan yang harus diperhatikan terhadap orang Madura antara sikap “ketegasan” dan “kekerasan”. Kedua kata ini mempunyai makna yang sangat tipis sekaligus tebal dalam pemahamannya. Barangkali, perlu adanya pemahaman yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura dari dua kata tersebut. Dua kata benda—yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. “Keras” menunjukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut”, sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, mengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti).

Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya.

Tidak salah jika orang Madura mempunyai prinsip, “Katembheng pote mata, bhengok pote tolang[2]”. Peribahasa ini adalah sebuah ketegasan pada diri orang Madura ketika menghadapi persoalan terkait dengan harga diri atau martabat. Dapat dikatakan, emosi orang Madura ada pada “harga diri” orangnya. Sebab, orang Madura mempunyai pedoman “Ia tidak akan mengganggu orang lain, selagi orang lain tidak mengganggu dirinya”. Istilah ini sama halnya dengan sifat lebah. Orang Madura tersebar di berbagai tempat di Indonesia dengan tujuan mencari kehidupan, menabur kedamaian dan kebaikan. Maka lebah juga demikian, selalu menabur kebaikan dan ketenteraman. Namun, jika lebah diganggu atau kawannya diganggu, ketegasan adalah jalan utama dalam menegakkan kebijakan.

Di situlah pintu-pintu orang luar yang ingin berinteraksi dengan orang Madura. Dapat dilihat bahwa orang Madura tipe orang yang fleksibel dalam hal apapun.

C. Cerita Dibalik Kekerasan Orang Madura

Karya sastra dalam hal ini berperan aktif terutama dalam karya cerpen oleh sastrawan generasi Madura khususnya. Sebab, menulis karya sastra, khususnya cerpen tidaklah gampang bagi orang yang tidak tahu “wajah” ranah tujuannya. Cerpen meskipun merupakan bentuk karya fiksi, tetap digarap sesuai dengan warna-warna realitas di dalam masyarakat. Karya yang ditulis sesuai dengan keadaan masyarakatnya berikut kebudayaan yang ada termasuk moment kaya akan sebuah karya. Itu sebabnya, cerpen juga membutuhkan data referensi sebagai media transformasi bahan mentah menjadi bahan matang.

Cerpen Kerabhan Sape dan Lotrengan, juga tidak lepas dari romantisme cerita yang menjadi bumbu-bumbu untuk menghindari dari kejenuhan cerita. Selebihnya, Kerabhan Sape dan Lotrengan fokus pada budaya yang disajikan secara estetik. Di sini, dalam narasi yang disajikan, terdapat hiruk pikuk “kekerasan” orang Madura dalam menyikapi suatu hal.

Terlebih dahulu, kita maknai apa itu Kerabhan Sape? Kerabhan Sape adalah kontes sepasang sapi jantan yang diadu kecepatan larinya dengan ditunggangi oleh seorang lelaki di atas kaleles yang disebut joki. Sedangkan, Lotrengan adalah kontes sepasang sapi betina yang dihiasi seperti pengantin yang dipertontonkan dengan berbagai gaya yang dimilikinya dan ketika berjalan diiringi oleh musik saronen. Kedua pergelaran kontes ini merupakan salah satu kebudayaan khas Madura.

Kerabhan Sape hadir dengan sudut pandang orang ketiga. Dalam cerpen khususnya, sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta satu kesatuan cerita yang utuh (Sayuti, 2000:158). Cerpen ini mengisahkan Matlar sebagai tokoh utama yang menjadi joki Kerabhan Sape milik ayahnya sendiri. Menjadi joki Kerabhan Sape membutuhkan waktu yang relatif lama. Sehingga tidak mengherankan jika Matlar belajar menjadi joki sejak kecil dan menguasai beberapa teknik menunggang sapi.

Akibat Matlar menjadi seorang joki, ia menjadi seorang pengangguran. Berbeda dengan Jumira yang pada saat itu sudah menjadi seorang cameramen. Padahal Jumira adalah teman masa kenangannya sewaktu kecil bersama Matlar. Alangkah nasibnya, bila cita-cita Matlar ingin sekolah yang tidak didukung orang tua, lalu menjadi joki kerabhan sape.

Sayuti (2000:158) mengatakan bahwa, sudut pandang jika ditelisik lebih mendasar merupakan visi seorang pengarang dengan mengambil pandangan untuk melihat suatu peristiwa atau suatu kejadian dalam cerita. Karenanya, cerpen Lotrengan menggunakan sudut pandang orang kedua dengan “akuan”. Sebab itu pula, karya fiksi sesungguhnya merupakan pandangan pengarang terhadap kehidupan ceritanya. Sebuah karya, dilihat dari sudut pandang yang dipakai pengarangnya juga bisa menjadi barometer keestetikaan sebuah cerpen.

Tokoh utama dalam cerpen Lotrengan adalah Dullah, orang terdekat si pencerita (akuan). Dullah adalah anak Slamet yang sering memenangkan kontes Lotrengan tiap kali bertanding. Dibalik itu, Durham yang masih mempunyai hubungan darah dengan Slamet merasa rendah diri ketika sepasang sapi lotrengannya kalah atas sapi anak Slamet, Dullah.

Beberapa cara oleh Durham untuk menang dilakukan. Pada pertandingan di lapangan Trunojoyo yang menjadi taruhan adalah Marhani, anak Durham, perempuan yang saling sama suka dengan Dullah. Kesepakatan itu, jika Durham kalah atas sapi Dullah, Marhani boleh kawin dengan Dullah. Apabila Dullah kalah, maka Marhani akan dikawinkan dengan dukun sapi milik Durham.

“Kekerasan” di Madura tidak bisa dipungkiri keberadaannya yang bersumber dari berbagai cerita-cerita dalam bentuk tulisan (karya) maupun lisan (visual). Itu sebabnya, kata “Madura”, “Celurit”, “Carok”, “Darah” menjadi hal yang menakutkan dan mengerikan. Predikat “keras” yang diperuntukkan orang Madura menjadi hal yang ekstrem di telinga kebanyakan orang luar. Alih-alih berkunjung ke pulau garam itu, berinteraksi dengan orang Madura saja bagi orang-orang menjadi sesuatu yang harus disegani atau dihindari.

Kerabhan Sape dan Lotrengan mencoba hadir di tengah ancaman Madura sebagai media pencetak manusia keras. Gelar kekerasan sejatinya memang tidak jauh dari realitas yang ada. Namun, tindakan keras yang demikian terjadi sebab adanya akibat yang melatarbelakangi kejadian seperti itu.

“Saya kasihan. Usiamu masih muda. Ini kesempatan, Matlar. Kamu tahu Jumira? Temanmu dulu? Sebentar lagi ia akan jadi tukang poto seperti di tipi,” ujar Madrusin.

Matlar terasa terbakar mendengar nama Jumira disebutkan (Tawar, 2010:18).

Tokoh Matlar selalu teringat dengan kata-kata Madrusin yang menyuruh sapinya dibuat nyasar ketika pertandingan kerapan sapi. Jaminan Madrusin (Bapak Jumira) jika sapi Matlar dibuat nyasar maka ia akan membiayai Matlar sekolah seperti laiknya Jumira.

Itulah sebentuk dilema etis yang terjadi pada tokoh Matlar. Di samping ia harus setia menjadi penunggang sapi milik Ayahnya, di sisi lain pula ia ingin sekolah dan menjadi anak pintar.

Matlar terhenyak ketika bayangan sebilah celurit tampak di samping kandang. Terdengar langkah kaki seseorang. Sapi-sapi meraung, tambah lama tambah pilu. Bersamaan dengan suara langkah kaki itu, dari sela reranting terdengar cericit kelelawar. Sapi-sapi meraung kian pilu, panjang dan berulang-ulang.

Matlar tergegap ketika bapaknya sudah berdiri tegap di samping kandang dengan sebilah celurit di tangan.

Matlar terbayang Madrusin memberinya uang. Terbayang pula bayangan ia berangkat ke kota bersama Jumira dan teman-temannya untuk melanjutkan sekolah.

“Pergi!” bentak Lubanjir.

Matlar terperanjat, sementara sepasang sapi kerapan-nya terus menghentak-hentakkan kaki ke tanah seolah tak rela ditinggalkan Matlar. Sebelum Matlar sempat beranjak, Lubanjir terlebih dulu mengibaskan celuritnya pada leher sepasang sapi itu. Dan menyemburlah darah (Tawar, 2010:22).

Wujud kekerasan dalam cerpen Lotrengan mulai muncul ketika kontes akan dimulai. Sementara tokoh “akuan” pada waktu itu sedang menunggu Dullah yang tiba-tiba menghilang.

“Besar juga nyalimu, cah bagus. Keras kepala seperti bapakmu,” kata Durham angkuh. Aku terpancing amarah. Hampir saja celurit kutarik dari dalam berengka, tapi tangan Dullah menenangkan (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Perkataan tokoh Durham kepada tokoh Dullah adalah sebuah pelecehan martabat. Sebab itulah, tokoh “akuan” yang berada di sampingnya akan mengeluarkan celurit dari barengkanya. Jika tidak ada sebab musabab pelecehan martabat maka emosi tokoh “akuan” tidak meledak.

“Cukuplah paman mengambil tanah yang sudah jelas-jelas menjadi bagian warisan bapakku.”

“Oh, begitu? Bagian bapakmu? Cuih, cah bagus, bagaimana dengan bagianmu? Apa kau masih mau memiliki anakku?” Ucapnya enteng. Kali ini Dullah mematung nanar.

Marah menggumpal di urat-urat tubuhnya. “Menikahlah dengan sapi-sapimu, cah bagus,” ucap Durham yang berlalu dengan mata jalang. Dullah menggumpalkan tangan kuat-kuat (Radar Surabaya, 08/04/2012).

Pelecehan selanjutnya adalah tokoh Durham yang mengatai tokoh Dullah untuk menikah dengan sapinya. Tokoh Durham mengatakan seperti itu atas dasar tokoh Dullah tidak mau mengalah dalam pertandingan. Dampaknya, tokoh Dullah mengalami emosi tingkat tinggi atas pelecehan sosial itu.

“Aku harus bisa menyadarkan bapakmu.”

“Jangan! Aku saja tak berdaya saat bapak mengalungkan celuritnya ke leherku,” suara Marhani lirih. Ada sesuatu yang disembunyikan.

“Jika bapakmu bisa mengalungkan celurit ke lehermu, mengapa aku tak bisa mengalungkan kepadanya?” (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Dialog di atas adalah percakapan Dullah dan Marhani yang bertemu di bawah pohon siwalan dekat dengan kandang. Wujud kekerasan muncul pada percakapan terakhir dalam kutipan di atas. Dullah berkata demikian, sebab ada musabab bahwa Durham akan mengalungkan celurit di leher anaknya, Marhani.

Kata “mengalungkan celurit” merupakan majas ironi yang disampaikan oleh penulis melalui percakapan tokoh Marhani dengan tokoh Dullah.

D. Penutup

Membicarakan masyarakat tidak akan terlepas dari kebudayaan. Konsep masyarakat dan kebudayaan batas-batasnya tidak begitu tegas. Masyarakat merupakan organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Sementara, kebudayaan bisa juga diartikan sebagai suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut (www.anneahira.com/masyarakat-dan-kebudayaan.htm). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat tanpa kebudayaan akan statis atau mati.

Kerabhan Sape dan Lotrengan ternyata tidak hanya sekadar ritual kebudayaan belaka yang tidak ada maknanya. Justru, dua kebudayaan ini mempunyai falsafah hidup warga masyarakat Madura.

Di Madura, Kerabhan Sape (Kerapan Sapi) merupakan simbol bagi laki-laki Madura. Simbol tersebut adalah pertanda bahwa manusia memiliki nilai-nilai potensi kebudayaan. Sebagaimana sapi kerapan, adalah sapi laki-laki yang jantan dan pemberani ketika menghadapi lawan. Sifat-sifat yang dimiliki sapi kerapan seperti ketundukan pada yang kuasa (maksudnya yang memiliki) menjadi ukuran kesopanan dan kekhasan dalam bersikap.

Perilaku lelaki Madura dalam perbandingannya dengan sapi kerapan dapat dilihat dari penggambaran cerpen Kerabhan Sape. Sapi-sapinya tak berani mengusik jika ia tertidur di sana. Bila ada orang usil mengganggu tidurnya, maka sapi-sapi itu akan meronta, mengibas-ngibaskan ekor dan melenguh hingga orang yang ingin mengganggu Matlar akan ketakutan dan lari. Suatu ketika, saat Matlar tengah mengambilkan air minum untuk ibunya yang sakit, pada waktu bersamaan Bapaknya menyuruh Matlar membeli telur. Namun, Matlar tak mengacuhkan perintah Lubanjir. Seketika Lubanjir menampar Matlar. Seketika itu juga sapi-sapi itu menyeruduk Lubanjir hingga Bapak Matlar itu terhuyung dan jatuh (Tawar, 2010:19-20).

 Demikian perempuan Madura. Lotrengan juga dapat disimbolkan sebagai perempuan Madura yang cantik dan bisa menjaga dirinya dari kecacatan zhahir dan batin. Sebab, jika sapi lotrengan mengalami gangguan kejiwaan hal itu akan berpengaruh pada mental dan psikis sapi. Tidak salah jika sapi Lotrengan dirawat secara khusus dan dipelihara dengan kasih sayang. Terlebih itu pula, terlihat keistimewaan sapi lotrengan pada saat pergelaran Sapi Sonok, sapi-sapi dipercantik, didandani, disolek, dan diberi aksesoris yang indah.

Sepuluh pasang sapi, lengkap dengan segala atributnya siap unjuk kebolehan. Kalung kuningan dan kilauan pernak pernik berpendar menghiasi paras sepasang sapi yang sebelumnya diluluri kunyit dan aneka kembang agar tubuhnya sintal, mengkilap, dan wangi. Seandainya mereka manusia, akan sangat cantik bermahkota permata dan kilauan manik-manik melingkar di leher.

Tidak! Sapi-sapi itu memang benar-benar cantik. Lihatlah! sepasang sapi Kusen lebih cantik daripada istri yang setia menemaninya di arena pertandingan. Bibirnya saja lebih sensual. Lebih basah ketimbang bibir istrinya. Lihatlah! Sapi gacoan Durham lebih molek dari paras istri pertama dan keduanya. Begitu juga dengan sepasang sapi Kang Slamet, kesaksiannya tak bisa dibandingkan dengan istri dan anaknya yang sudah dewasa (Radar Surabaya, 08/04/2012).

 Sekalipun, meski tidak semua lelaki Madura berwatak seperti yang disimbolkan Kerabhan Sape dan perempuan Madura seperti yang disimbolkan Lotrengan, setidaknya hal itu menjadi ukuran bahwa manusia mempunyai potensi kebudayaan.

Fàdh Äldrîch, dalam catatan akun facebook-nya yang berjudul Mengenal bangsa Madura: Watak, Tradisi budaya dan Keislamannya, menuliskan bahwa, selain berwatak “keras” dalam arti tegas, orang Madura juga memiliki jiwa persaudaraan yang tinggi terutama ketika berada di daerah perantauan. Orang Madura sangat mencintai sesamanya. Berdasarkan filosofi yang melekat pada masyarakat Madura adalah kata “Madura” yang berarti Madu dan Darah. “Madu”, Orang Madura bisa berbuat manis dalam arti sopan, dan berbudi kepada siapapun jika orang lain juga bersifat demikian serta menghormati harkat dan martabatnya. Sedangkan, “Darah”, Orang Madura akan berbuat keras jika orang lain melanggar dan menginjak adat, harga diri dan martabatnya, baik orang lain maupun sesama orang Madura sendiri, sekalipun sangat rentan kekerasan yang muncul dalam bentuk carok. (https://www.facebook.com/note.php?note_id=162280593872255).

Daftar Pustaka

Sayuti, Suminto A, Drs. 2000. Berkenalan dengan Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Soelaeman, M. Munandar, Dr. 2007. Ilmu Budaya Dasar, Bandung: PT Refika Aditama.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Tawar, Mahwi Air. 2010. Mata Blater, Yogyakarta: Matapena. *Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Fiksi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY dengan dosen pengampu Wiyatmi, M. Hum