Wednesday, April 25, 2012

Surat Kepada Tuhan

(Dimuat di Radar Surabaya, 22 April 2012)

Bakri bersenyum. Lebar. Menampakkan gigi yang tanggal satu. Ia terpekur menggali hikmah yang terpendam dari ucapan seorang lelaki berkacamata minus di depannya. Bocah yang lugu, yang selalu ingin tahu. Kopyah putih bercongkol di kepalanya. Miring. Kusut.

Bel sekolah berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari ruang kelas yang pengap. Mereka buyar bak sekantong pasir yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh membasahi seragam mereka yang putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok masih harus dipakai.

Bakri tak beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh yang tengah sibuk merapikan lembaran kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan menggelengkan kepala melihat tulisan surat al-Ikhlas yang baru ditulis mereka.

Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sepantaran yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga. Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, tersenyum kepada siapa. Pak Soleh heran melihat tingkah laku muridnya itu.

“Bakri, mengapa kamu tersenyum, Nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan. Bakri Cuma melebarkan senyumnya. Lantas tertawa kecil. Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.

“Pak, apa benar Allah bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ucapnya polos. Giliran Pak Soleh yang tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya.

Ia menggeser kacamata sedikit ke atas sebelum menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah seukuran Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah. Pak Soleh beringsut membetulkan tempat duduknya.

“Ya, anakku. Allah akan selalu mengabulkan permintaan hambanya, termasuk kita. Asalkan hamba itu tulus meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak agar terasa lebih dekat.

“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia kurang mengerti dengan maksud ‘paham’ versi Bakri. Namun, cukup puaslah ia melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.

***
Bakri menatap perempuan bermuka keruh terbaring tak berdaya di atas lincak. Kaki lincak itu sebagian sudah termakan rayap, seakan tak kuat menahan tubuh ringkih ibunya. Namun, begitulah, hanya tempat itu yang bisa dijadikan sarana berbagi, sebagai kursi dan ranjang, di bawah rumah berdinding sirap itu; tempat berbagi ibu dan anak.

“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi?” Pertanyaan itu keluar tanpa beban. Pak Burdi, seorang dokter terkenal di kampung itu. Dekter yang dianggap bisa menyembuhkan segala macam penyakit.

“Ibu tak punya uang, Nak. Mana cukup uang bisa membayar biaya rumah sakit,” datar jawaban itu. Ada yang jatuh dari ceruk matanya.

Setelah si suami menghilang dalam rantauan tanpa kabar, dua tahun lalu, ia cuma bertumpu pada pekerjaan menghancurkan batu gamping. Setiap hari harus mendaki bukit. Berjuang mempertaruhkan Bakri yang sudah ditinggalkan suaminya sejak berusia enam tahun. Seluruh harta kekayaan tersisa, yakni perahu cadik dan sepetak tanah warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, telah dijual untuk keperluan modal berdagang––setelah memutuskan berhenti melaut. Tapi, tak dapat dinyana, usahanya pailit. Sampai, jalan keluar yang ditempuh untuk melunasi hutang adalah merantau.

Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri menganaksungaikan air mata ibunya. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya, kini: berusaha menolongnya. Pada situasi demikian, ia teringat kenangan masa lalu saat bersama Bisri yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara.

“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” cetusnya meyakinkan. Bisakah bocah sekecil ia bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya. Toh, Walaupun bersungguh-sungguh berucap, baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocah sepantarannya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaan tak terkabulkan.

***
Hujan baru saja reda. Kring…kring. Tukang pos tengah mengayuh sepeda ontel. Setiap pagi tukang pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Roda yang menghindari genangan air, membuat raut tukang pos tampak lucu. Bakri tertawa sembari tangannya menuding-nuding tukang pos. Terpingkal-pingkal.

Tukang pos sudah raib dari pandangannya. Bakri termenung. Berpikir dengan apa harus mencari uang membiayai pengobatan ibunya. Di beranda, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng (halaman panjang) serta gelombang air pada lubang-lubang kecil di jalan setapak. Ia kembali ingat kata gurunya di kelas beberapa hari lalu: asalkan sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta. Hem, bersunggutlah kepalanya.

Ia mengeluarkan sebuah buku tulis aus dari tas aus bergambar Doraemon. Semua serba aus. Pensil sudah di tangan, aus pula. Membuka buku, membolak balik lembar per lembar mencari ruang kosong tanpa oretan. Setelah ketemu, ia merobeknya.
Bakri berpikir. Bertafakur. Lalu mulai menulis.

Kepada Yang Terhormat
Pangeran gusti Allah


Usai menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Terpekur. Kata apa yang harus ia tulis pertama kali. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke jidatnya. Memanggil ilham agar segera turun. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Ilham itu datang.

Ia beringsut, membetulkan duduknya.

Ya, Allah… ibu sakit. Katanya, tak punya uang untuk berobat. Bapak tak ada. Kata ibu, bapak masih mencari uang untuk mengobati ibu. Tapi, sampai sekarang bapak belum kembali juga. Lama sekali.

Ya, Allah… kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk sakit ibu. Aku ingin minta uang padaMu, ya Allah, untuk mengobati Ibu.

Aku sangat memohon sekali, Ya, Allah, mau mengabulkan permintaanku. Amien ya rabbal alamien.

dari Bakri


Bakri bersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir. Ia membaca ulang. Seraut wajahnya menampakkkan keyakinan terkabulkan. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan setinggi keiklasannya agar Allah mengabulkan permintaannya.

***
Lama Bakri berdiam diri di beranda. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel tukang pos. Tak lama kemudian, pria berkumis jambul yang diharapkan datang. Bakri berlari. Menghampiri. Menyerahkan surat itu.

“Pak, tolong aku,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu lantas tersenyum.

“Untuk siapa, Nak?” tanya tukang pos.

“Untuk biaya ibu, Pak. Ibu sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi tukang pos mencoba memahami perkataan Bakri. Tukang pos tahu kalau ibunya mememang sedang sakit.

Tukang pos langsung memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, ia menatap lekat wajah Bakri, ditinggal si bapak entah ke mana. Tukang pos mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu.

Kring…kring…

***
Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Tukang pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Jibrilnya manusia itu ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.

Selesai solat, tukang pos mengecek barang bawaannya. Di tasnya, yang tersisa hanya surat dari Bakri.

“Kepada Tuhanku. Tuhanku siapa?” ejanya. Tukang pos membolak balikkan amplop kecil itu. Mengernyitkan dahi. tahulah kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Tukang pos terjebak bingung. Kiranya, Bakri disuruh Pak Lurah mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.

Bagaimana caranya menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa, batinnya. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.

Ujung surat itu disobek. Dibuka. Lantas, tahulah tukang pos maksud dari surat itu. Ia terharu. Tak perlulah surat itu dikembalikan. Pikirannya Cuma satu, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan,––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski cara yang dilakukan Bakri salah. Ia tetap ingin menanamkan keyakinan pada seorang bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.

Ia memanggil takmir masjid yang tak lain adalah kemenakannya sendiri. Tukang pos mengurai-menjelaskan tentang isi surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari seraut wajah yang masih tergolong muda.

“Di mana rumah anak itu, Man?” katanya.

***
Hari sudah menjelang maghrib ketika Bakri mempersilakan kedua tamunya masuk. Kedatangan dua tamu itu membuat Bakri berjingkrak girang.

“Bu, kemarin aku ngirim surat pada Gusti Pangeran. Aku minta uang untuk bisa ngurus sakit ibu. Hari ini Gusti Pangeran membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku, memberikan uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Polos. Ibunya yang tetap terbaring rapuh tak kuasa menatap pancaran cahaya di wajah anaknya. Ada yang kembali mengucur. Ia meminta si tamu membantunya untuk bangkit hendak memeluk Bakri.

Ponpes Annuqayah, 2010

Friday, April 20, 2012

LOTRENGAN

(Dimuat di Radar Surabaya, 8 April 2012)

SIANG yang diramalkan buruk. Gerimis akan menyambangi bumi dan darah akan muncrat begitu liarnya. Begitulah ramalan Ki Sapraji pada lotrengan1 hari ini. Dua jam lagi pertunjukan akbar kontes sapi sonok akan dimulai. Gumpalan awan kelabu berarakan di langit, tak menghalangi hiruk pikuk Lapangan Trunojoyo yang ditahbiskan sebagai arena adu kemolekan sapi tahun ini. Berpuluh-puluh orang bepakaian blaster merah-putih dan celana komprang setia bersama gacoan sapi mereka.

Sepuluh pasang sapi, lengkap dengan segala atributnya siap unjuk kebolehan. Kalung kuningan dan kilauan pernak pernik berpendar menghiasi paras sepasang sapi yang sebelumnya diluluri kunyit dan aneka kembang agar tubuhnya sintal, mengkilap, dan wangi. Seandainya mereka manusia, akan sangat cantik bermahkota permata dan kilauan manik-manik melingkar di leher.

Tidak! Sapi-sapi itu memang benar-benar cantik. Lihatlah! sepasang sapi Kusen lebih cantik daripada istri yang setia menemaninya di arena pertandingan. Bibirnya saja lebih sensual. Lebih basah ketimbang bibir istrinya. Lihatlah! Sapi gacoan Durham lebih molek dari paras istri pertama dan keduanya. Begitu juga dengan sepasang sapi Kang Slamet, keseksiannya tak bisa dibandingkan dengan istri dan anaknya yang sudah dewasa.

Hampir dua jam aku mematung di pinggir arena. Sapi-sapi itu belum diarak juga. Tembang saronen mengaung dari corongan2. Berpacu seperti segerombolan anak tawon yang terperangkap di gendang telinga. Obrolan penonton saling pagut. Remeh-temeh transaksi kemenangan semakin membuat mukaku merah padam.

Kemana Dullah? Tidak. Dia tak akan ciut sebelum bertanding. Aku tak mau mendengar tawa kemenangan Durham meledak di lapangan. Aku tak terima jika Dullah mundur!

Angin berbisik dan terasa dingin. Tubuhku tersulut bara tatapan Durham. Senyumnya tak ubah Arjuna yang bersembunyi di balik kewibawaan gurunya, resi Durna saat menjatuhkan dhaksana kepada Ekalaya. Perilaku picik yang membuat Ekalaya harus kehilangan ibu jarinya sebagai bukti abdi pada resi Durna, hingga pemanah ulung tersematkan pada Arjuna, bukan kepadanya.

Semua pasangan sapi sonok diarak ke pinggir arena. Tembang saronen terus bertalu. Riak sorak penonton mengiring gerak selendang penandak yang diundang khusus memeriahkan pesta tahunan itu. Gerakan gemulai membuat penonton berebutan ke pinggir arena hanya untuk melihat kesemokan bokong para penandak.

Kemana Dullah? Keparat! Tatapan Durham membuatku geram. Tunggu. Jangan-jangan ini gara-gara Marhani Dullah tak datang. Awas jika kau sampai berbuat licik, Durham! Aku tak akan berpikir dua kali untuk mengalungkan celurit ke lehermu.

“Pulanglah, percuma kau menunggu Dullah!” Ah, mata Durham berbicara.

“Penonton sekalian. Sebentar lagi lotrengan ini akan segera dimulai. Siapakah yang akan menang dan membawa pulang tropi kebanggaan Madura?” suara pemandu acara di atas panggung membuatku semakin kalut sekaligus berang.

“Oh, lihat! Ternyata masih ada satu kontestan lagi yang belum hadir. Apakah ia akan gugur?” Hem, pertanyaan muskil.

Dullah pasti datang. Tatapan itu berbisik. Mengejekku.

“Lihat, ternyata jawara dari timur datang!” Ratusan orang mengarah pada sorot mata yang ditunjukkan pemandu. Dullah datang bak seorang raja yang disambut para ajudannya. Sepasang sapi sonok diturunkan dari atas pick up. Tembang saronen dan sorak penonton menyambutnya.
Pertandingan akan seru! Ini bukanlah sekedar pertandingan adu kemolekan dan kecantikan sapi, melainkan pertaruhan nyawa untuk menelan pil malu. Harga diri dipertaruhkan! Dullah dan Durham mewakili wilayah Sumenep karena sepasang sapi mereka bertahbis jawara. Meski dari wilayah yang sama, keduanya tetap memendam bara pandang. Durham tak terima sepasang sapinya menjadi jawara di bawah kasta sapi Dullah. Ia tak terima atas kekalahan itu.

Sebenarnya Slamet, ayah Dullah masih dalam satu garis keturunan dengan Durham. Tetapi kekalahan terus menerus yang menimpa sepasang sapinya saat beradu kemolekan di arena dengan sapi Slamet, membuatnya menyimpan bara hati. Segala cara dilakukan untuk menang.
Kini, yang akan menjadi taruhan adalah anaknya, Marhani yang saling kesengsem dengan Dullah sejak kecil. Ia mengancam Dullah akan menikahkan anaknya dengan seorang dukun yang selama ini menjadi perawat sapi-sapinya. Tentu, hal itu terjadi jika Dullah tetap mengikuti kontes ini. Menang-kalah, tetap kalah.

“Besar juga nyalimu, cah bagus. Keras kepala seperti bapakmu,” kata Durham angkuh. Aku terpancing amarah. Hampir saja celurit kutarik dari dalam berengka, tapi tangan Dullah menenangkan.

“Cukuplah paman mengambil tanah yang sudah jelas-jelas menjadi bagian warisan bapakku.”

“Oh, begitu? Bagian bapakmu? Cuih, cah bagus, bagaimana dengan bagianmu? Apa kau masih mau memiliki anakku?” Ucapnya enteng. Kali ini Dullah mematung nanar. Marah menggumpal di urat-urat tubuhnya.

“Menikahlah dengan sapi-sapimu, cah bagus,” ucap Durham yang berlalu dengan mata jalang.

Dullah menggumpalkan tangan kuat-kuat. Pasti ia teringat pada janjinya dengan Marhani. Lotrengan ini harus ia menangkan. Ia sudah berjanji akan mengalahkan pamannya. Ia tak mau keluarganya selalu dilecehkan. Inilah kesempatan untuk menunjukkan bahwa ancaman itu tak berpengaruh apa-apa.

“Pulanglah! Hari sudah larut malam. Aku tak mau mencari gara-gara dengan bapakmu sebelum besok pagi,” Kata Dullah malam itu.

Dullah tak sengaja bertemu Marhani saat hendak memberikan sepuluh telur ayam dan secangkir madu untuk jamu sapi-sapinya. Dullah menemukan Marhani sedang berjongkok-jongkok dan mengintip dari kolong-kolong bambu,di bawah Pohon Siwalan dekat kandang sapi.

“Aku takut kau kalah.” Sepasang mata bundarnya menatap nanar. Ada ketakutan yang mengair dan menganak sungai.

Benarkah tak ada celah di hati Durham untuk menerima Marhani sebagai menantunya? Seberapa berhargakah baginya antara sapi dan anaknya?

“Semuanya akan ditentukan besok! Pulanglah.”

“Aku takut!”

“Percaya...” mata durham menatap nanap.

“Tidak! Mundurlah sebelum terlambat. Kau tak akan mampu mengalahkan bapakku.” Marhani benar-benar ketakutan. Sepertinya kemenangan sudah ditentukan di malam itu.

“Aku harus bisa menyadarkan bapakmu.”
“Jangan! Aku saja tak berdaya saat bapak mengalungkan celuritnya ke leherku,” suara Marhani lirih. Ada sesuatu yang disembunyikan.

“Jika bapakmu bisa mengalungkan celurit ke lehermu, mengapa aku tak bisa mengalungkan kepadanya?”

“Aku takut!”

“Pulanglah. Bapakmu tak akan mengapa-apakanmu. Aku berjanji.” Gadis itu dilematis.

Kepulangan Marhani di malam itu menyiratkan curiga mendalam yang mengernyitkan dahi. Peristiwa itu masih berseliweran, seperti penandak yang sudah keluar arena, mengundang selera para jhereghen3 sapi untuk menyematkan beberapa uang ke tengah lekukan buah dada atau mengalungkan uang puluhan ribu ke lehernya. Para kontestan Sapi Sonok diarak ke garis start. Durham dan Dullah berperang pandang.

“Nasibmu dan Marhani berada di garis akhir sana,” kata Durham.

“Katembheng pote mata, bhengok pote tolang4.”

Keparat!

Sepasang mata jentik berpadu pandang dengan Dullah. Oh, bukankah itu Marhani?

“Aku akan menang!”

Kata yang dilafalkan Dullah lebih berupa bisikan pada dirinya sendiri. Namun, aku dapat mendengar dengan sangat jelas. Aku tak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. Mata jalang membakar pandang. Darah Saghara!

“Dullah, kau masih punya kesempatan menjatuhkan pelukanmu ke tubuh Marhani. Mundurlah sebelum kau sampai ke garis itu!”

“Aku sudah janji.”

“Apa, janji?”

Tidak. Dullah tidak akan mengalah. Darah Saghara berdenyut di urat nadinya. Dullah seperti meyakinkan Marhani bahwa pertemuan kemarin malam, di bawah pohon Siwalan merupakan bentuk pembuktian cintanya. Jika hanya dengan ujung celurit bapakmu akan sadar, akan aku lakukan. Ucapan itu kembali menjelma seperti angin yang menerbangkan debu lapangan.

Gemerincing gelang kaki dan kalung kuningan pada leher sepasang sapi berdenting-denting. Suara saronen memperindah lenggokan sepasang sapi itu. Semua berdecak mengunggulkan gacoan masing-masing. Dullah, Durham dan kontestan lain berkomat kamit merapalkan mantra sambil mengatur ritme jalan sepasang sapi mereka.

Lantunan saronen berirama dengan gerakan kaki bergemerisik halus. Aroma kembang mulai merebak. Menyengat bercampur keringat.

Sapi Durham sangat menarik. Lihatlah! Kedipan matanya!

Sapi Dullah juga tak kalah bagus. Cara berjalannya begitu gemulai menggoda hati!

Hayo, hayo...!

Dewan juri berdecak kagum ketika sapi Dullah unjuk kebolehan. Meski kagumnya tak ditampakkan di depan khalayak, aku dapat melihat. Dan bisa dipastikan sapi Dullah yang ditahbis sebagai pemenang.

Langit mendung menjadi tetes-tetes air yang membasahi arena pertandingan. Hujan turun membawa gairah baru pada tubuh-tubuh manusia lelah yang berjam-jam berdiri di pinggir arena. Pungungpunggung sapi mengkilap. Aroma kembang merebak. Sapi-sapi itu seperti kembang desa yang sedang berbasah-basahan di pancuran. Mengundang selera!

Marhani mematung kaku bersama ketakutannya. Kembang desa yang mungil nan cantik itu mendekap sendiri. Menahan getar menggerayangi sekujur tubuhnya. Matanya mengeja setiap gerak kaki sepasang sapi Dullah.

“Oh, lihat! Ada apa dengan sepasang sapi Dullah?”

Suara itu seperti lecutan cambuk api. Sepasang sapi Dullah mulai melemas. Jalannya mulai tak beraturan. Ada apa ini? Dullah kebingungan. Ia mencoba mengatur ritme jalan sepasang sapinya agar tetap pada penampilan terbaik. Usahanya gagal. Jalan sapi-sapi itu mulai tak kompak. Sepasang sapi itu pucat seperti pemiliknya kini.

“Kenapa? Ada apai ini?” ucap Dullah tanpa daya. Aku pun turut kebingungan. Pasti ini perbuatan Durham. Keparat. Awas kau Durham!

Mata Dullah jalang menelanjangi Durham. Tangannya mengepal. Giginya bergemeretak. Berfirasat bahwa peristiwa adalah lakon pamannya sendiri. Penonton berbisik toleh kanan-kiri mencari dan menemukan jawaban. Gerimis yang turun tak menyulutkan amarah yang sudah terlanjur menjilat-jikat tubuhnya. Jika memang celurit harus berbicara, aku akan mendukungmu, Dullah!

Di pinggir arena, mata Marhani sembab memerah. Hujan menyembunyikan air matanya. Tetapi getar bibirnya tak bisa ia sembunyikan. Ah, pertemuan di malam itu menggumpal di urat nadiku.***

Batu Putih, 10.51 PM

CATATAN:
1 Kontes Sapi Sonok
2 Pengeras suara
3 Juragan
4 Daripada Putih Mata, Lebih Baik Putih Tulang

Sunday, April 15, 2012

Senandika Kemboja

(Dimuat di Tabloid NOVA, 16 April 2012)

Rerimbunan pelepah nyiur di perbukitan sebelah barat memaksa matahari redup sebelum waktunya. Di tepi muara, membujur seurut laut, perahu-perahu tertambat sehadapan dengan rumah-rumah nelayan, sejajar menghadap pasir menghampar. Rumah-rumah yang dirimbuni aneka cemara udang. Anyir ikan kering, apek, ngengat, dan busuk mendesir dari rumah-rumah itu.

Bocah-bocah pesisir melepas langkah-langkah tanpa beban. Berlarian di atas pasir basah, menunggu keberangkatan si bapak berangkat kerja. Melaut. Pada gilirannya, mereka akan diam seketika bilamana suara si ibu terdengar cempreng menyuruh bergegas naik ke surau.

Tembang saronen yang dimainkan lelaki tua di sebuah gubuk mempersolek sore lebih molek; mencairkan siklus kesuyian anak dan bini sewaktu perkampungan nelayan lenyap dari hingar-bingar kaum adam. Sementara, sepasang mata yang seperti menyimpan berjuta enigma, tengah menyorongkan keakraban pada pintalan air. Menatap perahu yang tampak kecil dalam pelayaran. Menyiratkan sesuatu yang benar-benar alamiah. Tentang buih perjalanan yang bergelombang. Tentang sesuatu yang hilang. Dan, tentang sebuah pengabdian diri seorang istri.


“Kang,” keluh Marhani pada kibaran secarik kain lusuh di ujung tiang pancang perahu. Warna gelap lebih ia sukai semenjak dunia tak menarik lagi baginya.

Berangkatlah ia dengan sekeranjang mawar dan kenanga. Kesetiaan, kecintaan, kasih sayang, dan rasa abdi seorang istri akan senantiasa ia tebarkan. Tapih dan kerudung warna gelap menyembunyikan sepotong rambutnya yang tergerai. Ketika para anak-bini nelayan mengantarkan lakinya melaut, ia malah ke kuburan.

Matahari membulat serupa kuning telur gosong. Angin pesisir berhembus cukup kencang meraup debur ombak. Menarikan kain hitam yang melilit kepalanya. Jalan setapak menanjak senyap. Marhani menatap panjang. Sejurus kemudian menjangkau semu pada perahu tua yang tertambat kaku di pangkal muara. Terkenanglah saat bercinta di atas perahu. Naluri berahi telah membebaskan dari norma dan etika. Laiknya sepasang gurami tertangkap jaring, begitulah Marhani dengan lelaki yang dicintainya saling berpagut erat. Lekat.

Tibalah langkahnya pada sepetak tanah terbentang cukup luas ke selatan. Sekuntum kemboja, pucat dan layu, lepas dari tangkai. Menyambut di pelataran. Dipungutnya kemboja itu perlahan. “Kurang apa aku, Kang,” senyum mengembang pada ceruk-ceruk bibirnya. Hembus angin mengalirkan kenangan. Tersirat.

Marhani menaruh kemboja itu dalam keranjang. Pada lanskap langit, burung-burung camar serta bangau hilir mudik ke peraduan. Langkahnya terhenti. Rimbun siwalan berjarak tak cukup jauh menyembunyikan dirinya dari pelukan senja. Di depannya, gundukan tanah ditumbuhi rumput-rumput kecil.

Sejenak, matanya terpejam—seolah—menyapa nisan bertuliskan nama orang yang sudah tak asing lagi. Kepalanya tertunduk. Aneka bunga ditabur. Sekejap, mawar, kenanga, dan kemboja yang baru dipungut tadi, terkapar rata di atas pusara. Terbayanglah Marhani pada mawar dan melati yang bertaburan menghiasi hari pernikahan.

“Ini bukti kesetiaanku, Kang,” gumamnya memecah hening pekuburan. Tangannya meraba. Mengelus nisan kayu berbentuk kubah itu. Sentuhannya mengalirkan doa. Panjang. Ia buka mushaf kecil. Pada rapal yang dibaca, lirih suara itu menyebut sebuah nama yang terpahat pada sebongkah kayu nisan. Diikatnya nama itu dengan simpul-simpul tawasul: Indrajid bin Slamet. Ayat demi ayat surat Yaasin dibaca nyaris rapuh di telinga. Lirih tapi santun. Angin mendesir. Kerudung berayun. Beberapa bunga kemboja kembali gugur membentuk satu gugusan. Marhani tak sempat memungut kembali. Khusyuk dalam semesta doa.

Lekat betul di ingatannya sebelas tahun silam, serupa kerak yang menempel pada dinding perahu. Bayang-bayang kedua orangtua Indrajid yang datang meminang sekaligus akan berembuk rencana pernikahan bila lamaran langsung disetujui.

“Bagaimana, Nak. Mau dengan lamaran Indrajid?” tanya emaknya.

Diam adalah bahasa paling tepat. Selain menunduk, Marhani tak memiliki jawaban sepadan. Dicurinya sepotong wajah yang hendak meminang. Tetapi, si empunya lebih dahulu bersenyum dan bersitatap tajam. Pandangan Marhani terpelanting ke lantai. Indrajid mesem-mesem.

“Kata reng konah kalau perempuan diam, tandanya setuju. Bagaimana?” timpal emak Indrajid mengalihkan pandangan pada emak Marhani.

“Baiklah kalau begitu. Dengan lapang kami menerima lamaran ini,” tukas emaknya.

Jawaban yang searah! Sungguh, Marhani sangat berbahagia mendapati Indrajid telah memenuhi janji. Sesal karena mengorbankan darah mengucur di tengah selangkangan sebelum kalimat sakral ijab-qabul dibacakan raib. Kini, baginya, lelaki itu telah membuktikan korban setia saat bercinta di atas perahu tua itu. Paling tidak, pinangan itu telah mengantarkan perasaannya pada titik simpul sebuah pertanggungjawaban.

Indrajid dipandang cukup berpendidikan. Seorang buruh nelayan, sempat menamatkan pendidikan sampai sekolah tingkat atas. Paling tidak, dengan pengalaman pendidikan setingkat itu, tak akan membuatnya kesulitan mencari pekerjaan saat nelayan libur melaut pada pergantian musim atau saat tera’ bulen. Jarang-jarang ada pemuda nelayan tamat sekolah sampai setinggi itu. Paling banter ikut si epak melaut. Menenteng jaring lebih gagah ketimbang memanggul tas. Begitulah yang dibangun.

Sedangkan Marhani, gadis pesisir yang tak tahu seperti apa pendidikan sekolah itu. Orangtuanya hanya mengajarkan alif, ba, ta, tsa… di surau menjelang petang. Selebihnya menanak, mengolah sayur, dan menjemur ikan. Selain daripada itu, kerap saban pagi, membantu ibunya berjualan nasi, berkeliling rumah-rumah nelayan, atau menunggu para nelayan pulang memanggul hasil tangkapan. Siklus kehidupan. Tak bosan-bosan dijalani. Banyak pemuda kampung ngiler pada perempuan pesisir yang kerap mengenakan sampir lorek tanpa sandal ketika berjualan. Marhani tak begitu cantik. Hanya karena warna kulitnya lebih putih ketimbang perempuan pesisir seusianya, ia lebih diunggulkan.

“Nak, kamu paraben, tak perlulah sekolah. Yang penting bisa masak enak, pasti sudah disayang suami,” kata si emak mengajari ilmu berumah tangga. Seperti sebuah sabda, kata-kata itu senantiasa ia pegang.

***
Matahari hampir rebah usai setitik air hampir jatuh dari kelopak mata. Pandangan Marhani kosong. Datar menghujam pusara. Abjad demi abjad di kayu nisan mendikti sesuatu yang masih membekas. Marhani menyingkirkan serakan daun-daun kering dan mencabuti rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas pusara.

Terlalu banyak sisa kehidupan manis yang tersimpul. Namun, setiap kali mengingat, selalu ada lorong gelap membengkokkan pada sebuah perjalanan. Tak berujung. Tak berkelas. Bukankah kenangan datang bukan untuk dihukumi? Bukankah hidup tanpa refleksi merupakan hidup yang tak layak dijalani? Lagi, Marhani kalah oleh permainan angan.

“Keinginanmu segera aku kabulkan,” ujar Indrajid seraya memeluk.

“Keinginan apa?” Marhani heran.

“Lho, katanya ingin memiliki perahu sendiri. Sekarang aku akan membelinya pada Nyi Talhah, tapi dengan cicilan. Tak apa, kan?”

“Apa cukup bayaranmu?”

“Juraganku itu orangnya baik. Sudahlah, jangan banyak mikir. Sekarang, kamu tinggal tanda tangani surat ini.” selembar kertas disodorkan ke mukanya.

“Ini surat apa? Tanda tangannya di mana?” Sesuai dugaan! Kekakuan Marhani yang tak bisa baca-tulis betul dipahami.

“Ini, akad persetujuan kita membeli perahu dengan harga cicilan. Sini tanganmu, pakai cap jempol saja.” Telaten Indrajid menuntun tangan Marhani. Mengoleskan sedikit tinta pada jempol kiri dan meletakkannya pada selembar kertas itu. Jadilah, cap jempol!

Mata Marhani bercahaya. Betapa pun, itu merupakan surprize paling melambungkan hatinya meski kemudian berbuah meremukkan jiwa. Marhani tak tahu bahwa surat itu bukanlah akad persetujuan harga cicilan membeli perahu. Surat itu, surat izin poligami! Surat persetujuan menikahi Supinah, janda kembang anak Nyai Talhah, sudah terlanjur ditanda tangani.

***
Selembar daun kemboja gugur. Karena embusan angin atau karena batas umur, entah. Suara pintalan ombak mengisi pelataran kuburan yang hening. Satu lagi kuburan yang kerap dikunjunginya. Tak jauh dari pekuburan Indrajid. Kembali Marhani membuka mushaf kecil. Serak suara menyimpulkan doa-doa kepada orang yang telah banyak mengajarinya tentang kehidupan.
Di pusara itu, seketika panas hati Marhani tumpah. Tak ada satu pun sekat rasa yang memisah. Dengannya. Dengan emaknya.

“Mak, aku minta maaf. Aku tak bisa jadi istri solehah seperti yang selalu Emak ajarkan. Aku tak bisa menjadi diri Emak yang sabar menahan kemarahan Epak. Aku tak bisa…,” debur ombak menyembunyikan seraknya. Sebutir air menetes dari sudut mata. Bermuara di pusara. “Aku tak tahu, apakah jalanku bertobat akan dilapangkan oleh-Nya. Aku tak tahu, apakah masih ada tempat di surga bagi orang yang telah menyudahi napas suaminya sendiri. Tetapi, aku masih memiliki keyakinan kalau Emak tetap memiliki surga. Bukankah berulangkali Emak mengatakan kalau setiap perempuan menyimpan surga di telapak kakinya. Masihkah Emak simpan untukku?” Tangannya gemetar memungut daun-daun kering.

“Aku janji, mengajarkan cucu Emak untuk selalu taat dan patuh pada suami. Aku akan mengatakan bahwa epaknya adalah suami yang sangat bertanggungjawab,” desahnya. “Tetapi maaf, aku tak akan mengajarkan cara-cara emak berumah tangga, demi masa depan anakku. Tenanglah, Mak. Aku tak mengatakan kalau perempuan itu tak perlu sekolah. Perempuan juga harus sekolah. Pendidikan surau dan pendidikan sekolah sama penting. Seandainya emak masih hidup, tentu sangatlah bangga melihat cucu Emak selalu mendapat ranking kelas. Aku tak akan berhenti menyekolahkannya sampai ia menjadi seorang sarjana,” ucapnya lirih.

Marhani memungut sekuntum kemboja. Diciumnya bunga itu serupa mengecup kening emaknya...

Annuqayah, 01-11-11, 10:11 PM
Saronen: Alat musik tiup tradisional Madura
Oreng konah : Sebutan orang Madura untuk orang terdahulu (nenek moyang)
Tera’ bulen: terang bulan, seminggu pada pertengahan setiap bulan dalam kalender Hijriyah
Paraben : Perawan

Monday, April 9, 2012

Menyulap Lemari Menjadi Toko



(Sumber: www.annuqayah.blogspot.com)

Ada saja “terobosan” yang dilakukan oleh teman saya yang satu ini, Ahmad Fawaid. Ia membuka toko di biliknya, blok A/7 PPA Lubangsa. Saya baru tahu bahwa ia memiliki usaha kecil itu ketika saya dengannya hendak mewawancarai wakil ketua DPRD kabupaten Sumenep, Hunain Santoso, di kediamannya, di Ganding, Sumenep.

Saat pulang dari Ganding, alangkah terkejutnya saya. Ia mencari rokok Intro 1 pres. Untuk apa membeli rokok sebanyak itu, tanya itu menggantung di benak saya. Tak habis keheranan saya, ia menuju sebuah toko aneka makanan/camilan: membeli cokelat eceran Rp. 100,- permen, dan lain-lain, yang semua apabila dijual eceran harganya tidak sampai mencapai Rp. 500,-.

Pada saat itulah ia berani berterus terang kepada saya bahwa ia memiliki usaha kecil di pondoknya di PPA Lubangsa. Ia mengaku “tokonya” benar-benar laris manis. Tetapi toko yang dimaksud bukan toko yang sebenarnya. Tokonya adalah sebuah lemari pakaian yang dijadikan penampung jualannya. Sungguh hebat!

Iseng-iseng saya bertanya, mengapa harus rokok Intro yang dicari? Bukankah banyak macam rokok lain selain Intro? Pertanyaan ini terlontar setelah persendian kaki saya merasa ngilu karena berkeliling pasar hanya sekadar mencari rokok yang dimaksud.

“Kalau rokok Intro cepat laku, bang,” akunya pada saya.

“Apa tidak ada rokok lain?”

“Sebenarnya ada seperti rokok Apache dan Pundi Mas. Tapi tak selaris Intro,” jawabnya senyum-senyum.

Kemudian santri asal Batu Putih, Sumenep, itu sedikit berbagi cerita mengenai rintisan usahanya tersebut. Ia berujar kalau sehari “tokonya” bisa menghabiskan rokok Intro satu setengah pres! Mengenai pembelian permen dan yang lainnya, itu masih dilakukan pertama kalinya hari ini.

“Yah, saya sedang mengembangkan usaha saya,” candanya.

Tahukah Anda berapa penghasilan tokonya selama sebulan? Katanya, penghasilan yang bisa didapat selama sebulan paling sedikit Rp. 45.000,-. Kalau mujur, penghasilannya mencapai seratus ribu rupiah lebih!

Modal awal usaha yang dikembangkan adalah milik temannya, Syamsi Arif. Ia meminjam uang Rp. 150.000,- untuk dijadikan modal usaha dengan perjanjian laba yang diperoleh dibagi dua.

Pada suatu kesempatan, aktivis pers yang saat ini mahasiswa akhir jurusan Tafsir-Hadits Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) tersebut bercerita kepada orangtuanya mengenai rintisan toko itu. Diketahui modalnya bukan miliknya sendiri, orangtuanya lantas menyuruh mengembalikan modal yang dari temannya itu. Kemudian oangtuanya memberikan sedikit uang untuk meneruskan pengembangan usahanya.

Benar-benar nih orang!

Perbandingan Pendidikan Tinggi di Negara Serumpun



(Sumber: www.annuqayah.blogspot.com)

Guluk-Guluk—Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-Guluk Sumenep bukanlah perguruan tinggi favorit sekaliber UGM atau UI. Namun, komitmen untuk meningkatkan Pendidikan Tinggi (PT) berkualitas patut diacungi jempol.

Komitmen tersebut bisa dilihat pada seminar internasional dalam rangka kerja sama dengan Universiti Utara Malaysia (UUM). Bentuk kerja sama yang akan dilakukan berupa pertukaran mahasiswa dan dosen serta publikasi penelitian dalam bentuk karya tulis ilmiah.

Seminar Internasional bertajuk The Effective Learning for Obtaining Master and Ph.D in College or Universities: An Experience of Two Neighbour Countries mendiskusikan perbandingan PT di negara serumpun, khususnya di jenjang S-2 dan S-3. Sebagai pembicara adalah Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd, dosen Instika serta dosen pasca-sarjana di beberapa perguruan tinggi Indonesia, dan Ahmad Sahidah, Ph.D, dosen senior UUM.


Problem Akademik

Setidaknya ada tiga pilar utama fokus PT di Indonesia, yaitu berbasis mahasiswa, berbasis riset, dan berbasis filosofi. Akan tetapi, tiga pilar tersebut, menurut Dr. H. M. Afif Hasan, M.Pd, hanya sebatas diskursus di level pemegang otoritas PT karena komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi dosen sangat rendah.

Rendahnya komitmen akademik mahasiswa dan kualifikasi dosen, lanjutnya, dikarenakan beberapa faktor di antaranya karena pemerintah belum memberikan pengawalan, pengawasan, dan perhatian yang baik terhadap jalannya proses pendidikan.

Sementara Ahmad Sahidah, Ph.D menilai bahwa kualitas PT di Indonesia tidak jauh berbeda dengan Malaysia. Hanya saja, perhatian pemerintah terhadap PT lebih baik, baik di bidang infrastruktur, layanan pendidikan, perpustakaan, dan sarana teknologi.

“Malaysia akan gagal menjadi negara maju kalau hanya mengandalkan fasilitas. Saya katakan kepada mahasiswa saya bahwa maju itu ada dalam pikiran bukan dalam bentuk fisik,” ujarnya.

Ketua Ikatan Sarjana NU (ISNU) cabang Malaysia tersebut mengakui bahwa kerangka berpikir mahasiswa Indonesia lebih diunggulkan, sebab di Malaysia tidak ada jurusan filsafat. Namun, karena perhatian pemerintah terhadap PT sangat besar, meskipun jurusan filsafat tidak ada, ketersediaan buku-buku filsafat sangat lengkap. Selain itu, gaji guru dan dosen jauh lebih tinggi dibandingkan di Indonesia.

“Gaji dosen pangkat III-D di Indonesia hanya 5 juta rupiah sedangkan di Malaysia mencapai 30 juta. Profesor gajinya 50 juta. Itulah sebabnya mengapa saya lebih suka mengajar di Malaysia daripada di Indonesia,” tuturnya sambil tersenyum.

Jurnal Ilmiah

Fathorrahman Utsman, M.Pd, salah seorang peserta seminar membenarkan bahwa kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap guru dan dosen masih kurang.

Ia juga menyatakan rasa sakit hatinya di depan forum, yaitu ketika menerima surat edaran dari Ditjen Dikti tentang kewajiban menerbitkan karya tulis ilmiah di jurnal ilmiah bagi calon sarjana. Ia mengkritik surat edaran Ditjen Dikti yang memberikan alasan bahwa Indonesia kalah bersaing dengan Malaysia di bidang karya tulis ilmiah.

“Kenapa harus Malaysia? Bukan Inggris, Jepang atau Amerika,” katanya.

Di Malaysia, mahasiswa berkewajiban untuk membaca. Tanpa membaca, maka dianggap mengkhianati tugas sebagai mahasiswa. Sedangkan di Indonesia oleh Mendikbud ditambah dengan menulis. Tingkat kemampuan menulis di Indonesia lebih tinggi. Mahasiswa di PT Malaysia disibukkan dengan menghapal sehingga kreativitas menulis sangat minim atau bahkan “kering”. Di sinilah yang membuat Ahmad Sahidah, Ph.D bangga dengan pendidikan di Indonesia.

“Peluang kerja sama ini sebenarnya ingin memberikan kesempatan bagi para dosen untuk menulis di Malaysia baik menggunakan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa Arab. Itu akan bernilai Internasional kalau ukurannya ditulis di luar negara,” tuturnya.

Pendidikan yang Membebaskan

Indonesia adalah negara demokrasi. Itu merupakan modal sangat besar untuk mencapai kemajuan di bidang pendidikan. Kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat merupakan kemajuan pendidikan. Tetapi persoalannya, apakah kemajuan itu bermanfaat untuk mengembangkan wacana? Apakah kemajuan itu membebaskan?

“Di Indonesia tentu saja kearangka berpikir mahasiswa lebih hidup dan lebih demokratis,” ujar Sahidah.

Di Malaysia, mahasiswa berpikir dibayang-bayangi oleh ketakutan. Apabila salah bertanya atau mengemukakan pendapat akan mendapatkan sanksi. Malaysia maju tetapi menjadi semu karena masyarakatnya tidak bisa mengarahkan sendiri pokok pikirannya. Namun, karena sudah ada perubahan politik, kemudian pikiran-pikiran baru bermunculan, maka dunia kampus mulai dibebaskan dari panggung politik. Jika tidak dibebaskan, pemerintah yang sekarang akan dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan itu tidak baik bagi negara demokrasi.

“Jadi sekarang dinamika pemikiran mahasiswa di Malaysia sudah bagus. Kehadiran para dosen dari Indonesia diharapkan memperbagus pola pikir orang melayu,” pungkasnya.

Sebelum seminar berakhir, Ahmad Sahidah, Ph.D kembali menekankan bahwa kemajuan bukan diukur dari segi fasilitas, tetapi dari segi pemikiran. Pendidikan di Indonesia lebih unggul di bidang pemikiran. Oleh karena itu, tradisi menulis tetap harus dilestarikan.

Tuesday, April 3, 2012

Pagelaran Sape Sono' (Lotrengan)

salah satu tradisi/budaya masyarakat madura: pagelaran sape sono'











Sunday, April 1, 2012

Anak Celurit

(Dimuat di Sumatera Ekpress, 1 April 2012)

Kampung Blater. Di posisi di ujung Timur Madura. Seukuran tanah di Madura, tanahnya amat subur untuk ditanami. Tegalan bertumbuhan pohon pisang dan mangga. Selain siwalan, juga tak sedikit pohon nangka bisa ditemui di kampung itu.

Jika anda berada di sana, jangan sekali-kali ceplas-ceplos bicara. Bila salah bicara, secara suka rela ujung celurit akan menjadi kenangan terakhir hidup anda. Namun, jika bersikap adhap asor , mereka akan memperlakukan anda laiknya seorang raja; sebuah pelayanan yang terbaik!

Oh, ya, satu lagi. Kalau anda laki-laki, jangan pernah berbicara berdua dengan perempuan: perawan, janda, lebih-lebih yang bersuami. Resikonya besar! Berbicara berdua dengan perempuan berarti menantang maut. Angka tertinggi kematian di sana karena motif perselingkuhan.

Kampung itu berdekat dengan pantai. Tetapi orang sekitar lebih familiar menyebutnya kampung Blater; tempat orang angko , punya etos kerja tinggi, ramah tapi kerap naik darah, dan kerap berbuat onar bila ada mirammi , terutama remong. Kasak-kusuk luka-luka bacok sudah biasa menjadi penghangat secangkir kopi; di langgar, di warung, di pematang tegal dan sawah, pasar, tempat hiburan, rapat kampung, sampai rapat desa.

Seperti sebuah karma, kebiasaan itu akan terus diwarisi, berulang pada anak cucu sampai menjadi cucu dan cucunya cucu.

Celurit Takabuwan menjadi ciri khas mereka. Serupa nyawa, senjata tajam itu dibawa ke mana kaki berderap. Bukan orang kampung Blater jika tidak memunyai celurit, cetus mereka.
Lain perihal orang dewasa, tidaklah layak anak-anak bermain-main celurit sebelum menginjak usia lima belas tahun. Demikianlah perjanjian, telah digariskan bersama. Tidak boleh dilanggar!

Karena persoalan ini, Latipah menjadi bahan gunjingan. Ia dianggap gagal mendidik Tolais, anaknya. Saban hari anak itu tak lepas dari celurit. Ke sekolah bawa celurit. Ngaji bawa celurit. Bermain bawa celurit. Dan tidur pun lelap bersama celurit itu.

“Jangankan ngurus anak, ngurus keluarganya ndak bisa,” kata ibu-ibu memberi komentar.

“Ndak usah keluarga, ngurus dirinya ndak becus,” komentar yang lain.

“Masih mending senok itu diberi kesempatan tinggal di sini,” tak seorang pun membelanya.

Tubuh Tolais hitam dan dekil. Jalannya tegap dengan mata berpijar. Apabila ada orang yang memandang, sesungging senyum tidak berat untuk dilepasnya. Sayang, ketidaksukaan masyarakat—terutama ibu-ibu—kepada Latipah menghambarkan senyum tulus bocah itu.

Bapaknya, Muksin meninggal dua tahun lalu. Tewas di tangan Talhah. Peristiwa itu, menjadi titik mula kekaribannya dengan celurit, sebuah kesatuan yang utuh. Ia tak pernah melukai siapa saja. Tetapi akan mengamuk, melempar dan membanting segala di depannya jika ada yang mencoba memisahkannya dengan celurit itu.

Tak ada yang boleh bermain dengan Tolais. Anak itu sudah gila! Begitulah teror ibu-ibu melarang anaknya.

Di sekolah, Tolais menjadi bulan-bulanan para guru. Hukuman kerap dijatuhkan. Dijewer sudah. Berdiri dengan kaki tunggal sudah. Yang terakhir, mengancam untuk menjemurnya.

“Kenapa kau selalu membawa ke sekolah?”

“Takut dicuri, Pak,” tuturnya.

“Sama siapa?”

“Ya, sama orang.”

“Orang siapa?”

“Orang jahat, Pak,” katanya lagi.

Di mata kepala sekolah, persoalan itu tak menjadi soal. Tetapi, desakan dari wali murid dan beberapa guru yang tidak suka, terpaksa ia mempersoalkan. Boleh bersekolah asal tak bawa celurit. Larangan membawa sajam adalah salah satu kode etik sekolah yang harus dipatuhi.

“Saya harap ibu bisa mengerti. Membawa segala jenis senjata tajam ke sekolah adalah tindakan yang tidak diperbolehkan,” katanya ketika bertamah ke rumah Tolais.

“Dia ndak mau,” tegas Latipah.

“Ya, kalau begitu. Kami mohon maaf. Terpaksa untuk sementara waktu kami memberhentikannya,” kata kepala sekolah serupa pecut memecut ulu hati. Bagaimana caranya agar celurit itu bisa lepas? Itu yang segera dipikirkan. Segala cara sudah dilakukan. Ke orang alim, paranormal, sampai ke dukun tak mempan.

Barangkali alam bebas adalah tempat yang paling nyaman untuk belajar. Hanya tempat itu yang mau mengajarinya kehidupan. Menyabet rumput merupakan pelajaran yang paling menyenangkan. Kerapkali tawa Tolais berpacu dengan suara kambing mengembek saat di gembala. Tolais menemukan dunianya bersama kambing-kambing itu.

Rumah Latipah menghadap ke selatan. Pada bagian-bagian tertentu sudah nampak keropos; tabing sudah bolong-bolong, bagian bawah ke empat pilar utama rumah dimakan rayap. Di halaman ada pekarangan pohon pisang. Di sudut barat daya terdapat sumur yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari; masak, minum dan nyuci. Sedangkan kandang kambing di sebelah timur sejajar dengan rumahnya.

Menjelang petang, Latipah mengajarinya belajar membaca Alquran. Tolais tidak lagi ngaji kepada Haji Rais. Ada kabar, jika tetap ngaji di sana, orang-orang akan membakar langgar Haji Rais.

Lampu teplok meliuk tajam. Separuh wajahnya disembunyikan sinar itu. Kambing mengembek. Latipah menyuruh Tolais memberi makan kambing-kambingnya agar diam. Kemerisik pelepah nyiur beradu dengan tembang saronen dari kampung pesisir. Beberapa kali kilat menghentakkan pandangan, tapi tidak ada bunyi geluduk. Sepertinya, hujan akan menjambangi.

Seorang lelaki berbadan kekar datang. Jalannya timpang seperti malam itu. Udeng menyembunyikan dua telinganya yang besar. Hendak apa Mukriman malam-malam datang ke mari? Pikir Latipah. Ketidaksenangan merajut. Sepeninggal Muksin, kerapkali ia menjadi gagahan Mukriman. Bila tak menuruti atau sampai terdengar ke telinga orang lain, lelaki berkumis tebal itu mengancam akan menguburnya hidup-hidup.

“Sendirian, Man?”

“Ndak mengganggu, kan?” seulum senyum dilebarkan.

“Ndak,” dada Latipah mengencang. Sesak. Perasaannya timpang.

Latipah memanggil Tolais. Buru-buru anak itu lari dan bersalaman. Latipah sibuk mengatur diri agar tidak salah tingkah di depan anaknya.

“Tetap kau jaga amanahku?” kata Mukriman. Satu kaki ditekuk ke atas lincak.

“Iya, Man. Setiap hari aku mengasahnya,” jawabnya semangat.

“Bagus,” Mukriman menepuk pundak Tolais. Latipah tidak mengerti apa sebenarnya yang dibicarakan. Sementara, mata juling Mukriman terus menggoda.

“Apa maksudnya?”

“Apa anakmu pernah bercerita?”

“Cerita apa?”

“Apa kamu pernah bercerita?” tanyanya pada Tolais.

“Tidak. Kan, paman sendiri yang melarang.”

“Katakan apa yang kau ceritakan pada anakku?” desak Latipah.

Hujan sudah turun ketika Mukriman bercerita. Kilat mengkilap. Oh, betapa berat napas Latipah. Darah kental terhampar di matanya. Bau amis meruak. Tangan Latipah serasa memegang usus suaminya yang terburai. Latipah baru tahu kalau celurit yang selalu dipegang Tolais adalah sekep Talhah yang telah menewaskan suaminya.

“Biarkan anakmu kelak membalasnya,” kata Mukriman.

Tangan Latipah mengerat. Sorot matanya tajam, berkobar. Tak menyangka diam-diam Mukriman menanamkan bara dendam di hati Tolais. Ia merasakan dosa yang berlipat. Sebagai seorang istri ia telah gagal menjaga martabat keluarga. Kini ia dibayang-bayangi kegagalan mendidik anak. Nasib telah menyeretnya pada pusaran yang sama.

“Tolais anak kecil! Aku ndak mau kejadian itu terulang lagi pada keluargaku,” Latipah meninggikan suara

“Bukankah kau selalu menghianati suamimu?” bisiknya lembut.

Pintu rumah berderit dihempas angin. Lampu teplok pontang panting mempertahankan sinarnya. Kambing-kambing tidak lagi mengembek. Mungkin bulu tebal tidak terlalu kuat menahan dingin. Sebagai perempuan, Latipah merasa terhina. Kegagalan menjaga martabat suami serasa diungkit kembali.

Kalau saja sejak dulu Latipah menceritakan kedok busuk kakak dari suaminya itu sendiri, pasti peristiwa carok sedarah telah terjadi. Ia rela mengorbankan harga diri demi harga diri keluarga dari pihak suami. Mukriman telah menodainya jauh sebelum perselingkuhan dengan Talhah di dengar warga.

Bukankah Mukriman juga membantu Muksin untuk melenyapkan nyawa Talhah sehingga kakinya menjadi pincang? Benar, perbuatan itu hanya karena motif harga diri keluarga. Sebagai salah seorang blater ternama, tentu menjadi aib bila tidak mau membantu persoalan adiknya.

Gelap terus bergelayut. Mukriman memutuskan diri menginap. Tak mungkin hujan bisa ditembus. Sesekali ia mendehem, sesekali megedar pandang pada Ember, panci, dan kaleng bekas berserakan menadah air hujan dari atap bocor. Gemeretak gigi beradu kuat.

“Segeralah tidur,” perintah Mukriman.

Kemerisik pelepah siwalan diterjang angin menyorongkan getir. Kilat mengkilap, tak ada suarau guntur. Latipah tak segera tidur. Bayangan enam tahun silam, ketika dua bulan sebelum berstatus pengantin baru, menusuk ulu hati. Sesekali ia membuka kelambu. Memastikan tubuh ringkih itu tetap berada di tempatnya.

“Kau mirip pamanmu,” katanya memandang wajah Tolais yang tertidur pulas. “Dialah bapakmu,” ada air yang menetes. “Tak apalah, pantasnya kau jadi anak celurit, bukan anakku. Aku ndak pantas jadi ibumu,” katanya lagi.

Pagi berseri-seri. Tetes air jatuh dari rimbun daun siwalan. Aroma celatong menruak penciuman. Bertelanjang dada, para lelaki hilir mudik. Pergi tanpa alas kaki. Jalan-jalan kampung menjadi becek. Ibu-ibu menjemur seprei dan tikar yang sempat basah semalaman. Tolais membuka kandang dan menyeret kambing-kambingnya keluar. Hewan itu berdesakan hingga tempias air terpercik ke bajunya.

Ibu-ibu yang pergi ke sumur memandang sinis bila sedang mendapati Latipah di rumahnya. Bila tak ada, Tolais yang akan menjadi sasaran. Sentilan-sentilan kecil meruak di sumur itu.
Sentilan itu berhenti. Salah seorang dari mereka terjebak heran. Air sumur yang dituangkan dari timba tak biasa. Merah.***

Sumenep, November 2011 - Januari 2012

Ziarah

(Dimuat di Jurnal Nasional, 1 April 2012)

Mengunjungi kuburan adalah mengenang luka; segala kenangan menumpuk di batok kepala, berbuah sesal. Begitulah, setiap kali ibu angkat bicara perihal kebiasaannya, berziarah, setiap kamis petang. Mengapa harus luka dan sesal?

Tiba tempat itu, angin seperti menghadirkan ketenangan ke dalam tubuh yang kelihatan rapuh itu. Damai berikut nyaman. Mata ibu terpejam, diikuti ceracau tanpa suara, menyapa nisan-nisan bertuliskan nama orang yang sudah tak bernyawa itu. Sampai di manakah suatu perjalanan akan berakhir?

Aku di belakangnya, bersikap tenang tak bisa kulakukan. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat, persis yang digambarkan oleh guru ngajiku. Pada gundukan tanah berjejal rapi seperti sebuah tabung yang dipendam, batu nisan yang mirip sepasang alas sandal jepit itu menjadi pagar pembatas antara gerak alamiah dengan kenangan. Semilir angin yang membawa aroma kamboja. Angaknku tak bisa hilang dari bayang-bayang itu.

Perempuan di depanku tenang berdiri. Nampaknya sedang berbicara dengan batu-batu nisan. Membisikkan sesuatu yang dirahasiakan. Entahlah, apakah itu merupakan jalan sunyi sebagai penyebrang diri dalam upaya menembus sekat kegamangan atau hanyalah ilusi perjalanan hidup yang sempat terhenti karena napas.

“Mengapa mereka harus dikubur,” kataku mengumbar sunyi.

“Manusia diciptakan dari tanah. Sudah seharusnya mereka kembali ke asalnya,” katanya tenang. Sunyi lagi.

Adalah terjadi berulangkali setiap kamis petang ia mengajakku ke tempat ini. Mengapa orang mati harus selalu dikunjungi? Bukankah mereka sudah kembali ke asalnya? Hanya menunggu cacing-cacing tanah meleburkan tubuh mereka.

“Mereka masih menunggu peruntungan nasib dan kemurahan Tuhan. Apakah ditempatkan di surga atau di neraka,” katanya menambahkan.

Aku tak menemukan jawaban mengapa ia selalu mengunjungi tempat itu setiap kamis petang. Padahal, hari itu adalah waktu yang paling menyeramkan dan paling ditakuti oleh teman-temanku. Penghuni gundukan-gundukan itu akan bangkit. Jika malam tiba, bayangan kami juga bisa menjelma hantu karena ketakutan kami sendiri.

Tak lekang pembicaraan kuping ke kuping teman-temanku kalau pada malam Jumat, jika ada orang yang mati dibunuh, mati secara mengenaskan, atau mati dengan hal yang tidak wajar, maka dia akan datang menuntut balas. Jumat kliwon adalah perhitungan tepat bagi roh-roh itu. Hi… bulu kudukku merinding.

Di tempat itu, nyaris semua kuburan tanpa rias. Kuburan yang sudah berpuluhan tahun hampir tak kelihatan karena tertutup rumput liar. Rata dengan tanah. Ada pula yang sampai ambruk. Melihat kuburan yang ambruk, aku memegang tangan ibu seerat mungkin.

“Ibu, takut!” Ucapku hampir menangis.

Ibu hanya memelukku erat tanpa berbicara sepatah-dua-tigapatah kata pun. Dia terus menuntunku hingga sampai pada pekuburan yang katanya adalah kuburan keluarga kami.

“Ini kuburan kakekmu…”

Dan.

“Ini kuburan paman kakekmu…”

Lalu.

“Ini buyutmu, dan ini…”

“…adalah kuburan bapak,” kataku memotong bicara ibu.

Setiap kali berziarah, ibu selalu berucap demikian. Selanjutnya, ia pasti mengurai cerita-cerita haru perihal bijak hidup mereka. Seperti cerita para malaikat yang nyaris tanpa cela. Ketika sampai pada kuburan yang terakhir, kuburan ayah, ibu bercerita sambil berurai air mata.

Aku lahir terlambat ke dunia ini. Tak pernah mengenali rupa orang-orang yang selalu disanjungi ibu sebagai orang yang baik sejagat raya. Karena itulah aku tak pernah mengerti arti dari airmata yang menetes di pipinya.

***
Tak memiliki bapak adalah kenyataan yang tidak buruk-buruk amat. Buktinya, sampai saat ini ibuku tetap berdiri tanpa kekar seorang lelaki. Di rumahku, hanya ada tiga kisah: aku, nenek, dan ibu. Mereka berdua adalah laki-laki, hanya jenis kelaminnya saja menyerupai kebanyakan perempuan. Aku pernah mengajukan pertanyaan bernada permintaan untuk melepas status jandanya. Aku ingin memiliki bapak yang bisa dibanggakan. Seperti Ningsih yang bangga memiliki bapak berotot kekar atau Sumarni yang mengatakan bahwa kumis bapaknya seperti Sakera, kesatria orang Madura.

“Ibu hanya memiliki satu hati,” begitulah alasannya. Singkat!

Kamis petang, cerita indah tanpa cela dipastikan bertambah. Di samping kuburan bapak telah menggembur gundukan baru.

“Ini kuburan kakekmu…”

Dan.

“Ini kuburan paman kakekmu….”

Lalu.

“Ini buyutmu…”

Kemudian.

“…ini adalah kuburan bapakmu.

Pada gundukan tanah yang masih baru, di samping kuburan bapak, ibu menatap panjang. Air matanya tak bisa dipulangkan. Sama sepertiku. Baru kali ini aku merasakan kesedihan saat-saat mengunjungi tempat ini. Ah, kenapa baru sekarang?

“dan ini….”

“…adalah kuburan nenek,” aku segera memotong.

Ibu memelukku erat. Ada sesuatu yang belum tersampaikan. Ya! Dalam isak, ibu bertutur tentang nenekku. Aneh sekali, untuk kuburan terakhir ini aku tak datang terlambat. Bahkan aku pernah ngompol di pangkuan orang yang selalu mendendangkan dongeng-dongeng indah kerajaan babat Jawa sebelum mimpi memisahkan kami. Tetapi, cerita ibu membuatku seakan baru kemarin sore mengenali nenek.

Nenek! Seandainya kau dulu mengisahkan hidupmu saja dalam setiap pengantar tidurku, niscaya air mata ini tak banyak mengeluarkan sesal.

Kami memejamkan mata, menjaga kekhusukan doa agar melesat tanpa penghalang. Kamis petang ini akan menjelma menjadi malam Jumat manis. Kata orang kampung, Jumat manis adalah hari yang paling bagus dantara hari-hari yang lain. Entahlah, apa alasan mereka. Bagiku mereka hanya menafsirkan nama manis itu sebagai yang baik-baik.

***
Adakalanya akau berpikir bahwa seratus tahun lagi, dunia akan kosong tak berpenghuni, mengingat tempat ini semakin sempit dijejali mayat-mayat yang baru. Kehilangan adalah topik utama dalam kematian.

Tak jauh dari kuburan nenek, sepetak tanah kembali menggembur, membentuk gundukan cerita baru. Nahas. Tragis. Begitulah cerita akhir dari pemilik batu nisan—dari batu granit—bernama Rapiah bin Hasan, istri kepala kampung yang mati di ujung golok perampok, di rumahnya sendiri. Tragedi itu sekaligus menewaskan anak yang masih dikandungnya. Rapiah adalah wanita terkaya di kampung kami dengan gelimangan emas di kedua pergelangan tangan, kaki, dan lehernya.

Kuburannya diistimewakan, dipagari bambu-bambu runcing, didirikan tenda, dan dijaga ketat siang dan malam.

“Kenapa nenek tak dijaga seperti itu,” tanyaku.

“Apanya yang harus dijaga?”

“Tapi kenapa kuburan itu dijaga? Apakah hartanya dibawa?”

“Tidak! Kuburan itu dijaga hanya karena akan memberikan keberuntungan!”

“Keberuntungan?”

“Ya! Bayi itu bisa menghadirkan harta sebanyak yang kita mau,” sorot mata ibu terus menatap kuburan itu. Bulu kudukku bergeming. Membayangkan orang-orang kampung memperebutkan kuburan itu.

Benar! Desas desus perihal bayi itu menggema di seantero kampung kami, mengalahkan kabar perut yang sering kekurangan makanan. Banyak yang menginginkan bayi itu. Apakah dia tetap hidup meski sudah dikubur? Atau hanya ibunya saja yang mati, sedangkan bayi itu tetap hidup dari memakan daging serta meminum darah ibunya. Hi… aku teringat gerandong yang sering dikisahkan oleh nenekku saat aku tak segera tidur bila malam menua.

Ternyata tak memiliki apa-apa lebih nyaman ketimbang bergelimang harta. Kami sering kekurangan, tak setiap hari dapur bisa mengepul, sehingga tak pernah rumahku dirampok atau bahkan disatroni maling. Siapa yang mau mengambil tikus dan coro dari rumahku. Jika ada, silahkan!

***
Aku bukan hanya kehilangan cerita-cerita nenek, aku juga kehilangan aura ibu. Ya! kini ibuku sering melamun sendiri, menatap langit-langit rumah ketika pada malam-malam, atau hanya mondar-mandir di ruang depan mendendangkan tembang sunyi.

“Ibu, aku ingin kencing.”

“Ya, nak.”

Kami berdua beriringan melangkah ke luar rumah. Jarak sumur dengan rumahku sedikit jauh, harus menyalakan obor sebagai penerang. Tidak untuk malam ini, bulan dengan cahaya temaramnya serta langit yang bersih membuat malam itu indah. Menatap bulan, aku jadi ingat kisah nenek tentang Nyi Randhe Kasean, orang satu-satunya penghuni bulan. Dia akan turun jika bulan mencapai puncak kesempurnaan.

Suara-suara jangkrik bersahutan. Bunyinya serak. Burung-burung malam juga memeriahkan, tapi aku tak takut sama sekali. Keberadaan ibu dan cahaya bulan cukup menghilangkan rasa takutku.

Malam itu, wajah bulan berbeda dengan wajah malam-malam sebelumnya. Ketika remang cahaya itu jatuh di kelopak mata, aku menemukan kegelisahan di sana. Sepertinya ketika pas nenek pergi, tidak demikian wajah ibu menjadi sayu.

“Ibu,” sapaku.

Kami kembali ke rumah.

“Ibu rindu nenek?”

“Bukan hanya nenek, tapi semuanya. Sejak nenekmu meninggal, keluarga nenekmu sudah jarang datang ke sini.”

“Kenapa ibu tidak main saja ke rumah mereka, ibu tidak tahu rumahnya?”

“Keadaan yang membuat ibu tak bisa berbuat demikian,” aku mengerti apa yang dirasakan ibu. Biarlah, aku tak melanjutkan percakapan ini. Kami kembali ke rumah dengan tenang.

***
Pagi sekali, dapur sudah berisik oleh tingkah ibu. Tak biasanya, padahal pagi belum remang. Ayam juga lelap, belum padu berkokok. Api tungku memantul dari kelopak matanya. Silau. Sementara, keringat mengalir di sela-sela kerut muka dan leher ibu. Beberapa kali ia tersenyum sendiri. Sekali-duakali tertawa. Ops! Ada apa dengan ibu? Ia biasanya polos, tersenyum seadanya.

“Ibu,” kataku pelan.

“Cepat! Ambilkan piring! Sudah hampir matang,” Beberapa kali ibu menelan liurnya. Aroma masakan ibu memonyongkan hidungku. Menggoda. Segera aku laksanakan apa yang harus aku lakukan.

Mulanya, aku kira makanan yang warnanya bercak kehitaman karena gosong adalah beberapa irisan tempe. Aku salah! Itu daging! Hmm, liurku berontak, segera kuteguk sedalam mungkin.

“Kau tahu, inilah makanan yang membuat manusia bisa menjadi kaya. Jadi, kita sekarang sudah kaya,” tawanya kembali pecah. Aku tak mempedulikannya. Mulutku terlalu sibuk mengunyah daging itu.

***
Seperti biasa, seperti pula kamis petang ini, ibu mengajakku mengunjungi tempat itu, mengisahkan tentang cerita indah tanpa cela yang selalu dirangkainya. Sunset memerah seperti bara api neraka berkilat-kilat.

“Ini kuburan kakekmu…”

Dan.

“Ini kuburan paman kakekmu….”

Lalu.

“Ini buyutmu…”

Kemudian.

“…ini adalah kuburan bapakmu.”

Sementara itu.

“Adalah kuburan nenek,” potongku cepat.

Pada gundukan tanah di samping kuburan nenek, ibu menatap panjang. Kuburan itu telah ambruk. Mengapa kuburan itu bisa ambruk? Dan, dengan tenang ibu mengisahkan hilangnya penghuni kuburan itu serta orang-orang yang bisa kaya karenanya.

Melihat kuburan itu, aku memegang tangan ibu seerat mungkin.

PPA, 3.04 PM