Wednesday, November 23, 2011

Menulis Sampai Mahok!

(Majalah Infitah, XX.XII. 2011)

Kerapkali sahabat saya bertanya begini, “Bagaimana caranya menulis?” Pertanyaan itu sering membuat saya menelan ludah sebelum menjawab. Lalu, terkadang jawaban saya mengecewakan mereka. Saya tidak memiliki jawaban lain selain, “Ya, menulis.”

Kemudian muncul pertanyaan turunan, “apa yang bisa (harus) saya tulis?” pada jawaban dari pertanyaan ini, saya hanya bisa menepuk jidad, “Palang!”

Menulis bukanlah kreatifitas yang lahir secara instan. Butuh proses panjang untuk menjajakinya. Tentu, tidak bisa dalam seminggu seseorang sudah bisa menulis dengan baik. Kalau anda membaca kisah-kisah dibalik para penulis hebat, maka anda akan tercengang. Taruhlah misalkan Joni Ariadinata, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Cerpenis Indonesia, harus menunggu sampai karya—kurang lebih—ke seratus kalinya bisa dimuat di media massa. Atau jika tidak ingin jauh-jauh, tanyakan proses kreatifitas menulis pada sahabat anda sendiri yang anda anggap sebagai penulis. Saya yakin, prosesnya berdarah-darah.


Banyak orang menulis berhenti di tengah jalan. Mereka putus harap. Ada yang frustasi karena bingung kata apa yang harus ditulis pertama kali, ada yang frustasi karena tulisannya tidak selesai-selesai, ada yang berhenti karena tulisannya dijelek-jelekkan, sampai pada yang frustasi karena tidak pernah dimuat di media.

Maka dari itu, syarat utama menjadi penulis hanya dua, komitmen dan “tebal muka”. Seringkali orang-orang terjebak pada kata “penulis”. Bahwa penulis itu adalah orang yang karyanya pernah atau sering dimuat di media. Padahal tidak, seorang penulis itu adalah orang yang sering menulis.

Ada banyak manfaat bila kita menulis. Pertama, menulis dapat mengembangkan wawasan lebih cepat dan menguatkan ingatan lebih kuat karena menulis tidak bisa lepas dari membaca dan berpikir. Jika ada sahabat anda yang mengatakan sulit untuk menulis, tanyakan seberapa banyak ia membaca buku dan seberapa luas membaca keadaan. Kedua, membuka peluang pintu dialog untuk dituangkan dalam tafsir gagasan baru yang lebih baik. Sebagaimana yang diungkapkan Budi Darma, guru besar emeritus Unesa bahwa hakikat kreativitas adalah penemuan sambil berjalan. Karya akan terus hidup bahkan setelah penulisnya sudah meninggal. Ketiga, menulis bisa menjadi artis dan mendatangkan banyak uang! Pada wilayah ini, kita sudah bersikap pragmatis. Tak apalah, bagian ini hanya efek samping saja.

Di samping itu, menulis juga bisa membentuk dan mengubah cara pandang seseorang terhadap suatu persoalan dan juga bisa memengaruhi cara seseorang memandang suatu persoalan. Penulis ilmiah memandang persoalan dengan nalar pikir kritis dengan gagasan-gagasan “provokatif”. Seorang penulis fiksi memandang persoalan lebih nyeleneh (lembut?) lagi. Sebagai sastrawan, tentu diksi yang dipilih lebih intuitif.

Dalam tulisan Lan Fang, Adat dan Adab Menulis, rata-rata manusia mengucapkan 15.000-25.000 kata perhari. Pada orang-orang yang memiliki profesi tertentu, seperti salesman, marketing, pengacara atau politikus, bisa berkata-kata 2-3 kali lipat lebih banyak daripada rata-rata yang lainnya. Tetapi sedikit sekali manusia yang telaten mengumpulkan dan menyimpan kata-kata dalam bentuk abstraksi, mempertanyakan dalam pemikiran, dan menuangkan ke dalam bentuk tulisan.

Kita hidup dikelilingi oleh segerombolan kata yang keluar dari berbagai mulut. Lalu, kenapa masih banyak yang beralasan tidak bisa menulis karena tidak tahu apa yang harus ditulis? Jika anda tetap ingin menulis, ubah sikap dan cara pandang anda tentang penulisan. Bila anda memikirkan kesulitannya, maka anda akan mendapatkan kesulitan. Sebaliknya, bila anda merasa menulis itu mudah, maka anda akan merasa enjoy dengan pekerjaan itu.

As Laksana, kolumnis rubrik Ruang Putih Jawa Pos, membeberkan tiga rahasia menulis. Pertama, menulis setiap hari. Kedua, tetapkan berapa panjang tulisan yang akan ditulis. Ketiga, menulislah sampai kuota tulisan hari itu terpenuhi. Bandingkan dengan tiga rahasia menulis yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, yaitu “menulis, menulis, dan menulis”. Jadi, hemat saya, tidak ada jalan lain untuk bisa menulis dan menjadi penulis selain “Menulis Sampai Mahok!”

Carok

(Bangka Pos, 20 November 2011)

Aroma celatong merebak saat Muksin membuka pintu kandang. Tiga karung rumput cukup hari itu, baginya dirasa cukup untuk makan sepasang sapinya. Kulitnya hitam lebam, mengkilat, serta basah oleh keringat. Selepas menaruh sekarung rumput, ia menuju langgar, tempat paling nyamat merebahkan penat di siang hari.

Udara begitu bengis. Panas mengernyitkan dahi. Kemarau seperti terus memuai, membuatnya semakin kesulitan mencari rumput yang hijau. Dipandangi lekat udara yang meniup debu di taneyan lanjeng. Muksin merebahkan diri. Matanya menatap langit-langit langgar. Ia kepikiran perkataan Saman tempo malam. Namun sesaat, desiran angin yang masuk dari lubang-lubang tabing meninabobokkannya.

Baru saja ia terlelap, dari kejauhan seseorang datang memanggilnya berulangkali. Dursampat lari sempoyongan. Pemuda itu adalah sepupunya yang termuda dari tiga saudara.

“Ada apa, Pat?”

“Anu, Kang. Tadi aku lihat Mak Tip diganggu Talhah.”

Kabar itu serupa cambuk yang dilecutkan pada dirinya. Ternyata, desas-desus yang tersiar luas, dari kuping ke kuping, adalah benar. Sebagai suaminya, betapa Muksin merasa terhina atas kabar itu. Kelakiannya merasa diremehkan sekaligus dilecehkan.

“Di mana?”

“Di pertelon pedasan, Kang.”

Muksin sangat cemburu dan marah. Patek, umpatnya dalam hati.

Muksin tahu betul tabiat Talhah, blater yang amat disegani di desa sebelah. Ya, Muksin dan Talhah berbeda desa. Jarak rumah keduanya berkisar satu kilometer ke arah barat. Pedasan di pertelon itulah yang mempertemukan warga desa Jaddul dan warga desa Burangin. Di sana, terdapat sumber mata air besar yang biasa dipakai oleh dua desa tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan minum.

Tak mungkin Dursampat membohongi kakangnya sendiri. Apalagi persoalan keluarga. Istrinya jelas-jelas ketahuan main serong dengan lelaki lain. Dan kali ini, saksinya adalah sepupu sendiri. Jelas, ini penghinaan besar. Muksin semakin kukuh untuk melangsungkan carok dengan Talhah.

***

Latipah, istri Muksin memang terkenal dengan perempuan yang cantik. Lebih cantik ketimbang perempuan lain di desanya. Meski sudah dikaruniai anak laki-laki yang sudah berusia delapan tahun, serta hidup dalam kondisi tergolong miskin, kecantikannya tidak pudar. Ia nampak seperti paraben, berkulit putih, serta perangainya sering berubah dari keibuan ke kanak-kanakan. Tentu, jika tidak menikah muda di usia dua belas tahun, Latipah masih meikmati masa remajanya seperti kebanyakan gadis kota. Tetapi, sulit ada perempuan yang bertahan sampai usia dua puluh ke atas. Jika ada, pasti akan digunjing sebagai perawan tua.

Kemarahan Muksin tidak hanya tertuju pada Talhah. Bagaimanapun, perbuatan istrinya juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Bersukurlah Latipah karena Muksin tidak menyaksikan sendiri perselingkuhan itu. Jika sampai terjadi, perceraian bukan dianggap solusi yang tepat, hanya nyawa yang bisa menebus dosa karena telah melecehkan martabat seorang suami.

Latipah mengelak atas tuduhan itu. Katanya, tidak ada rekayasa pertemuan di padasan itu, hanya kebetulan belaka. Setiap menjelang siang, Talhah memang selalu mengambil air untuk minuman sapi-sapinya. Sedangkan Latipah, meski tidak setiap hari, menjelang siang, ia terbiasa bersiraman di sana.

Desas-desus tersiar cepat. Tak ada jalan lain kecuali melakukan penceraian kepada isrtinya. Meski Latipah sendiri tidak mengakui, malu yang dirasakan Muksin amat besar datang dari lingkungan sosialnya.

Tak ada jalan lain kecuali penceraian dijatuhkan!

***

Rencana carok dengan Talhah dimatangkan dalam pertemuan keluarga di langgar suatu malam. Sidang ini hanya melibatkan empat orang anggota yang dianggap sebagai tetua dalam nasabnya, yaitu kedua orangtua; Ke Malhum, kakeknya; dan Mukarrom, kakak kandungnya sendiri. Beginilah cara mereka bermusyawarah menyembunyikan rahasia keluarga.

“Hanya nyawa yang bisa menjamin bila berani mengganggu istri orang,” kata Mukarrom. Bapak dan kakeknya turut mengamini.

Setelah carok dilaksanakan, Muksin berencana akan memasrahkan diri kepada polisi. Jalan itu ditempuh bukan semata sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya, melainkan lebih kepada mencari perlindungan atas balasan carok yang akan dilakukan oleh keluarga Talhah jika nanti berhasil menumpasnya. Muksin juga meminta bantuan kakaknya melakukan nabang (sogok) kepada polisi untuk meringankan beban hukuman. Sedangkan anaknya akan dipasrahkan kepada bapak-ibu selama menjalani proses tahanan.
Satu hal yang membuat dirinya merasa tidak puas dengan hasil keputusan sidang. Ia kecewa karena harus melakukan carok dengan cara nyelep, menyerang Talhah ketika dalam keadaan lengah atau dalam keadaan tidak siap tempur. Muksin memaksakan kehendak menantang Talhah dengan cara ngongghei, mendatangi rumah Talhah dan menantang langsung di depan halaman. Perbuatan itu amat jauh lebih jantan ketimbang nyelep, karena akan disaksikan langsung oleh keluarga orang yang didatangi.

Sungguh, perbuatan ini memang dianggap pengecut, berani main belakang. Tetapi Muksin benar-benar harus mempertimbangkan saran Ke Malhum. Ia tahu betul kekuatan lawan. Kesaksian atas terbunuhnya Surahwi tujuh tahun lalu masih cukup sempurna. Selain postur tubuh yang lebih tinggi, ilmu bela dirinya dirasa belum sepadan dengan lawan yang akan dihadapi.

Sepak terjang Talhah di dunia blater tidak ada yang meragukan. Ia adalah ketua remo di desanya. Sering berbuat onar saat ada pagelaran remo atau mirammi desa. Tentu, sebagai ketua, ia sangat berpengaruh pada para blater yang lain. Meski Muksin juga diakui dalam dunia blater sebagai orang yang angko (berani), menumpas habis nyawa Karjo dengan tiga belas luka bacok, masih belum cukup padan kedigdayaan bela dirinya. Muksin tidak memiliki jaringan kuat seperti Talhah dari sesama blater. Maka dari itu, nyelep adalah perbuatan yang tidak buruk, demi keselamatan nyawa, asal sekali melakukan carok, ia harus sukses menumbangkan lawannya. Jika gagal, bisa jadi Talhah akan mengumpulkan banyak massa untuk menyerang balik.

“Aku punya kancah yang bisa membantumu, Cong. Ia punya mantra nylateng ,” ujar kakeknya.

“Kapan aku bisa menemuinya, Ke?”

“Bisa sekarang,” katanya tegas.

Muksin dan Ke Malhum bergegas menemui orang yang dimaksud. Hanya kakeknya yang tahu tempat itu. Pelepah siwalan jatuh menimbulkan bunyi kresek berbenturan dengan dedaun bambu. Mereka memasang siaga awas. Takut ada maling atau rampok menghadang. Setelah melewati pekuburan, keduanya tiba pada sebuah rumah yang hanya disinari oleh satu lampu teplok.

Pemilik rumah langsung menyuruh masuk, seakan sudah mengetahui maksud kedua tamunya.

“Hendak apa malam-malam datang ke mari?” cahaya lampu teplok tak mampu menjangkau separuh wajah orang itu.

Muksin mengurai tuntas kronologi musibah yang menimpa keluarganya. Dimulai dengan kasus Talhah yang membunuh Surahwi delapan tahun yang lalu. Persoalan itu diungkit karena Surahwi masih memiliki garis keturunan dengan keluarganya. Sebagai bagian dari keluarga, Muksin merasa memiliki “kewajiban” melakukan carok balasan. Lalu, ia menceritakan perselingkuhan istrinya dengan Talhah dan mengutarakan maksud untuk melakukan carok. Harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak oleh bajingan itu.
Lelaki itu menganggukkan kepala. Turut mengamini.

“Bagaimana, Ke?” kata Muksin saat tak segera menuai jawaban.

Lelaki itu mengusap kumis tebalnya yang memutih. Diajaknya Muksin ke dalam langgar di depan rumah. Sedangkan Ke Malhum tetap menunggu di ruang tamu. Meski demikian, kakek itu tahu apa yang sedang dilakukan kepada cucunya, mengaliri mantra ke dalam tubuhnya.

“Aku telah mengalirkan nylateng ke dalam tubuhmu, sekaligus membacakan nyepet ,” kata lelaki yang disebut kae itu.

Mendengar penjelasannya, ada rasa berbeda yang dirasakan Muksin. Nyalinya ingin bersegera memburu mangsa. Bila perlu, ia tidak akan nyelep, tapi ngongghei.

“Kapan bisa melaksanakan carok, Ke?” Muksin tak sabar.

Lelaki tua itu sedang menghitung-hitung jarinya. Mencari jawaban atas pertanyaan itu.

“Kamis pahing, menjelang manghrib.”

“Empat hari lagi?” Ke Malhum turut menghitung jarinya.

”Ya.”

Muksin ingin bersegera melakukan carok. Kalau perlu, esok pagi pun akan ia lakukan. Tetapi Ke Malhum mengingatkan cucunya agar tidak bersikap gegabah. Dalam perjalanan, beberapa kali Muksin menggeliakkan tubuhnya ke kanan, ke kiri, dan menyamping. Ia merasa tubuhnya menjadi lentur dan ringan, tetapi kuat dan bertenaga.

***

Hari yang di tunggu-tunggu datang. Matahari berjalan tak biasanya. Lambat. Muksin menimang-nimang celurit jenis takabuwan yang telah diasahnya berkali-kali. Ia menangkap potret dirinya di ketajaman celurit itu.

Matahari tak lagi beringas. Muksin sudah sampai pada tempat yang dipilihnya untuk nyelep Talhah. Biasanya Talhah melewati jalan setapak di tegalan itu saat pulang dari pasar sapi.

Benar! Orang yang ditunggu terpatri di matanya. Bara dendam tersulut. Darah membuncah. Amarah meledak. Celuritnya dipengang kuat-kuat, menunggu Talhah kian mendekat. Dari semak-semak ia terus mengintai lawanya.

Talhah tidak sendirian. Ada seorang lagi di belakangnya. Tapi Muksin tidak menggubris orang itu. Kamarahan sudah memuncak. Setelah lewat di depan persembunyiannya, mendadak Muksin keluar dan menyabetkan celurit pada punggung Talhah. Orang di belakangnya segera berteriak, menyadarkan bahwa nyawa kawannya sedang terancam. Sontak ia menghindar dari sabetan itu dengan menjadikan tali sapinya sebagai tameng. Tetapi, sabetan itu begitu cepat dan kuat mengenai di tangan kirinya. Darah mengucur. Jari tengahnya bergelantungan hampir lepas.

Talhah menyumpah serapahi perbuatan Muksin yang berani main selep. Mengatainya sebagai lelaki tidak jantan.

Patek!

Talhah mengeluarkan sekken dari balik punggungnya. Tanpa banyak cas-cis-cus, keduanya langsung adu kejantanan.

Di udara yang tak lagi bengis, debu-debu mengepul di antara tebasan celurit yang berayun tak tentu arah. Memamerkan kilatan singkat yang sempat tergores. Teriakan teriakan-teriakan lantang mengema. Meski ukuran celurit Muksin lebih besar ketimbang celurit Talhah, ia kereporan menandingi keblaterannya. Beberapa kali ia sempoyongan menghindar sebelum akhirnya berhasil membacok punggung Talhah.

Sadar lawannya terluka, Muksin berada di atas angin. Ia semakin beringas. Sekali tebas, menyemburlah darah dari perutnya sendiri. Talhah yang meringis kesakitan dengan gesit berhasil menghindar dan menebasnya tepat mengenai perut sebelah kiri. Muksin roboh. Genjatan bacokan Talhah semakin menjadi pada setiap inci tubuhnya. Nyawa Muksin melayang dengan tubuh terkoyak dan mata terbelalak memendam dendam. Ususnya terburai keluar bersamaan dengan anyir darah.

Talhah menjilat sisa-sisa darah yang menempel pada celuritnya, lalu meletakkan celurit itu di atas dada Muksin sebagai sombolisasi kepuasan dan kebanggaan atas kemenangan, sekaligus pengakuan bahwa dialah pembunuhnya.

Annuqayah, 11.12 PM

Thursday, November 3, 2011

Bakso Pak Oles

Makan sama lauk tempe saja, sudah makan seperti di istana kaisar Paus. Apalagi makan sama makanan seperti daging-daging hewan¬¬—pastinya, daging yang halal untuk dimakan. Seperti daging ikan, sapi, gulai kambing, opor ayam, dan yang lain. Mengimpikan harapan seperti itu, butuh kesabaran sangat besar agar bisa terwujud. Hanya bisa berharap pada orang yang bertamu dan membawa makanan lezat. Beli sendiri? Harus berpikir dua kali, bahkan berpikir berkali-kali mengubah selara makan sehari-hari; sambal terasi.

Namanya juga masyarakat sampah. Ya! Sampah memang harus dibuang. Saya lalu teringat kalimat dalam sebuah Novel Marabunta “Aku dilahirkan dari golongan sampah, tapi bukan orang yang berhati sampah”. Terbuang di keramaian mobil yang bunyi klaksonnya bertalu-talu. Tut…tut…tut…

Malam itu, Ada seorang bertannya pada Saya.

“Apakah mas tahu dimana diskotik di kota ini?”

Saya menjawab. “Tahu.”

“Yang mana tempat paling menyenangkan, Mas?”


Pertanyaan orang kekar bertato itu kali ini saya tak bisa menjawab. Meski saya banyak kenal beberapa tempat yang ia tanyakan, tak satupun yang pernah saya masuki. Saya hanya sering duduk di depan bar, menunggu orderan, itu saja. Mana mungkin bisa berjejel dengan para Pejabat, Birokrat, Saudagar, Bisnismen, atau yang lain, wong saya cuma orang rendahan. Orang yang mencari kenikmatan, duduk santai, diiringi alunan melodi-melodi neraka dan para bidadari yang selalu mengepakkan sayap indahnya. Jika bersama, mereka di atas, sedang aku di bawah memegang semir sepatu, mengelap sepatunya berulangkali sampai mengkilap. Itu pekerjaanku.

Dulu, dengan pekerjaan seperti itu, penghasilan yang saya peroleh sudah lebih dari cukup. Sudah bisa makan yang dirasa enak bagi orang-orang sampah, seperti saya. Kali ini, hukum yang demikian tak berlaku lagi. Seiring harga sembako yang semakin tinggi, ditambah menjadi seorang kepala keluarga, penghasilan yang hanya segelintir itu, tak cukup.

Apalagi persaingan semakin ketat. Banyak para penyemir sepatu bermunculan, seperti jamur dimusim hujan. Bocah-bocah yang seharusnya masih duduk di kelas, mendegar penyampaian guru. Kini, harus mondar-mandir menenteng kotak kecil, menawarkan pekerjaan pada mereka yang bersepatu kulit. Tas sekolah berganti kotak kayu. Dengan semangat, mereka mondar-mandir disekitar orang yang tak punya mata. Saya jadi tak tega melihat mereka. Saya putuskan untuk gantung semir dan mencari pekerjaan lain. Agak berat sih, mengganti profesi yang telah dijalani sekian tahun.

Apabila ada yang berkenan berkunjung ke rumah saya, caranya mudah sekali. Anda cukup turun di terminal kota. Selanjutnya, berjalan ke arah utara, sekitar 500 meter. Anda akan mendapatkan perumahan kumuh bercampur dengan limbah sampah. Di sudut barat daya, ada rumah berdempetan dengan pabrik tahu. Itu rumah saya.

Setelah sampai di sana. Saya sarankan pada anda, pakailah tissue. Sebab, yang akan anda dapatkan bukan orang-orang yang memakai dasi dan sepatu kulit, melainkan disambut oleh binantang-binatang kotor, menjijikkan; Kucing, Tikus, Kecoa, Lalat, dan Nyamuk. Datang tanpa mengetuk pintu. Rumahku menjadi pertunjukan circus mereka. Unjuk kebolehan. Seisi rumah bakal meriah jika mereka beratraksi. Apalagi, ketika musuh abadi itu (Kucing dan Tikus) bertemu. Piring, Panci, Wajan, dan perabotan lain akan amburadul. Ditambah sorak sorai istriku yang menyumpah serapahi binatang menjijikkan itu.

Jangan Anda memberi kesimpulan, saya tak pernah berusaha mencegah. Memberi aturan bagaimana cara bertamu yang baik. Tamu-tamu tak diundang itu berseliweran seenaknya saja. Sulitnya, saya harus membongkar istana—karena rumah itu harta yang sangat berarti—agar binatang menjijikkan itu tak lagi bertamu, setiap waktu. Hampir setiap senti gedung rumahku ada pintu untuk mereka. Bahkan, bagi binatang itu bukan pintu, melainkan gerbang besar.

Begitulah, kondisi rumahku, sangat memperihatinkan. Semua dinding dari kayu lapis, peninggalan satu-satunya Almarhum keluarga kami. Apabila musim kemarau, rumah itu tak bisa melindungi penghuninya dari terik matahari dan polusi. Selalu ada celah bagi sinar matahari untuk menerobos dan menggeledah isinya. Begitu pula dengan musin hujan, sama saja, hampir tak ada hambatan sama sekali menahan air masuk ke rumah. Atap terus menangis.

“Pak, kapan kita bisa memperbaiki rumah kita? Ya! Paling tidak, nyaman untuk dihuni,” ungkap istriku. Ada impian besar di matanya yang bening.

“Ayah, kapan kita kita punya rumah mewah? aku bosan di rumah yang seperti ini,” kata anakku.

Tak dapat saya pungkiri, kata itu menyinggung perasaanku. Namun, melihat kepolosannya dalam bertutur. Saya tahu, dalam benaknya tak ada maksud untuk melecehkan saya sebagai ayahnya. Saya tahu, memang semua ini adalah tanggungjawab seorang kepala keluarga. Mereka tidak salah. Bahkan mereka berhak untuk menuntut kenyamanan padaku. Semua salahku.

Malam ini, malam minggu. Saya mengajak anak dan istri saya berjalan-jalan di taman kota. Hanya berjalan-jalan. Itu saja. Tidak lebih. Lama tidak jalan-jalan seperti yang biasa saya lakukan, ketika anakku dalam dekapan. Sekitar tujuh tahun lalu, saat si buah hati belum dalam pangkuan. Masih ingat di benak, ketika menikmati hangatnya sajian bakso Pak Oles. Pada saat itu, musim dingin. jadi, sangat terasa betapa nikmat makan bakso panas pak Oles.

Saya dan istri saya membanyangkan, bunga indah di masa lalu. Saat aku bertemu dengannya di sini, di warung bakso Pak Oles.

Kala itu, ada orang kaya makan bakso dengan istrinya. Istrinya bunting—kira-kira hamil lebih dari hamil tujuh bulan. Menurut pengakuannya, sang istri ngidam makan bakso. Sebenarnya, ia tidak begitu suka dengan tempat itu. Demi si buah hati pertama yang masih dalam jabang bayi, ia rela berada di tempat yang tidak disukainya.

Saya mendapat orderan di malam yang dingin itu. Ia meminta saya untuk membersihkan sepatunya yang tak sengaja menginjak genangan air kotor. Saya tak menyiakan kesempatan. Meski malam sudah larut, kira-kira sudah jam sebelas lebih, saya mau pulang—saya tidak ingin membuang rezeki pemberian dari Tuhan. Aku layani permintaannya. Dia bertanya banyak tentang saya. Mulai pekerjaan, profesi, keluarga, sampai pada lika-liku kehidupan saya.

Sebaliknya, ia juga berbicara banyak tentang kehidupnnya. Pembicaraan kami semakin mencair dan mengalir tanpa bendungan. Ia bercerita, mengapa ia bisa sampai berada di tempat ini.

Berat rasanya menceritakan pada saya. Ada sedikit keraguan pada dirinya, pad diri saya. Mata itu berkaca-kaca. Seolah, akan menceritakan beberapa hal yang belum pernah dimuntahkan dari mulutnya.

”Istriku sedang hamil lebih tujuh bulan. Aku menunggu kehadiran buah hati pertamaku,” katanya dengan nada lirih. Mengapa seakan tak ada kebahagiaan dari cara bicaranya? Apa ia tidak suka?

“Bapak bahagia?” Entah kenapa, setelah saya memandang kacamata minus yang melekat di atas hidung mancungnya, pertanyaan itu muncul sendiri.

“Jelas, bahagia sekali.”

“Kalau begitu mengapa murung?”

“Ah masak.”

“Ya!”

“Mungkin, aku kelelahan menuruti segala permintaannya. Akhir-akhir ini, ia selalu minta yang aneh-aneh. Katanya, bukan dia yang minta, tapi bayi yang ada dalam kandungannya.”

Ia mengatur nafas sebelum melanjutkan.

“Yang paling aku heran lagi……” beberapa saat, ia memotong pembicaraan. Beberapa detik, jadi menit.

“Ia minta tambahan belanja. Tahukah kau berapa yang dia minta? Sepuluh juta perminggu.”

Gila! Saya belum pernah melihat orang hamil ngidam sampai segila itu. Sepuluh juta? Bagi saya, sudah bisa tidur dengan nyenyak. Buat perbaikan rumah yang hampir condong ke barat.

“Lagi-lagi, katanya bukan permintaannya,” Ia menambahkan lagi. “Tapi bayi dikandungnya.”

Saya membayangkan, belum lahir saja sudah minta sepuluh juta. Apalagi sudah lahir, pasti banyak korupsinya, atau jadi perampok.

“Bapak menuruti?” Ada rasa takut diwajahnya.

“Demi keselamatan anak pertama. Aku rela menuruti semua yang diminta,” katanya mantap. Katanya, ia sudah lama berkeluarga, Lima tahun, baru kali ini, Tuhan mengkaruniai anak.

“Bapak kerja dimana?” Aku tak harus bertanya seperti itu. Aku sudah menduga kalau pekerjaannya bukan pekerjaan biasa. Pakai jas, dasi, dan sepatu yang masih aku semir. Pasti ia baru pulang dari kantor.

“Kamu punya istri?” ia mengalihkan perhatian.

Saya tak menduga orang itu bertanya demikian. Memang, orang seusia saya mestinya sudah menikah dan punya anak

“Belum.”

“Mengapa?”

“Saya takut akan seperti istri bapak. Nanti istri saya meminta macam-macam,” aku sengaja menghiasi ucapan saya dengan tawa, agar terlihat seperti guyonan. Saya takut jika tidak demikian, ia akan tersinggung oleh ucapan saya.

Ia tertawa.

Sunyi.

Kemudian, istrinya memanggil penjual mainan. Yang dipanggil datang. Istrinya subuk memilih-milih boneka Barbie. Untuk anaknya saat lahir nanti, begitulah pengakuan istrinya. Ia pasti menginginkan anak perempuan. Boneka identik dengan anak perempuan.

Orang itu berbisik pada saya, ”penjual itu cantik, cocok untukmu. Pasti ia belum menikah.”

Lalu, ia menyuruh saya untuk berhenti menyemir sepatu dan menyilakan saya makan bersama. Saya menolak meski mau di traktir. Tapi, melihat kemauannya yang sangat besar, tak kuasa juga saya menolak.

Benar kata dia. Penjual mainan itu memang cantik.

Entah apa maunya lelaki ini. Ia juga menyuruh penjual mainan itu duduk, lalu makan bersama kami, ia ditraktir juga. Ada senyum yang mengembang di bibir laki-laki itu ketika saya dan penjual mainan saling tatap. Kemudian ia pamit. Sebelum lelaki itu pergi. Ia mengatakan bahwa bakso kami sudah dibayar.

Ia juga sempat bilang, “ Saya merasa rugi mentraktir kalian, jika kalian tidak sampai jadian.” Begitulah katanya.

“Ongkos semirnya, saya masih akan hutang. Kalau mendapatkan penjual mainan itu, saya akan bayar dua kali lipat. Ini kartu nama saya,” ia berlalu begitu saja setelah memberi tanda pengenalnya.

Mereka tersenyum sipu. Berlalu begitu saja setelah mengeluarkan selembar seratus ribu untuk membayar bakso kami.

"Sisanya untuk kalian berdua," begitu katanya.

Tinggallah hanya saya dan wanita penjual mainan itu. Saya agak gugup pertamanya. Namun, lama-lama rasa gugup itu hilang. Dan, dari bakso pak Oles, mengantarkan saya dan wanita penjual mainan ke pelaminan.

BUMI AL-SAEL, 2008

Perempuan Langit, I Love You!

(10 karya Faforit Cerita Pribadi Qultum Media, Jakarta 2011)

Cerita ini adalah sepotong kisah yang sempat saya tulis perihal perjalananku yang penuh trik-intrik dilematisasi. Kisah konspirasi cinta yang terjadi saat saya melakukan investigasi selama lima hari di Pasongsongan, salah satu kecamatan paling barat bagian dari Kabupaten Sumenep. Cerita ini menjadi penting untuk ditulis karena di tempat itu saya menemukan sejarah dan kisah tentang Perempuan Langit.

Perempuan Langit yang saya maksud bukanlah putri kayangan yang turun dari langit sebagaimana dalam cerita babat Jawa, bukanlah perempuan keturunan Dyaus di zaman India kuno, bukan pula bagian dari cerita Zeus dalam kisah peradaban Yunani, atau dalam bahasa latin yang dikenal dengan Jupiter (ouv-pater) yang kesemuanya adalah cerita-cereta tentang langit. Bukan. Dia hanyalah seorang cerpenis yang selalu menggunakan diksi atau metafor langit dalam setiap cerpen yang ditulisnya.

Namanya Atika Kamila. Dia dikenal dengan panggilan Perempuan Langit pasca cerpen saya yang berjudul Langit Tak Seindah Dirimu terbit di Radar Madura tanggal 2 Januari 2011. Tika—sapaan akrabnya—adalah santri Lubangsa Puteri. Dia sama-sama semester VI dengan saya di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika). Tetapi, saya baru mengenalnya saat mengisi pelatihan menulis fiksi yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Muda Iksaputra (AJMI). Acara yang berlangsung pada 18-19 November 2010 di Desa Prancak, Pasongsongan itu hanya diikuti oleh santriwati Ikatan Santri Pantai Utara (Iksaputra).

Sebelum pelatihan itu, saya hanya tahu dia sering menulis cerpen, sama denganku. Meski tidak kenal, saya sedikit tahu tentangnya karena saya sering berkomunikasi lewat tulisan-tulisannya. Saya selalu menyempatkan diri membaca cerpen-cepennya yang terbit di media. Sebenarnya, saya sangat ingin mengenalnya lebih jauh, paling tidak hanya kenal pada rupanya saja, itu sudah cukup.

Tahun 2010, saya menjadi editor fiksi di Majalah Muara. Tika mengirim cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan. Namanya ditulis dalam angka-angka 471124. Cerpen itu sangat bagus. Diksinya begitu kuat. Saya sangat suka. Tetapi saya sanksi; tidak dimuat, sayang cerpen itu terlalu bagus, jika dimuat orangnya takut salah. Jadi saya mengambil keputusan menyuruh kru putri untuk mencari tahu inisial tersebut. Ternyata, dugaan saya benar. Dialah pemilik cerpen Pangeran Langit dan Putri Awan, Atika Kamila!

Nah, Allah memberi saya kesempatan bertemu dengannya ketika mengisi pelatihan itu. Saya tahu, Tika berasal dari Pasongsongan. Santri asal Pasongsongan adalah bagian dari Iksaputra. Saya berkesimpulan bahwa kemungkinan besar Tika juga mengikuti pelatihan itu. Tak mungkin orang yang suka menulis cerpen melewatkannya, begitulah saya berkilah.

Pelatihan itu hanya diikuti oleh 24 peserta. Tata Ruangnya diformat dalam bentuk U. Pada awal pembicaraan saya berkata: Setahu saya di Lubri (Lubangsa Putri) yang suka menulis cerpen itu adalah Siti Khairiyah dan Atika Kamila. Saya berbicara demikian untuk memancing mereka menunjukkan Tika jika berada dalam forum itu.

“Ini kak, Atika,” kata mereka serempak.

Sontak semua peserta menunjuk satu gadis yang berada di tengah-tengah huruf U itu. Mukanya memerah. Malu. Tika menutup wajahnya dengan buku karena menjadi perhatian teman-temannya.

Oh, ini toh cerpenis yang namanya Atika, batinku.

Sejak saat itu, saya berada di atas angin. Salah satu misi saya berucap demikian adalah untuk “mendiamkannya” di dalam forum. Karena saya yakin, dialah yang paling banyak tahu tentang dunia kepenulisan daripada peserta yang lain. Nah, jika dia sudah di-skak mak, maka tak ada lagi yang perlu saya risaukan. Peserta lainnya hanyalah penulis pemula. Jujur, yang saya lakukan tidak ada motif mencari perhatianya.

Seminggu setelah pelatihan, di kantor redaksi Majalah Muara, saya berbincang santai seputar penerbitan dengan Ach Taufiqil Aziz, pimpinan redaksi majalah itu. Lalu, dia membuka folder pribadinya. “Ini bang, cewek saya. Cantik nggak?” dia menunjukan sebuah foto. Foto Atika Kamila.

“Cewek kamu, ya?”

“Bukan! Dia calon istri saya,” katanya nyengir.

“Calon istri?” saya sedikit kaget.

“He, nggak bang, bercanda. Tetapi saya sangat suka dengannya,” tuturnya santai.

Saya baru tahu kalau Tika menjadi pujaan hati sahabat terdekat saya. Acik—sapaan akrabnya—banyak bercerita tentang perasaannya pada Tika. Dia juga banyak bertutur tentang kehidupan gadis itu. Dari sahabat saya itu, saya banyak tahu tentangnya.

Lahirnya Perempuan Langit

Setelah saya tahu sahabatku mencintainya, saya berpikir bagaimana caranya untuk memudahkan dia untuk mendapatkan cintanya. Tetapi, rasa penasaranku untuk tahu mengapa Tika selalu menggunakan diksi langit masih belum purna. Maka, muncullah ide; mengumpulkan cerpen-cerpennya yang telah terbit dan mempelajarinya satu persatu.

Ada empat cerpen yang saya dapat: Pangeran Langit dan Putri Awan (Majalah Muara), Lukis Namaku di Kaki Senja (Antologi Tirta), Karena Langit Adalah Segalanya (antologi Iksaputra), dan Andromea; di Langitmu Aku Bercerita (antologi cerpenis Annuqayah). Semua cerpen itu memakai diksi langit.

Setelah mempelajari dengan seksama, muncullah ide di benak saya untuk menulis cerpen dengan diksi langit pula. Saya memilih judul Langit Tak Seindah Dirimu. Dalam cerpen itu, saya memasukkan unsur-unsur dasar ke empat cerpennya dengan harapan Tika bisa mengerti kalau cerpen itu saya persembahkan kepadanya. Saya ingin berkomunikasi dengannya via tulisan.

Aku sempat berpikir, jika langit yang dialamatkan oleh perempuan yang ingin kau sebut ibu itu hanyalah sebuah sketsa dari hati yang akan menyayangimu, maka akulah langit itu. Akulah orang yang selama ini kau cari. Langit telah mengutus gerimis untuk mempertemukanku denganmu di peron tua itu. Kau ingat kan?

Tapi kau tetap pergi dengan kerinduanmu. Tak pernah sekali saja berpikir bahwa langitmu adalah diriku. Harapan telah benar-benar membudakmu, sehingga kau tak pernah merasakan kasih sayang langit yang telah kau peroleh dariku. Sampai kapan kau akan mencari langit? Ah, ternyata langit tak seindah dirimu.

Muara Office, 2010

*) Persembahan pada Perempuan Penutur Langit


Dua paragraf di atas adalah penggalan terakhir dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu yang telah saya kirim ke harian Radar Madura (Jawa Pos Group). Saya sangat bersyukur cepen itu terbit!

Tetapi, rupanya Tika cukup terkenal juga. Pasca terbitnya cerpen itu, saya mendengar kabar kalau di Lubri geger. Mereka beranggapan bahwa saya memiliki hubungan khusus dengannya. Belum lagi sahabat-sahabati di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTIKA yang setiap waktu selalu memperbincangkan cerpen itu.

Saya menyesal telah mengirim cerpen itu. Pasalnya, hubungan saya dengan Acik sedikit meregang. Saya memaklumi, lelaki mana yang tak cemburu jika membaca cuplikan paragraf di atas. Belum lagi sahabat LPM yang mengolok-olok saya telah merampas Tika darinya. Saya, disindir sebagai pagar yang makan tanaman!

Saya sudah menjelaskan pada Acik bahwa cerpen itu tidak bermaksud apa-apa, hanya motif karya fiktif belaka. Saya juga mengatakan bahwa Tika adalah perempuan kelima yang saya hadirkan dalam cerpen saya. kelima cerpen itu adalah: Vita Agustin, cinta pertama saya yang saya tungkan dalam cerpen Ruang Sunyi*, Ryna Kustiana dalam cerpen Gadis Bayangan*, Ummul Corn calam cerpen Dialog Maya*, Duana Firdausiyah dalam cerpen Doa Dari Surga*, dan terakhir Atika Kamila dalam cerpen Langit Tak Seindah Dirimu*. Kelima cerpen itu telah terbit di harian Radar Madura.

Alhamdulillah, Acik memahami penjelasan panjang-lebar dari saya. Namun itu masih belum usai. Sahabat-sahabat LPM dan semua kru Majalah Muara masih selalu memanas-manasi saya ketika bersama Acik. Mereka selalu mengatakan bahwa saya pagar makan tanaman. Oh, tidak! Saya tidak mau itu terjadi…..

Sejak saat itulah, sahabat-sahabat LPM dan kru Majalah Muara mentasbihkan Tika sebagai perempuan langit.

Di Langitnya, Saya Disidang

Pada rapat persiapan pemberangkatan investigasi tanggal 27 Januari 2011, saya disuruh memilih dua tempat antara Kecamatan Ambunten dengan Kecamatan Pasongsongan. Pilihan saya jatuh pada kecamatan Pasongsongan karena saya belum pernah berkunjung ke sana. Kabarnya pula, rumah Ubed, sahabat yang akan berangkat dengan saya dekat dengan laut. Saya sangat suka sekali pada laut. Itulah mengapa saya tertarik untuk pergi ke Pasongsongan.

Namun, keputusan yang saya ambil menimbulkan banyak kecurigaan. Saya disangka ingin mencari tahu alamat Perempuan Langit. Meskipun saya banyak diklarifikasi, saya tetap berangkat. Tak peduli mereka berkata apa. Saya menanggapinya dengan gurauan saja.

Sore hari tanggal 29 Januari 2011, saya tiba di Pasongsongan. Saya putuskan hari itu untuk tidak memulai pekerjaan saya. Yang saya lakukan hanyalah berjalan-jalan di pinggir pantai. Saat tiba di pelabuhan yang baru dibangun, Ubed menunjukkan saya pada sebuah rumah berpartisi biru langit dan berlantai dua. Rumah yang berdiri di bibir pantai.

“Itu bang, rumah Perempuan Langit,” ungkapnya.

“Besar juga rumahnya!”

“He, nggak juga. Gedung berlantai dua itu adalah musolla. Ayahnya adalah guru ngaji.” Saya baru tahu kalau ayah Perempuan Langit adalah seorang guru ngaji. Muridnya sangat banyak sehingga santri putra dan putri harus dipisah; untuk putra di lantai bawah dan putri di lantai atas.

Esok harinya, tanggal 30 Januari 2011 pukul 09.37 WIB di desa Mandala, saya menerima telpon dari Perempuan Langit. Dia mengata-ngataiku dari A sampai Z. Dia juga sedikit berbagi cerita ketika cerpen saya itu terbit. Bahwa dia sempat menangis karena tidak kuat menahan ejekan dari teman-temannya. Saya hanya menanggapinya dengan senyuman walau sebenarnya saya sangat prihatin atas kisah yang dia tuturkan. Saya merasa amat berdosa padanya. Tika, maafkan saya….

Lalu, tiba-tiba dia menitip pesan pada saya untuk menyampaikan pesan itu pada orang tuanya. Jadi, saya memberanikan diri bertandang ke rumahnya meskipun resiko yang akan saya tanggung amat besar; jika sahabat LPM tahu saya pergi ke rumahnya, maka tamatlah riwayat saya. Pasti peristiwa ini akan menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Benar! Entah dari mana isu itu merebak, sehari setelah saya bertandang ke rumah Perempuan Langit, pada tanggal 31 Januari 2011 tepat pukul 20.45 WIB di depan rumah Ubed saya disidang. Riyadi dan Fathol Alif yang bertugas di kecamatan Lenteng dan Manding datang. Acik dan Sauqi yang bertugas di Ambunten dan Dasuk turut hadir menyidang saya. Ada enam sahabat LPM pada malam itu. Riyadi sebagai hakim, saya sebagai terdakwah, Acik sebagai penuntut, Fathol, Sauqi, dan Ubed sebagai saksi. Saya dicerca dengan banyak pertanyaan yang intinya bahwa diam-diam saya telah menusuk sahabat saya bukan hanya dari belakang, tetapi dari depan. Jelas saya sangat jengkel dituduh demikian. Mereka hanya asal tuduh, tak pernah percaya dengan yang telah saya jelaskan.

“Bung, cobalah bersikap jujur, kita sudah dewasa. Apa benar kau mencintainya?” kata Riyadi.

“Ya, bang, biar semuanya jelas. Jika benar demikian, maka saya akan relakan dia untukmu,” ungkap Acik polos. Kata-kata itu mengalir amat sederhana, tetapi amat membanting perasaan. Hati saya hancur. Yang saya pikirkan hanyalah bagaimana perasaan Acik ketika berucap demikian. Saya tahu, ada unsur keterpaksaan dia berkata demikian. Hatinya pasti amat sakit.

Kemudian saya menjelaskan ulang bahwa saya pergi ke rumahnya diluar kehendak saya. Seandainya Perempuan Langit tidak menyuruh, niscaya saya tidak akan pergi ke rumannya.

“Jadi semuanya sudah jelas, Perempuan Langit secara tidak langsung lebih memilih Fandrik daripada Acik,” ungkapnya pada peserta sidang. “Untuk Acik, saya tahu, memang berat untuk melupakan seorang wanita yang amat kita cintai. Tetapi, jika kenyataannya sudah demikian, kamu harus melepasnya. Ini demi kemaslahatan persahabatan kita bersama,” kata Riyadi menyimpulkan hasil sidang.

“Ya, kak! Saya akan berusaha menerima kenyataan ini,” katanya pelan. Lantas tidak ada lagi kata yang terucap dari bibirnya. Diam dalam kebisuan.

“Jadi, yang memenangkan perkara ini adalah Fandrik,” katanya menutup persidangan.

Bagi saya, kemenangan itu tak ubahnya petaka. Kesimpulan sidang itu telah meluluhlantakkan hati saya. Hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, saya telah menghancurkan mimpi sahabat yang telah saya anggap sebagai kakak kandung sendiri. Saya merasa banyak berdosa telah menerbitkan cerpen itu. Pantaslah jika pagar makan tanaman disematkan pada saya…!

Malam itu, saya benar-benar tidak bisa tidur. Saya selalu terbayang pada Tika-Acik-Tika-Acik-Tika-Tika dan Tika. Entah mengapa, dilain hati saya sempat berpikir, ketika sering memikirkan Perempuan Langit, saya merasakan bahwa di hati ini telah tumbuh benih-benih cinta. Benih itu tumbuh subur lantaran saya selalu dirudung kegelisahan pasca persidangan itu. Sempat juga saya merenung, mungkinkah saya telah jatuh cinta pada Perempuan Langit sejak pandangan pertama? Tetapi, saya tidak pernah menyadarinya.

Sejak persidangan itu saya sering memikirkan Perempuan Langit. Wajahnya selalu hadir dalam setiap kesendirian saya. Oh, tidak, saya sudah tidak bisa menafikan cinta ini. Tetapi saya tidak ingin benih-benih cinta ini tumbuh subur yang akhirnya hanya akan menjadi boomerang yang akan membumihanguskan persahabatan saya dengan Acik.

Jika ada orang yang bertanya bagaimana perasaanku saat ini, saya akan menjawab, saya selalu gelisah. Jika ada orang yang lebih spesifik lagi bertanya bagimana perasaanku pada perempuan langit, maka saya akan menjawab saya suka padanya, saya mencintainya. Tapi, tidak pernah ada kata HARAP Perempuan Langit mencintai saya juga atau bahkan membalas cinta saya, karena saya jatuh cinta pada gadis yang salah...!

Saya lebih tenang dan bahagia bila Perempuan Langit memilih Acik. Meskipun saat ini saya telah jatuh cinta padanya. Saya yakin bisa membunuh cinta ini. Haya satu yang saya inginkan, Perempuan Langit tetap menjadi sahabat terbaik saya, sama halnya persahabatan saya dengan acik. Persahabatan ini tak bisa ditukar dengan apa pun. Jika ada orang yang tidak percaya bahwa kata-kata lebih tajam ketimbang belati, maka perkenankanlah orang itu barang sejenak untuk membaca kisah saya ini…

Rumah Cerita, 12:34 AM

Keterangan: * Selengkapnya baca di blog saya www.rantingcahaya.blogspot.com