Saturday, October 29, 2011

Pemuda dan Tantangan Globalisasi

(Refleksi atas hari Sumpah Pemuda)

-Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, tanah Indonesia.

-Kami poetera dan poeteri indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

-Kami poetera dan poeteri indonesia mendjoendjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Euforia heroik hari lahir Sumpah Pemuda masih tetap kita rasakah hingga saat ini. Dengan semangat nasionalisme yang luar biasa, mereka mempertahankan tanah kelahiran tercinta. Ketika kebanyakan orang asyik dengan diri sendiri, mereka tampil di barisan terdepan dalam kesatuan aksi pembaruan. Lalu menggemalah sumpah setia pemuda Indonesia; satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.


Itulah awal mula eksistensi gerakan sadar pemuda negara ini. Semangat patriotisme telah bangkit. Keterpurukan yang diakibat oleh penjajahan tak bermoral menyatukan semangat mereka berjuang sampai pekik suara terakhir dan tumpah darah penghabisan. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa dalam lintas sejarah gerakan pemuda Indonesia.

Namun, pemuda masa kini memiliki tantangan lebih kompleks dibanding dengan era tahun 1928 atau 1945. Jika dulu semangat patriotisme pemuda diarahkan untuk melawan kolonialisme, kini semangat nasionalisme diposisikan secara proporsional dalam menyikapi aneka kepentingan yang mengancam keutuhan negara. Sementara tantangan terbesar di abad modern ini adalah dehumanisasi moralitas bangsa yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi yang ditenggarai oleh percepatan arus teknologi, informasi, dn komunikasi. Globalisasi telah merongrong komitmen pemuda akan masa depan dan cita-cita bangsa dan negara.

Ada sosok-sosok pemuda yang idealis, yang mencoba merealisasikan idealismenya ke ranah tatana sosial guna mengaplikasikan diri sebagai prokmator perubahan (agen of change). Pemuda seperti ini memainkan peran nyata di tengah-tengah publik yang akan terus dinantikan kehadirannya. Sebaliknya, ada pula sosok-sosok pemuda yang loyo dan pemalas, yang tergerus oleh efek dari perubahan zaman. Pemuda seperti ini hanya menjadikan dirinya sebagai bagian dari penyakit sosial; mabuk-mabukan, nge-fly, berjudi, tindak kriminal dan lainnya.

Pemuda sebagai pewaris masa depan memiliki peran penting dalam menghadapi arus globalisasi. Paling tidak ia harus memiliki pemahaman yang baik dan benar akan hakikat dan makna globalisasi, berikut manfaat dan mudharatnya. Disamping itu, kepandaian dan kecerdasan pemuda dalam menyikapi dan memerankan diri di tengah arus globalisasi menjadi kesadaran mutlak yang harus dimiliki sehingga tidak terjerumus pada ranah pragmatisme.

Pemuda dewasa ini diharapkan tetap berpegang teguh atas keyakinan dan idealisme sebagai manusia yang berbangsa dan beragama. Kecenderungan dalam menyikapi dan menentukan pilihan, tidak lepas dari bagaimana pemuda mampu memposisikan diri. Disinilah akan terjadi pergulatan bagaimana pemuda bisa menginterpretasi nilai-nilai humanitas sebagai bentuk konfrontasi dari dehumanisasi serta mengaktualisasikannya secara tepat-guna.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi pijakan pemikiran pemuda. Pertama, inspirasi heroik masa lalu harus menjadi landasan filosofis yang menginspirasi peran pentingnya dalam membangun bangsa; kedua, mengubah paradigma negatif menjadi positif-progresif dalam kaitannya dengan kondisi dan situasi zaman yang terus dinamis dengan memandang globalisasi sebagai peluang, bukan ancaman; ketiga, dukungan pemerintah dan para stake holder untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi pemuda untuk selalu menciptakan kreasi baru. Daya kritis dan energi positif tidak boleh dijadikan penghambat, melainkan akselerator masa depan.

Pada akhirnya, ungkapan Soekarno “Berikan Aku Sepuluh Pemuda, Niscaya Aku Akan Aku Mengubah Dunia”, menjadi sebentuk apresiasi masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan selalu menggema. Sejauh peran pemuda diapresiasi dengan baik, daya cipta mereka diberikan ruang gerak yang luas, dan menjadikan diri mereka sebagai subjek, maka sejauh itu pula pemuda akan selalu menjadi bagian penting dari sejarah kebangkitan bangsa ini.***

Sunday, October 23, 2011

Mengenal Perampok Pasar Pendidikan

Anda pasti tahu bahwa perampok kata dasarnya adalah rampok. Anda akan mengilustrasikan ke dalam ingatan anda bahwa sosok itu bertampang seram, brewok, ada luka gores di bagian tubuhnya dan lain sebagainya. Cesare Lombroso mengakui telah menemukan ciri-ciri perampok ketika meneliti tengkorak Vilella, perampok terkenal di Italia.

Dengan gamblang ciri-ciri perampok menurut penelitiannya, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya L’uomo delinquente alias Manusia Penjahat (1876) sebagai berikut: memiliki rahang yang luar biasa besarnya, tulang pipi yang tinggi, ada tonjolan melengkung pada alis, mempunyai garis-garis yang tegas pada telapak tangan, rongga mata yang sangat besar, telinga berbentuk gagang wajan, penglihatannya sangat tajam, memiliki kegemaran menato tubuh, memiliki kesukaan terhadap pesta gila-gilaan, dan keinginannya kepada harta sungguh tak tertahankan.

Pendapatnya masih sangat berpengaruh sampai sekarang. Lihatlah, ketika anda melihat adegan film-film aksi, dari kisah klasik cerita kerajaan babat Jawa sampai film aksi modern Rambo, Andi Lau, Jacky Chan dan film lainnya. Tokoh yang diperankan oleh si perampok tidak akan jauh berbeda dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, paling tidak berwajah seram. Apa disengaja? Tentu. Itu dilakukan karena memang ingin membedakan antara yang dirampok dengan yang merampok.

Lantas bagaimana dengan para perampok pendidikan? Apakah juga mengikuti ciri-ciri yang telah ditulis oleh Lombroso? Tentu berbeda. Perampok pendidikan berbeda dengan perampok di jalanan. Sebagaimana orang yang terdidik, tentu ia lebih condong menggunakan akalnya daripada kekuatan. Ia lebih suka bermain di belakang layar orang-orang yang bodoh. Wong namanya orang terdidik.

Jika saya bertanya kepada anda, apa syarat menjadi guru? Saya yakin jawaban pertama anda adalah orang itu harus pintar atau cerdas. Kemungkinan jawaban lain, harus sarjana. Saya sepakat dengan jawaban yang pertama, tetapi saya kurang bersepakat terhadap jawaban yang kedua. Mengapa? Banyak masyarakat yang lebih memilih jalan menjadi guru sebelum ditetapkan menjadi guru. Tak peduli dengan tingkat pendidikannya seperti apa, yang penting mengajar duluan, lah. Masalah syarat-syaratnya, itu agenda sepersekian. Yang penting mengajar, dapat gajian, baru buat modal sertifikasi atau kuliyah lagi melalui jalur “patas”.

Ah, saya hanya pelajar yang “kebetulan” mengambil jurusan di bidang pendidikan, jawaban yang paling kongkrit bisa anda tanyakan sendiri pada guru atau pengamat pendidikan, apakah itu termasuk perampok pendidikan atau bukan? Menurut saya, terlalu dini untuk memfonisnya.

Sebenarnya sekarang ini, perhatian pemerintah sangat besar terhadap dunia pendidikan. Ada Bantuan Operasional Sekolah/Madrasah (BOS/BOM), SPP gratis, tunjangan fungsional guru, tabungan pendidikan bagi siswa yang berpestasi, beasiswa, sampai pada bantuan infrastruktur sekolah yang kesemuanya diambil 20 persen dari anggaran APBN dengan tujuan meminimalisir jumlah anak yang putus sekolah. Namun sepertinya anggaran itu tidak cukup untuk meminimalisir—kalau menghilangkan tidak mungkin—jumlah anak yang putus sekolah. Hanya “pasar” baru tercipta.

Ternyata, untuk membuat “pasar” di bidang pendidikan (dengan seabrek dana yang ada) sangat mudah. Modalnya sedikit hasilnya banyak!

Baik, sampai di sini anda sudah memasuki pasar. Interaksi jual-beli pendidikan terjadi di sana. Karena pasar pendidikan, maka anda harus berpenampilan sebagai orang yang berpendidikan, meskipun anda adalah perampok. Ganti dulu senjata tajam anda dengan spidol. Tebalkan dulu bedak anda agar goresan di muka anda tidak kelihatan. Lalu, berdasilah dan berjalan ke pasar. Saya sarankan, anda jangan berjalan seperti gaya pak SBY. Kata budayawan Sujiwo Tejo, jalannya pak presiden penuh kebohongan yang mudah dilihat oleh orang lain. Berjalanlah seperti biasa. Santai. Bila perlu, tirulah gaya berjalan dan logat bicara orang jepang, karena sulit anda mendapati gaya berjalan seorang guru seperti itu, apalagi guru PNS. “Gak usah buru-buru, gaji tetap cair,” begitulah senyumnya berbicara.

Lakukanlah segera transaksi pendidikan anda jual-beli dengan orang bermodal. Awas, hati-hati! Penampilan anda sama seperti mereka, bisa jadi sama-sama perampok. Setelah sukses melakukan negosiasi, maka bersegeralah pergi, jangan sampai membuat keonaran. Lho, bukankah perampok itu berhubungan erat dengan tindak kriminal? Kalau begitu penipu, dong?

Anda orang berpendidikan, bung! Begini, perampok tak jauh berbeda dengan penipu, sama-sama merugikan orang lain. Bedanya, perampok itu kelas bawah alias hanya punya otot, sedangkan penipu itu kelas atas alias kerja pakai otak. Ingat, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa anda adalah perampok yang berpendidikan! Jika anda memaksa bahwa perbuatan itu tetap penipuan, maka argumen saya untuk menyebut anda perampok bahwa tindak kriminal yang anda lakukan adalah menyengsarakan anak didik! Perspektif pribadi, saya lebih memilih menelantarkan mereka di jalanan dengan status anak yang tidak mengenyam pendidikan sekolah daripada bertanggungjawab tetapi kemudian menyengsarakannya dengan permainan yang anda lakoni tadi.

Di pasar itu anda akan banyak menemui tenaga pendidik yang mengajukan proposal yang dipermak sedemikian rupa, menggoda guna mencairkan dana yang ada. Tak sedikit lembaga sekolah yang mewanti-wanti siswa atau muridnya untuk membeli buku paket pelajaran. Alasannya supaya praktis dan efisien, dan merata (karena semua siswa harus membeli?). Atau memberi hukuman (punishment) dengan membayar denda bagi siswa yang kena perjanjian, satu mata pelajaran seratus ribu, misalkan. Atau juga barangkali menarik sumbangan sebesar-besarnya pada awal masa penerimaan siswa baru. Sayang, kan, jika pendafratan digrastiskan!

Anda tahu, pendidikan kita saat ini adalah terburuk se-ASEAN di bawah Kamboja. Pada bangsa ini kita masih memilik rasa “bangga” karena ada yang mengalami nasib yang lebih buruk. Tapi, secercah harapan masih kita miliki selama Menteri Pendidikan Muhammmad Nuh bersikap seperti Nabi Nuh, selalu menyerukan kebenaran dan tak pandang bulu, meski istri dan anaknya tetap membangkang. Amien.

Tuesday, October 4, 2011

Pemburu Matahari

(Minggu Pagi, 09 September 2011)

Kata orang, sahabat nelayan adalah matahari. Tanpa cahayanya, hidup mereka susah, karena mendung akan membuat badai. Tentu, mereka turut cemas karena tak akan menuai panen. Ikan-ikan akan cepat membusuk, sulit diawetkan. Kulit mereka yang hitam dan kering semakin mentahbiskan pernyataan itu memang benar adanya. Seringkali mereka disebut pemburu matahari karena mereka akan mengejar matahari ke tengah laut jika petang tiba dan baru akan kembali keesokan harinya untuk dipersembahkan kepada istri-istrinya sebagai tanda cinta, yang semalaman tidur sendirian dan yang telah telah mengimpikan jatuh dipelukan.

Begitu keraskah hidup di tepi laut?

Sampai di kampung nelayan, tempat dimana aku menghirup udara dunia pertama kali, aku terkagum melihat keindahan pantai yang lama kutinggalkan. Pohon Cemara Udang berjejel rapi di pinggir pantai membentuk garis-garis indah. Daunnya terserat angin, seperti rumbai-rumbai sutera, mengundang kenangan. Perahu yang ditambat di sepertiga pantai menggodaku berlayar dan bersenandung Ole Olang. Rumah-rumah nelayan begitu sederhana, berjejel, dan menghadap ke laut turut menebar kesan istimewa. Panorama yang bagiku sulit mencari padanan kata untuk mendeskripsikannya. Tentu, pemandangan ini bukan sesuatu yang asing lagi bagiku. Tetapi kerinduan tetaplah kerinduan: semakin lama berpisah, semakin mesra saat berjumpa. Ya, begitulah yang dikatakan si raja dangdut, Rhoma Irama. Dan, begitulah perasaanku kini.

Aku ingat kisah yang sering nenek ceritakan saat aku masih kecil. Cerita-cerita yang selalu menjadi pengantar tidur anak-anak nelayan. Bahwa kehidupan kami tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak ikan di laut. Mereka akan terus bersama, saling melengkapi dan melindungi. Lihatlah, sulit mencari rumah nelayan yang bertolak belakang. Tak ada diantara kami melaut berangkat sendiri. Mereka akan membentuk kelompok-kelompok kecil lalu hasil tangkapan ikan akan dibagi sesuai kesepakatan. Tapi sayang, kisah itu tak bisa kulanjutkan kembali. Kisah itu yang terakhir kali kudengar sebelum nenek terlelap dalam sebuah tidur yang amat panjang.

Pada pengujung musim hujan ini, kusempatkan diri kembali ke kampung halaman setelah hampir lima tahun kutinggalkan. Kebetulan, skripsiku sudah selesai, tinggal menunggu munaqosahnya. Sejak lulus SMA dan melanjutkan kuliah ke Jogjakarta, inilah kali pertama aku kembali ke Sumenep, kabupaten paling timur di Pulau Madura, tempatku dilahirkan. Sengaja memang aku tak pernah pulang. Aku ingin melepas kerinduan diwarnai dengan derai haru bahagia. Kerinduan yang bercucur menjadi air mata, katanya sangat indah seperti mutiara di tengah lautan.

Berdiri setelah sekian lama pergi, rasanya tak ada yang berubah. Kampungku seperti sedia dulu. Jalanan aspal berlubang membahayakan, kerikil-kerikil itu mudah terlepas. Apalagi bau amis sudah menjadi bagian dari “gaya hidup” mereka dengan gaya khas tarik suara lantang karena angin dan ombak telah mengajarkan mereka bagaimana bersikap tegap dan tegas menjadi seorang nelayan.

Aku mesti melewati Pasar Pao, salah satu tempat interaksi jual-beli antara nelayan dan tengkulak ikan di kampong kami. Pasarnya cukup ramai. Bau anyir ikan di pasar itu memaksaku menutup hidung. Pasar itu didominasi kaum perempuan. Ketika para lelakinya pergi melaut, kampung nelayan tak ubahnya kampung perempuan. Tak ada yang dilakukan mereka kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang kurang terpenuhi, sampai pada centilan-centilan renyah tentang perselingkuhan dengan tetangga atau dengan para tengkulak ikan. Cerita tentang kesengsaraan dirajam sepi ditinggal oleh suami. Jalanan yang sempit membuatku tidak bebas bergerak. Aku harus berjalan zig-zag manakala bepapasan dengan orang.

Siluet senja pada sore itu cukup indah walau sekelilingnya diselimuti awan kelabu. Matahari kulihat masih sempurna. Di ujung selatan, sekitar seratus meter dari tempatku berdiri, seorang perempuan tak hentinya menatap senja. Wajahnya tenang namun tirus. Pandangannya tepat mengarah pada matahari itu. Hem, aku teringat, simbol matahari melambangkan pusat semesta; dan matahari digunakan sebagai lambang dari orang yang lahir dengan bintang Leo. Apalagi hari ini adalah minggu pertama bulan Agustus. Konon, sosok Leo selalu ingin menjadi pusat peristiwa; ia ingin menjadi fokus perhatian orang-orang dan selalu ingin merasa dihargai. Tak heran jika ia kemudian selalu ingin menonjolkan dirinya, meski mungkin dibalut dengan retorika. Mungkinkah dia ingin menjadi matahari?

Aku baru melihatnya dengan cara yang berbeda. Sepertinya aku mengenalinya selama berhari-hari. Ya, perempuan itu Maemunah, teman sekelas waktu SMA. Aku sempat jatuh cinta padanya. Dulu, entahlah kini. Ah, sepertinya cinta lama akan bersemi kembali. Aku ragu masih akan bersikap seperti dulu atau sudah berubah. Butuh beberapa waktu untuk aku menyesuaikan diri walaupun di sini adalah kampungku sendiri.

Aku pergi. Maemunah tetap menatap matahari yang akan diburu oleh para pemburu itu.

Sungguh miris mendengar nasib para nelayan beberapa bulan ini. Kata Emak, beberapa lelaki di kampungku merantau ke kota bahkan sampai ke luar negeri. Anak dan istri terpaksa ditinggalkan hanya sebutir nasi. Cuaca yang buruk membuat mereka tak bisa melaut. Akibatnya, mereka harus membanting tulang, mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarganya. Nelayan yang hanya memasrahkan hidup sepenuhnya pada laut membuat mereka kelimpungan untuk mencari pekerjaan lain jika cuaca sudah tidak bersahabat.

Ah, selalu saja demikian.

Semua orang menyimpan sebongkah matahari dalam dirinya. Ada yang terbit dan ada yang terbenam. Matahariku bersinar nonstop dua puluh empat jam. Masih adakah cucian yang belum kering? Adakah sampah yang ingin kalian bakar? Mari, dekatkan pada wajahku. Secarik kalimat yang menutup bacaan novelku malam ini, Supernova Dewi “Dee” Lestari.

Setiap kali pergi ke pantai, setiap kali pula aku melihat Maemunah mematung di sana. Wajahnya kaku. Tatapannya sendu. Mengapa ia selalu di sana? Seperti yang aku kenal, ia bukanlah penikmat senja. Ataukah Maemunah sedang menunggu sesuatu? Atau barangkali dia merasa kesepian? Atau ia ingin membuktikan bahwa sosok Leo adalah dirinya? Kusempatkan diri menyapanya, sekedar mengisi ruang berbagi dan mengumpilkan kepingan puzzle masa lalu yang mulai menemukan padanannya. Siapa tahu dia masih mengenaliku. Seperti dulu.

“Maemunah, kau ingat aku,” kataku sedikit gerogi. Nafasku di Dada berdesakan. Hem, cintaku padanya belum pergi!

Dia menatapku. Lama. Kami beradu mata. Tanpa kata. Tanpa bias senyum. Kaku. Kuperhatikan seluruh tubuhnya. Ternyata dia tetap seperti dulu: cantik dan memesona. Aku kembali terkenang masa-masa SMA lagi. Bersama dalam tawa, ceria dalam bahagia, dan sedih karena duka. Namun, tak lagi ada keseksian pada lekuk tubuhnya. Perutnya membuncit.

“Slamet, kaukah itu?” kata Maemunah menarik kedua alisnya. Nyaris beradu.

“Ya, aku Slamet. Aku kira kau sudah lupa pada diriku.”

“Ah, mana mungkin aku lupa dengan orang yang paling menjenggelkan di kelas,” katanya renyah. Lantas, kita saling beradu tawa. Tanpa sadar, waktu telah menyeret kami pada masa lalu.

“Setiap pagi dan sore kau selalu berada di sini. Sejak kapan kau menjadi penikmat senja?” kataku manja. Lepas kata itu, Memunah berpaling dariku dan kembali menatap senja. Balutan kain cokelat transparan yang membalut kepalanya berirama ditiup angin.

“Aku sedang menunggu Kang Bahris pulang,” katanya sendu. Tangan kanannya memengang perutnya yang buncit. Aku mulai mengerti, tapi belum tahu pasti.

Mendengar nama itu, kenangan semasa SMAku semakin komplit, seperti telah menemukan jalan lurus untuk kuceritakan kembali dalam ruang sunyiku. Ternyata lelaki tambun berkulit hitam itu berhasil mempersunting Maemunah, perempuan incarannya sejak masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Kupikir waktu cukup berkuasa dalam soal ini. Bukan cuma tak mau berkompromi, tapi ia akan melumerkan segalanya, hingga orang selalu ingin bertanya tentang makna. Hanya dengan cara begitu, orang menghadapi tirani waktu yang terlalu perkasa untuk kita manusia. Ah,Betapa beruntungnya kau kawan!

“Oh, selamat ya! Saya baru tahu sekarang kalau kawanku itu amat beruntung sekali memiliki istri secantik kamu,” kataku menggoda. ”Kapan menikah?”

“Sudah hampir setahun. Setelah berjalan empat bulan, saat jabang bayi ini berusia tiga bulan, dia pergi,” katanya pelan. Aku mulai menangkap ada kesedihan di matanya.

“Pergi? Maksudmu ia menghianatimu?”

“Jika ia menghianatiku tidak mungkin aku berdiri di sini menunggunya pulang. Kang Bahris pergi karena aku dan calon bayinya ini,” raut mukanya nampak tenang. Tetapi, air mata tak bisa ditolak, mengalir membelah pipinya.Beberapa kali ia mengusap-usap perutnya.

“Lantas, mengapa tega meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini?” kataku memburu. Aku pun larut dalam kesedihannya.

“Dia hanya mencoba menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami, yakni menafkahi istri. Saat awal musim hujan, Kang Bahris masih bisa bertahan meskipun beberapa minggu sudah tidak berani melaut karena cuaca tak menentu. Selain melaut, sulit di sini mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan Kang Bahris merasa terpanggil.”

“Kau tahu di mana tempatnya bekerja?”

“Entahlah, aku tidak tahu ia berada di mana. Yang jelas ia pergi, diajak Ki Urat. Katanya akan bekerja sebagai tenaga serabutan. Sebulan yang lalu ia mengirimiku banyak uang hasil kerjanya sebagai kuli bangunan. Ia menitip pesan bahwa dalam beberapa minggu ini akan pulang. Tapi nyatanya sampai saat ini ia belum datang,” katanya. Napasnya mulai tak teratur karena mencoba memulangkan kesedihan ke dalam palung hatinya.

Aku, tanpa kata.

“Apa kau sanksi?” Aku ragu.

“Soal apa?”

“Ah, tidak. Lupakan.” Aku tak ingin ia salah sangka.

“Soal cinta?”

Aku diam.

“Benar, kan?”

Tetap diam.

“Aku percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang abadi, bahwa cinta sejati itu ada dan akan membahagiakanku,” katamu dengan nada optimis tersisa. “Aku ingin cintaku memuai mengikuti cahaya matahari yang memberi terang ke seluruh pelosok negeri. Atau kalau perlu aku ingin menjadi matahari.”

Begitu keraskah hidup menjadi nelayan? Bukankah mereka selalu pergi dengan lambaian tangan dan pulang dengan keceriaan? kisah para pemburu matahari versi nenek kembali menggantung di pikiranku. Mungkinkah Bahri masih belum menemukan matahari yang pantas untuk dibawa pulang dan dipersembahkan pada istrinya? Seandainya ia bisa berpikir jernih bahwa matahari itu telah mampir di tubuh istrinya, niscaya ia akan takut dengan kerinduan.

Berbicara tentang kebahagiaan, kukira kebahagiaan itu, yang diburu oleh orang dalam jalinan cinta. Bahwa suatu saat cinta menghilang, bukan berarti kebahagiaan juga akan ikut menghilang. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, dan itu berarti banyak cara untuk meraih kebahagiaan, bahkan jika mungkin cinta kita pergi lebih cepat dari yang kita duga. Seperti waktu.

Lagu Def Leppard, Where does Love Go When It Dies menutup malamku.
Kampung Cerita 04.36 AM

Simfoni Samawi

(Radar Jember, 18 September 2011)

Orang yang datang dalam mimpi. Orang yang membuatku terjaga sepanjang malam. Aku heran, ingin tahu bagaimana dia datang. Pada lorong yang amat jauh, yang takkan mungkin ada orang yang bisa melalui tanpa berpangku asmara, aku menemukan diriku ada di sana. Berkaca pada satu wajah yang bukan diriku.

Awalnya hanya remeh-temeh dalam gagang telephon. Seperti sebuah angin yang mengabarkan kalau musim semi akan kembali. Gugurnya daun berbulan-bulan tak perlu dirisaukan lagi karena pucuk-pucuk muda siap menyambut pagi lebih bermakna dari kemarin. Maka, pada daun yang terakhir mengucapkan “Selamat Tinggal”, pucuk-pucuk muda itu akan menjawab “Pergilah tanpa Sesal”.

Pastilah! Sebelum matahari mengecup kening bumi, telephonku pasti akan berbunyi. Isyarat dering SMS atau panggilan masuk. Dan kata-katanya pun tak pernah berubah. Selalu sama. Namun, aku tak pernah bosan mendengarkannya.

“Pa, sudah solat?” Begitulah bunyi SMSnya. Tak segera kubalas. Tentu kutunaikan dulu solat dua rakaat pagiku. Kau yakin, di sana pasti dia menunggu balasanku dengan sabar. Setelah itu, baru aku membalasnya.

Atau bila isyarat telephone berbunyi….

“Pa, bangun. Tuh, matahari sudah menunggu papa.”

Jika demikian, aku akan langsung menjawabnya dengan rengekan “iya”, meminjam suara serak bayi karena diriku baru menyatu dengan sukma. Setelah itu dia pasti segera menyuruhku solat subuh dan menutup pembicaraan itu. Entahlah, apa dia sabar menunggu balasan kabarku kembali seperti menunggu balasan SMS dariku sambil meneguk teh hangat di pagi hari.

Maka, saat kutunaikan kewajibanku di pagi itu, kusematkan sejenak doa padanya. Semoga, dalam penantian yang entah kapan pastinya, dia setia dengan pengabdian sepinya padaku. Oh Tuhan, bagaimana caranya aku harus mengatakan kepada-Mu bahwa di jalan nun jauh itu, ada aral besar melintang. Siap memisahkan kami berdua: problem jarak pengatur denyut kehidupan kami.

Aku baru melihatnya dengan cara berbeda, sepertinya aku kenal dia selama berhari-hari. Tapi jarang pertemuan itu terjadi. Kami harus berpuasa, menahan rindu dan kangen yang tanpa waktu memberontak digoda gelisah. Tapi, satu doa yang menyatu, membuat kami menaruh keyakinan yang besar bahwa hari raya itu akan tiba dengan sejuta warna dan sejuta melati bertabur di taman.

Malam itu, orang yang aku sebut mama itu bercerita kepadaku bahwa di dunia yang fana ini ternyata ada yang abadi. Dan ia sangat meyakini hal itu bahwa cinta itu abadi. Tapi, aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?

“Ia hanya dikalahkan oleh nafsu,” begitulah jawabmu singkat.

“Benarkah? Lalu bagaimana kemudian jika cinta akan mengikuti arus kesementaraan, lalu menghilang di suatu tikungan?”

“Hem, ternyata papa masih belum tahu antara cinta dan nafsu ada sekat yang amat tebal…”

Lalu, pada kedalaman hati yang keberapa mil dalam arus kehidupan, aku merasakan dia begitu berbeda. meski nun jauh di sana, aku bisa merasakan senyumnya yang mengembang. Dan aku pun tersenyum saat berkaca pada senyuman itu. Ya, aku menemukan malaikat di dalam dirinya yang akan selalu menegurku jika membuat kelalaian dan kesalahan.

Langit menentukan dua hati. Gugup, sepertinya aku tidak tahu mengapa, sepertinya aku sedang menyembunyikan bulan di langit. Tak ingin ada satupun yang mencumbuinya meski dalam ilmu astonomi segala sesuatu yang ada di langit dan bumi tak bisa mengelah dari sabda semesta. Maka, aku pun ingin bersabda bahwa bulanku sudah tiada. Tiada untuk orang lain.

“Apakah aku harus belajar kesetiaan pada kisah Qais dan Laila?”

“Jangan! Kesetiaan cinta tidak akan menjerumuskan manusia pada lubang maut yang akan memisahkan jiwa dan raga. Kesetiaan Qais dan Laila itu dibangun di atas ketaklukannya pada sepi sehingga mereka memilih untuk mati.”

“Terus aku harus bagaimana?”

“Tidakkah papa mengeja pada para pendahulu kita. Ingatlah, pa! pada hakikatnya manusia lahir dari kesetiaan yang sebenarnya. Termasuk kita. Tidakkah papa mengeja kisah kesetiaan Adam dan Hawa ketika oleh Allah diturunkan ke dunia yang sangat berjauhan jaraknya?”

Bandolan jam dinding berdetak tujuh kali. Aku diam menunggu lanjutannya.

“Pa?”

“Ya, teruskan!”

“Karena kesetiaan mereka dibangun atas kesabaran, akhirnya Allah mempertemukan mereka setelah sekian tahun berada di dunia keterasingan. Begitulah seharusnya cinta itu dibangun. Bangunlah kesetiaan papa di atas kesabaran, bukan dibangun di atas sepi,” katanya polos.

Ah, kepolosannya selalu mengalahkanku untuk memberontak. Aku tidak bisa mengatakan sepatah kata. Terus menatap wajahnya dalam angan. Berharap dia tahu bahwa aku telah melihat semua mimpi dalam tahunku. Entah di tahun berikutnya, karena takdir tak selalu sesuai dengan mimpi.

“Lalu, bagaimana aku bisa mengalahkan sepi?”

“Ingatlah aku saat papa memanjatkan doa. Karena doa tiada pernah terikat dengan waktu. Bahkan jarak pun tak akan mampu membendung kedahsyatan doa. Sejauh apa pun itu.”

“Wah, mamaku is the best…” godaku.

“Ah, papa lebay lagi. , Sudahlah, pa, Solat Dhuha dulu,” katamu mengingatkan. Aku sudah bisa menebaknya karena sebelum kau mengucapkannya, bandolan jam dinding itu telah mengingatkan bahwa kau akan berucap demikian. Lalu, menitipkan doa untukmu.

Begitu indah jika jalinan keluarga yang dibangun di atas kesetiaan dan kesabaran. Namun, sulit sekali menemukan kaki manusia dipijakkan pada kedua alas itu. Keseimbanganpun tak sempurna. Selalu ada yang jatuh pada kesetian dan jatuh pada kesabaran. Ah, seandainya jarak yang membentang manusia bisa merasakan ada sesuatu yang indah di seberang sepi, niscaya tak ada cerita sebuah penghianatan atas nama cinta terjadi.

Aku akan berusaha mengenalimu lebih cepat, karena gambarmu ada di hati. Mama, aku mencintaimu!

Gubuk Cerita, 5.02 PM