Monday, April 25, 2011

Surat Buat Tuhan

Bakri tersenyum. Penuturan si pemilik kacamata minus di depannya amat menggugah hatinya. Merenungi tiap kata, menjelajah imajinasi dalam kata, untuk menggali hikmah yang terpendam dari ucapan seorang lelaki berkacamata minus. Bocah kecil yang lugu, yang selalu ingin tahu. Ia tersenyum. Memperlihatkan giginya yang tanggal satu. Kopyah putih yang bermahkota di kepalanya, miring. Kusut. Membuat ia seperti badut.

Bel sekolah berbunyi. Murid-murid lucu itu berhamburan. Keluar dari ruang kelas yang pengap. Buyar seperti pasir dalam kantong yang bocor. Berlarian di bawah terik matahari dan tanah yang masih becek. Tak peduli peluh mereka membasahi seragam putih dan lumpur melumuri celana hijau, yang besok harus mereka pakai kembali.
Bakri belum beranjak dari tempat duduknya. Ia menatap Pak Soleh, guru agamanya yang sedang sibuk merapikan kertas-kertas hasil ujian yang baru ditugaskan pada murid-muridnya yang lucu. Mimik pemilik kacamata minus itu kadang tersenyum, manggut-manggut, mengernyitkan dahi, dan geleng-geleng kepala melihat tulisan surat Al-Ikhlas yang baru ditulis oleh mereka.

Di ruang kelas. Sekilas sunyi. Hanya pekikan anak-anak sebayanya yang bermain di luar kelas. Berlarian, bermain petak umpet, banteng-bantengan, atau bermain ular naga.

Di deretan bangku paling utara, nomor dua dari depan, Bakri selalu menebar senyum. Entah, senyum itu diberikan pada siapa, tidak tahu juga. Pak Soleh yang sedang mengoreksi hasil ujian itu menatapnya. Ia heran melihat tingkah laku muridnya yang satu ini.

“Bakri, mengapa kamu tersenyum sendiri, nak?” tanya Pak Soleh penuh keheranan.

Lagi-lagi Bakri hanya tersenyum. Memperlihatkan giginya yang tanggal satu dan kehitaman. Lantas tertawa kecil. He…he…! Di tanya kok malah tertawa, gumam Pak Soleh.

“Pak, apa benar Tuhan itu bisa mengabulkan segala permintaan kita?” ungkapnya polos.

Pak Soleh tersenyum. Pertanyaan yang sangat mudah––baginya. Ia membetulkan kacamatanya dan menjawab dengan jelas––pastinya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh bocah sekecil Bakri yang baru kelas III Madrasah Ibtidaiyah (MI) itu.
Pak Soleh membetulkan tempat duduknya.

“Ya, anakku. Tuhan akan selalu mengabulkan permintaan kita. Asalkan kita bersungguh-sunguh meminta kepada-Nya. Kalau hati kita ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang akan kita minta,” jawaban yang sederhana. Pak Soleh memang sengaja memanggil seluruh muridnya dengan sebutan anak, agar terasa lebih dekat.

Bakri diam, sama dengan pak soleh yang menatapnya lekat. Memperhatikan respon bocah itu.

Bakri tersenyum lagi. Begitu juga Pak Soleh. Seakan ia telah berhasil menanamkan keyakinan pada muridnya.

“Terima kasih, Pak, sekarang aku sudah paham,” jawab bocah itu. Pak soleh menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia tak mengerti dengan maksud ‘paham’ yang dikatakan Bakri. Tapi, ia sudah cukup puas melihat muridnya sudah bisa mengatakan ‘paham’ terhadap jawabannya.

***
Bakri menatap perempuan tua yang terbaring tak berdaya di atas tikar kusut. Kaki lencak yang sebagian sudah dimakan rayap itu sepertinya tak kuat menahan tubuh kurus ibunya. Namun, begitulah, tak ada tempat lain yang lebih layak untuk menyangga punggung orang yang telah melahirkan dan membesarkannya kecuali lencak tua itu. Satu-satunya harta warisan yang tersisi. Yang selalu menjadi tempat berbagi antara anak dan ibu itu.

“Bu, kenapa ibu tak berobat ke rumah Pak Burdi saja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Bakri tanpa beban. Pak Burdi adalah dokter terkenal di sekitar desanya. Yang biasa mengobati warga yang sedang sakit.

Ada yang menetes dari kelopak mata ibunya. Ia tak mampu menahan kesedihan dan kepolosan pertanyaan anaknya.

“Ibu tidak punya uang, nak,” jawabnya datar. “Mana cukup penghasilan ibu yang hanya demikian itu bisa membayar biaya rumah sakit,” ucapnya penuh getar.

Setelah bapaknya menghilang tanpa kabar, dua tahun lalu, Ibu Bakri hanya bisa bertumpu pada hasil pekerjaanya menghancurkan batu gunung. Setiap hari ia harus mendaki bukit. Berjuang sendiri. Menghidupi Bakri yang ditinggalkan ayahnya sejak masih berusia enam tahun. Tanpa harta dan penghidupan yang layak. Seluruh harta kekayaan yang tersisa, yakni perahu untuk mencari ikan dilaut dan sepetak tanah hasil warisan orangtua si ibu yang tak begitu luas, sudah dijual untuk keperluan modal berdagang dulu––setelah memutuskan untuk berhenti melaut. Tapi, modal itu tak kembali seiring kepergian jejak suaminya. Bahkan Ibu Bakri masih menanggung hutang yang tak sedikit pada tengkulak ikan. Sampai saat ini masih belum bisa dilunasi.

Anak dan ibu itu diam. Tatapan Bakri membuat air mata ibunya semakin menganak sungai. Ia tahu, bagaimana perasaan anaknya saat itu. Dalam pikirannya, ia teringat pada kenangan masa lalu. Bersama Bisri, suaminya yang sangat bahagia melihat kelahiran Bakri di hari pertaman bocah itu menghirup udara di dunia.

“Kalau begitu, biar Bakri yang cari uang berobat untuk ibu,” pernyataan Bakri begitu meyakinkan. Tapi, bisakah bocah sekecil itu bisa mencari uang sendiri? Dengan apa? Itu yang membuat ibunya tak percaya dengan ucapan anaknya. Walau pun ia bersungguh-sungguh berucap demikian. Baginya, Bakri masih terlalu kecil untuk urusan duniawi. Apa yang bisa dilakukan bocak seusianya selain minta uang, bermain, atau menangis jika permintaanya tidak dituruti.

***
Bakri termenung. Berpikir. Ia bingung dengan cara apa harus mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya. Di depan rumahnya, Bakri menatap kosong pada tanian lanjheng dan lubang-lubang kecil di jalan dekat rumahnya yang dipenuhi genangan air. Hujan baru saja reda.

Tiba-tiba, kring…kring… Ia melihat pak pos sedang mengayuh sepeda ontelnya. Setiap pagi pak pos itu selalu lewat di depan rumah Bakri. Lelaki itu menyangklongkan sebuah tas yang biasa digunakan tukang pos untuk mengantar surat-surat yang dibawanya. Kadang roda sepeda ontel itu masuk ke genangan air, membuat sepeda pak pos sedikit oleng. Hampit terjungkal.

Bakri tertawa melihat pak pos yang gugup. Lucu sekali. Kumis jambulnya semakin menambah Bakri tertawa terpingkal-pingkal. Pak pos lantas tersenyum melihat tawa bocah itu.

Lalu, Bakri jadi ingat kata gurunya di kelas beberapa hari yang lalu: Asalkan kita sungguh-sunguh meminta kepada-Nya dengan hati ikhlas, kita akan mendapatkan apa yang kita minta.

***
Bakri mengeluarkan buku tulis dari tas usangnya yang bergambar Doraemon. Mengambil pensil, membuka buku, membolak balik lembar demi lembar, dan mencari lembaran yang kosong tanpa oretan. Kemudian, ia merobeknya
Bakri berpikir. Terpekur. Lalu mulai menulis.

Kepada Yang Terhormat
Tuhanku……………..
Di_
Tempat


Setelah menulis kalimat itu, Bakri berhenti. Ia bingung. Kata apa yang harus ia tulis pertama kalinya. Pensil yang mirip crayon itu di pukul-pukulkan ke kepalannya. Berharap ide cemerlang akan muncul. Lalu, keceriaan tiba-tiba muncul dari raut wajahnya. Seperti mendapatkan sebuah Ilham.
Ia membetulkan duduknya. Dan kembali menulis.

Tuhan…
Hari ini, ibuku sakit keras. Aku tak punya uang untuk mengobati sakit ibu. Ayahku tidak ada. Kata ibu, ayah mencari uang untuk menghidupi kami. Tapi, Ayah belum kembali, meski sekarang, ibu membutuhkan uang itu.

Tuhan…
Aku menulis surat ini, karena kata pak guru, jika aku meminta dengan hati yang ikhlas, maka Kau akan mengabulkan permintaanku. Sekarang, aku butuh uang untuk mengobati sakit ibuku. Aku ingin minta uang pada-Mu, untuk biaya ibuku.

Demikian surat dariku. Aku sangat memohon sekali, Tuhan mau mengabulkan permintaanku.

Bakri


Bakri tersenyum setelah menyelesaikan kalimat terakhir suratnya. Ia membaca ulang. Bakri yakin kalau Tuhan akan membalas suratnya. Ia melipat surat itu dan memasukkan ke dalam amplop. Besok, akan diberikan pada pak pos yang biasa lewat di depan rumahnya.

***
Surat itu dipegangnya erat-erat. Menaruh harapan agar Tuhan membalas suratnya. Lama ia berdiri di teras rumah. Menanti bunyi kring…kring sepeda ontel pak pos. Tak lama kemudian, pria berkumis yang diharapkan kehadirannya itu datang. Bakri langsung menghampiri dan menyerahkan surat itu.

“Pak, tolong aku, Pak,” ungkapnya sambil menyerahan surat itu. Pria berbaju orange itu tersenyum.

“Untuk siapa, nduk,” tanya pak pos.

“Untuk biaya ibu, pak, ibuku sakit,” jawabnya––seperti––tidak nyambung. Tapi pak pos mencoba memahami perkataan Bakri. Pak pos tahu kalau ibunya sedang sakit. Ia mengira Bakri disuruh pak lurah untuk mengantarkan surat itu kepada instansi atau lembaga sosial yang bisa membantu meringankan biaya kesehatan ibunya.

Pak pos tak perlu membaca surat itu. Ia langsung memasukkan ke dalam tasnya. Sebelum berangkat, pak pos menatap lekat wajah bocah yang malang itu. Yang di tinggal ayahnya entah ke mana. Pak pos itu mengucek-ngucek rambutnya yang pirang––yang hampir tidak ketahuan kalau sebenar ada rambut yang tumbuh di kepalanya––lalu berlalu. Kring…kring…

***
Pak Pos bingung setelah tahu kalau surat dari Bakri dialamatkan pada Tuhan. Ia membolak balikkan amplop kecil itu. Bagaimana caranya ia menyampaikan surat itu pada alamat yang dituju? Apakah ia harus mengembalikan kembali pada Bakri? Pasti bocah itu akan kecewa. Tapi, Tuhan yang dimaksud itu siapa? Alamatnya juga tak jelas.

Siang begitu terik. Matahari sangar menyengat ubun-ubun. Pak Pos memarkirkan sepeda ontelnya di samping masjid. Dalam dirinya seolah melekat lelah yang tiada terkira. Ia ingin istirahat sejenak, sekalian menunaikan solat lohor.

Setelah selesai solat lohor, pak pos mengambil surat itu lagi dari tasnya. Penasaran dengan isi surat Bakri. Ujung surat dirobek. Dibuka. Lantas, ia tahu maksud surat dari Bakri itu. Pak pos tersenyum. Terharu. Ia berpikir, bagaimana cara surat itu benar-benar bisa sampai pada Tuhan––menurut pemahaman Bakri, sesuai dengan keinginannya––meski pun cara yang dilakukan Bakri itu salah. Pak pos tetap ingin menanamkan keyakinan padanya. Pada bocah yang ingin belajar mengerti tentang sebuah keyakinan.

Ia memanggil takmir masjid. Meminta bantuan kepada takmir yang usianya tak beda jauh dengannya. Pak pos mengurai-menjelaskan tentang surat itu dan tentang penderitaan yang dialami oleh keluarga Bakri. Takmir masjid itu tersenyum. Ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya yang tirus.

“Di mana rumah anak itu?” tanya takmir masjid sambil mengelus-ngelus jenggot putihnya.

***
“Ibu, kemarin aku mengirim surat pada Tuhan minta pertolongan untuk bisa mengobati ibu. Hari ini Tuhan membalas suratku. Ia mengabulkan permintaanku dengan memberi uang ini untuk biaya perawatan ibu,” ungkap Bakri. Ibunya yang tetap terbaring lemas. Tak berdaya. Ia terharu. Ada genangan air yang jatuh di kelopak matanya. Ia minta bantuan pak pos untuk membantunya bangun. Ia ingin memeluk buah hatinya erat. Erat sekali. Genangan air itu semakin membanjiri kebahagiaan keluarganya.
Pak pos dan takmir tersenyum di samping mereka.
Annuqayah, 2010

Lomba Menjadi Penulis

Pada tahun 2006, bisa dikatakan sebagai masa bangkitnya geliat kepenulisan di internal Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA)—yang pada Oktober tahun lalu sudah resmi menjadi Institut, INSTIKA. Tahun itu, Ahmad Khotib yang menjabat sebagai pimpinan Redaksi Majalah Fajar pada 29 November 2006 ditahbiskan menjadi Juara III LKTI Mahasiswa se-Indonesia Depag RI pada Annual Conference On Islamic Studies (ACIS) di Lembang Bandung. Lagi-lagi, pada 14 November 2007 ia didaulat sebagai juara Juara II pada di even yang sama di Pekanbaru Riau.

Namun, itu hanyalah perestasi personal. Untuk menularkan “kesaktiannya” dalam olah kata, pada 13 Oktober 2008, pria yang saat ini melanjutkan studi S2-nya di UIN Sunan Kali Jaga itu, rela mempendingkan skripsinya demi mengembriokan generasi selanjutnya. Ini juga tak lepas dari permintaan pihak kampus untuk melakukan regenerasi.

Maka, dibentuklah karantina kepenulisan selama 20 hari. Dalam satu iktikad baik, delapan orang dari mahasiswa angkatan 2008 menyatukan komitmen Mengetuk Dunia Dengan Karya. Mereka dilarang keluar dari ruangan seluas 4 x 3 meter kecuali hanya sebatas keperluan sesaat, seperti mandi dan makan. Seleksi alam tetap berlaku. Hingga titik akhir, yang mampu bertahan hanyalah lima orang.

Dunia mahasiswa tidak bisa lepas dari dunia “menyusun kata”, dunia tulis menulis. Beda halnya dengan siswa, mahasiswa dituntut mandiri; memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan menulis bisa membentuk jati diri mahasiswa sebagai insan akademika. Namun sayang, plagiarisme yang marak terjadi akhir-akhir ini, berupa karya apapun baik makalah, skripsi, tesis sampai disertasi. Mahasiswa seakan tak memikili ideologi menulis.

Media, baik elektronik maupun massa, sebagai salah satu jalan menuju pembaruan sangat pas untuk menuangkan gagasan-gagasan itu kepada khalayak. Banyak yang memilih media sebagai alat untuk menelorkan ide-ide problem etis agama dan humanisme. Namun, bagi penulis pemula yang memulai perjalanannya menjadi musafir kata, perlu perjuangan keras untuk menembusnya. Pragmatisme (beberapa) media yang lebih mengutamakan kebesaran nama penulis menjadi kendala.

Nah, ketidakberpihakan itu membuat insan pena berpaling dari media. Mereka lebih memilih menempuh jalan sunyi untuk menunggu orderan membuat tulisan. Tak dapat dipungkiri, banyak penulis yang melakukan “syirik” kata dengan berbisnis makalah, skripsi, tesis, disertasi dan lain-lain yang mendukung plagiarisme dan—istilahnya M. Mushthafa—pengaratan akademik.

Ada yang lebih memilih berburu lomba karya tulis. Jalan ini dirasa cocok karena tidak mengaburkan idealisme menulis meskipun (terkesan) pragmatis. Alasannya sederhana; memburu lomba lebih menjanjikan daripada memburu media, mudah menulis karena berpatok pada tema yang telah ditentukan, serta honor yang lebih menyejahterakan. Disamping itu pula, penilaiannya tidak memandang nama besar.

Inilah sekelumit perjalanan yang dilakukan penulis pemula untuk bertahan hidup menjadi kuli kata di tengah globalisasi media. Berangkat dari jalan yang kedua inilah mereka, jebolan peserta karantina menulis, mencoba mengubah awalan “me” menulis menjadi “pe” penulis. Mereka merasa “nyaman” menjadi pemburu lomba daripada pemburu media, yang penting tidak merusak citra insan akademik dengan ikut serta menerima “order” tulisan dan melakukan plagiasi. Hasilnya, memuaskan! Mereka bisa bersaing baik ditingkat lokal, regional, hingga nasional dan menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas peneliti The Pencil Connection, Madura, yang saat ini sudah memiliki 28 anggota tetap.

Wednesday, April 13, 2011

Balada Luka

Kalau ada yang bertanya, siapa luka? Maka aku akan menjawab, akulah luka itu. Kalau ada orang yang bertanya tentang siapa derita? Aku terluka lantaran aku sering dicampakkan cinta yang dulu bersemai engkau gadaikan dengan sekantong rupiah, aku selalu dimuntahkan dalam diorama sunyi. Dalam detakan detik yang hanya tercipta untuk meledakkan buntalan molotov. Blaarrr! Larva resah mengucur, mengalir deras dan menghancurkan kerikil dan pohon-pohon yang tegak di dadaku; halilintar yang hendak menyapu apa saja. Aku teluka, Belati yang engkau tikamkan masih menancap, betina liar; lautan bersaksi.

Ah, rasanya, luka ini akan menjadi sayatan kisah sepanjang masa. Lukaku karena penghianatan, tembang bernanah yang engkau nyanyikan, lewat mulutmu yang busuk, bau penuh comberan. Penuh bangkai. Biadab, engkau sebagai mahluk Tuhan.

“Benarkah engkau adalah luka” apakah engkau masih belum percaya dengan bentuk tubuhku yang memar, lebam, anyir penuh dengan darah ini –semua karena ulahmu.

Aku selalu menelanmu dalam sepi sebagai bidadariku yang paling busuk bukan karena aku tahan dengan tusukan belati yang engkau hunjamkan pada seluruh tubuhku. Aku percaya darah sebagaimana aku percaya bahwa sang merah putih berkibar karena darah itu muncrat ke tanah.


Betina busuk, teruskan saja belatimu itu engkau ayunkan. Dengan segala kekuatan dan kepuasan. Sepuas-buas kebinalan yang memang menjadi sifat kurang ajarmu sebagai betina. Betina yang lahir dari rahim kebusukan dunia –duniamu yang tidak pernah belajar menghargai cinta.

Engkau, kalau boleh ada yang berhasrat menulis oh, lebih enak dikupas dalam sisi tengek muka dan ketiakmu. Sampah yang menumpahkan bau ke segala pelosok mungkin masih harum ketimbang bau busuk keringatmu. Aku ingin muntah ketika melihat bayanganmu. Gempal payudaramu seperti hendak mencakar-cakar langit biru. Amis. Oh, kenapa tidak Tuhan ciptakan saja engkau sebagai manusia berbulu binatang buas agar orang yang melihat berhati-hati dengan keanggunan yang sengaja engkau tutup-tutupi, dengan parfum kelas tinggi dan pakaian terseksimu.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk, masihkah engkau punya nyali untuk berdiskusi mengenai luka. Padahal engkau adalah generasi luka. Sudah banyak engkau menelan luka-luka itu. Ingatlah betina busuk, luka-luka sejarah yang telah engkau torehkan, nanti akan berbanding dan berlipat-lipat dalam kamus kebencian anak manusia. Betina busuk, lidahmu tidak akan pernah menjadi sabda bagi duniamu, karena engkau adalah bangkai. Vaginamu penuh nanah dan mengalirkan getah-getah. Jangan engkau pernah bermimipi akan melahirkan bayi-bayi mungil nan lucu. Yang akan mendiami jagad. Meneruskan perjuangan dan misi suci kemanusiaan.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk, janganlah kau berapologi di hadapanku. Luka yang engkau bingkiskan dalam hati masih akan membekas dan akan selalu utuh menjadi sandaran. Tiap musim, akan ada perayaan mengenang dan mengingat kebejatanmu sebagai betina yang hina. Seharusnya kamu malu mempertontonkan auratmu yang gembel dan berlumuran ulat itu. Ah, tapi bukankah engkau memang betina yang tidak pernah merasa malu dengan ketololan yang engkau miliki?

Betina itu menangis; engkau terluka karena aku?

Sudah aku katakan, aku sangat muak melihat kedipan matamu. Betina busuk, jangan coba-coba mengerlingkan mata yang engkau poles dengan keindahan. Parfum dan mick upmu sudah basi, tidak menarik lagi. Sudah cukup menjadi bukti bahwa semua itu hanya guratan gombalmu untuk mendapatkan mangsa. Engkau kan memang selalu lapar, ingin melahap mangsamu dengan ganas dan beringas?

Menangis!

Betina busuk seperti kamu masih sempat menumpahkan air mata? Tak pantas kau menumpahkan air mata. Air mata hanya milik perempuan mulia. Seorang Ibu yang selalu sayang dengan kodrat keibuannya. Anggun dan peduli dengan masa depan anak-anaknya. Generasi bangsa yang akan mengantarkan gerbang kehidupan ini pada pelita dan cahaya. Air mata itu adalah milik ibu yang menjadi matahari. Lampion yang selalu bersinar menyinari jagad raya.

Betina busuk, kenapa engkau selalu mengembosi diri dengan berpura-pura menjadi seorang hamba yang mulia? Kalau engkau memang busuk, akuilah! tipikalmu memang iblis.

“Engkau, adalah luka?”

Betina busuk jangan menambah rasa benci dalam diri ini. Aku sudah menyaksikan betapa belati yang menancap di matamu sangat sadis. Sakit kala engkau tikamkan ke dada. Engkau memang mahluk paling bejat di dunia, Aku engkau jadikan tumbal pamor genitmu.

Ya, Allah! Kenapa dari awal aku tidak berhati-hati dengan tipu muslihat betina gadugan seperi Engkau. Engkau tipu aku mentah-mentah. Engkau mengaku sebagai bidadari yang selendangmu masih suci. Engkau memikatku dengan senyum Nawang Wulan. Engkau sangat hebat, Lebih hebat dari bunglon yang bisa berubah kapan saja. Engkau memantik simpati di sana-sini. Empati terhadapmu hanya igau burung yang tak pernah engkau hiraukan.

Engkau sok alim, setelah engkau merebut sepotong hatiku. Dengan memakai jilbal, kerudung warna pink kesukaanmu engkau memantapkan diri sebagai seorang betinaku yang paling aku sayang. Aku baru sadar apa yang sedang engkau lakukan sekarang adalah serangkaian kebusukanmu.

”Enyahlah dari hadapanku!”

“Apakah engkau terluka?”

“Apa pedulimu?”

“Jawab dengan jujur, kenapa engkau terluka?”

“Karena aku dihianati?”

“Kenapa engkau dihianati?”

“Karena perempuan memang suka melihat mangsanya menangis sepanjang hari?”

“Benarkah engkau menangis?”

“Haruskah aku jawab?”

“Ya?”

“Untuk apa?”

“Sebagai bukti bahwa laki-laki juga punya perasaan”

“Bukankah perempuan juga mahluk yang berperasaan?”

“Yaps!” Sekuntum bunga mawar menebar wangi. Semerbak. “Tapi kenapa perempuan bisa juga berbuat seperti itu?”

“Apa! Perempuan?”

“Ya”

“Kenapa perempuan?”

“Karena dia adalah perempuan”

“Kenapa dia?”

“Karena dia adalah orang yang pernah aku sayangi”

“Kenapa engkau manaruh sayang?”

“Karena aku manusiawi”

“Apakah semua manusia harus mempunyai rasa sayang?”

“Ya, selain betina yang busuk itu”

“Maukah engkau mengajari aku cara menyayangi seseorang?”

Mulutku terkatup. Bayanganku tentang betina binal itu mulai terkubur. Aku menunjuk ke arah langit. Walau kurang mengerti. Di ufuk barat, tepat di jeda waktu, di antara celah-celah gedeg surau Kiai Ruba’i takbir hari raya qurban menggema ke semua sudut bumi; Allah Akbar!
D-Sapoeloe, 5.47 AM

Nelayan Anak


(Bangka Pos, 23 Maret 2011)

Percikan air laut menjadi napasnya. Riak ombak yang tenang mengajaknya berdiskusi tentang perjalanan yang menggelombang. Ya, begitulah! Banyak orang yang belajar hidup dari gelombang.

Bocah itu berdiri di bibir pantai. Angkuh. Ia ditakdirkan lahir dari ombak yang pecah hingga menjadi buih. Kepalanya bercahaya, matanya berkaca-kaca. Polos. Rambutnya yang pirang seperti rumbai-rumbai sutera. Kaki hitam bocah itu tak pernah lelah. Seperti pasak. Tak bergerak. Tak beranjak. Setiap pagi dan sore ia terus-menerus berdiri di bibir pantai itu. Menatap perahu yang nampak kecil dalam pelayaran. Di tangan kiri, tergenggam erat jala yang sobek.

Sepasang mata bundarnya tak pernah lepas dari ujung layar. Menembus kegalauan, mengupas keresahan. Apakah bocah itu ingin melaut? Mengapa harus menunggu matahari terbit? Atau hanya sedang mengajak diskusi gelombang? Tak ada yang tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh bocah ceking itu hingga ia dijuliki Nelayan Anak. Bukan Anak Nelayan. Bukan pula Slamet sebagaimana namanya sendiri.

Ada ketenangan bila melihat layar itu, meliuk-liuk bak penari. Seperti perjalanan siput kecil, satu persatu perahu itu mulai menepi. Dada bocah itu semakin berdegup guncang seperti laut pasang. Lepas. Siap menerjang.

***
Senja menepi, Suasana pantai mencair. Seperti sore kemarin, para nelayan menenteng jaring dengan segepok harap tanpa tanya. Mereka akan majeng , mengarungi seluruh penjuru mata angin. Nelayan, selalu membisikkan kata-kata syahdu dalam bingkai katulistiwa yang melimpah ruah kekayaannya. Para petarung dengan beban moral kehidupan yang manusiawi. Ombak yang bergulung bukan aral untuk menembus masa depan.

Tembang saronen yang dimainkan oleh lelaki tua disetiap jengkal warna senja menjadikan sore semakin sempurna, mencairkan kesuyian anak dan istri para nelayan yang mengantar mereka ke tepian pantai. Mereka tercipta dari laut dan sudah sepantasnya kembali ke laut.

“Pak, aku mau ikut,” kata Slamet menarik-narik baju ayahnya.

“Belum saatnya kau berpetualang,” katanya tersenyum.

“Tapi aku ingin ikut bapak. Aku ingin bermalam di laut, melihat ikan-ikan yang menggelepar di jaring,” Slamet memaksa.

“Mat, di laut banyak karang kasur . Mereka suka makan anak-anak,” kata ibunya menimpali.

Slamet tak tampak takut. Justru bocah itu semakin ingin turut serta mencari hakihat hidup di laut. Ia ingin mencari kedamaian yang selalu mengantarkan ayahnya suka bermalam di sana. Ia masih ingat perkataan ibunya: menjadi nelayan tak ubahnya seperti ikan di laut; memiliki ruang amat bebas selama masih ada nafas kehidupan.

“Jangan khawatir, jika kau sudah cukup umur aku akan ajarkan bagaimana caranya menjadi putra Sagoro . Akan bapak ajarkan cara menaklukkan gelombang.”

Pelukan ibunya semakin mengukuhkan bahwa ia mendukung penuh perkataan suaminya. Slamet diam dalam dekapan, seperti anak kucing yang kedinginan. Sementara tembang Saronen terus mengalir mengantar perahi menjauh dari tepian.

Malam menebar sunyi. Gemuruh ombak kembali menjadi orkestra. Langit kelam. Sesekali geluduk bersahut. Sepertinya langit akan menumpahkan air matanya. Kampung nelayan benar-benar sepi. Tak ada pebincangan hangat ibu-ibu perihal melonjaknya harga ikan dan harga barang dapur yang melejit-lejit. Mereka lebih memilih berdiam diri di rumah dan memanjatkan doa-doa demi keselamatan suami, karena suara geluduk adalah pertanda buruk bagi mereka.

“Kau belum tidur?” kata Sumiarsih.

“Apakah bapak di sana kedinginan?”

“Anakku, nelayan tak pernah mengenal dingin. Angin akan selalau menjadi selimutnya dan ombak adalah bantalnya . Jadi, tak ada yang perlu kau risaukan. Sekarang tidurlah, waktu sudah cukup malam,” Sumiarsih membaringkan Slamet di atas tembikar dan mengusap-usap punggungnya.

Ia hanya bisa memejamkan mata, sedangkan pikirannya tak bisa. Di luar, pintu rumah diketuk seseorang. Malam itu sepertinya akan ada tamu. Sumiarsih beranjak keluar. Slamet disuruh tetap berada di tempatnya. Namun, keinginan dan keyakinan kuat bahwa yang mengetuk pintu itu adalah ayahnya membuatnya tak menghiraukan perintah itu. Ternyata yang datang adalah Ki Ranggi, tengkulak ikan yang kaya raya dan disegani. Jangan ditanyakan perihal hartanya, karena hampir seluruh nelayan di kampung itu memasok ikan padanya.

“Kamu, ki. Mari, silakan masuk,” kata Sumiarsih tersenyum, ramah. Lelaki beristri dua itu tersenyum pula.

“Suamimu melaut?”

“Ya, aku sedikit khawatir. Cuaca malam ini sepertinya akan buruk.”

“Nyai, nyai. Seperti tidak kenal saja siapa Bunawi. Suami nyai itu lelaki tangguh. Buktinya seburuk apa pun cuacanya, dia selalu memeroleh tangkapan ikan yang banyak.” Katanya cengingikan.

Malam berkilat. Suara geluduk terus menebar kecemasan. Slamet benar-benar tak bisa tidur. Teringat selalu ayahnya. Miris. Ia keluar menghampiri ibunya yang sedang bercanda ria dalam perbincangan santai dengan Ki Ranggi. Sumiarsih sedikit kaget karena tiba-tiba Slamet merengek disampingnya.

“Mat, ini sudah malam. Kembali ke kamarmu,” kata Sumiarsih sedikit membentak. Ki Ranggi menenangkannya.

“Bapak tidak pulang! Aku ingin bapak pulang. Aku ingin ditemanibapak.”
“Mat, tak akan terjadi sesuatu dengan bapakmu. Ia lelaki tangguh, tak mempan jika ombak menggulungnya,” Ki Ranggi menimpali.

“Aku ingin menemui bapak,” Slamet memaksa.

“Temui sana di lautan, sekalian kau diterjang ombak,” Sumiarsih naik pitam.
Perempuan dua puluh tahun itu mengacungkan jarinya. Slamet kecewa. Air pun mengalir dari mata cekungnya.

“Aku ingin bapak!”

Slamet meninggalkan rumah. Ki Ranggi hendak mengejar, tetapi Sumiarsih melarangnya.
“Sudahlah ki, biarkan sekehendaknya. Nanti, dia juga akan kembali. Kita lanjutkan kembali pembicaraan kita,” katanya tersenyum.

Tak sepenuhnya Sumiarsih merasa benar. Dialah yang bersalah. Tetapi, saat itu Slamet hadir di waktu yang kurang tepat. Untung dia hanya seorang bocah yang tak mengerti persoalan orang dewasa. Kendati demikian, Sumiarsih merasa sangat berdosa; pada suaminya, pada anaknya. Hatinya mengetuk bimbang.

***
Rupanya, Slamet semakin tidak menyukai Ki Ranggi bermain ke rumahnya. Pasalnya, setiap kali beramah tamah, tengkulak itu sering ngobrol hingga larut malam. Lebih tidak suka lagi Ki Ranggi mulai berani mengajak Sumiarsih keluar rumah, berjalan-jalan, berboncengan dengan sepeda motornya. Jika sudah demikian, Slamet akan ditinggalkan sendirian di rumah. Kemunculan seringkali bertepatan ketika ayahnya sedang melaut.

Slamet merasa kian terasingkan. Tak ada lagi tembang-tembang kejhung yang biasa didendangkan oleh ibunya sebagai pengantar tidur. Tak ada cerita-cerita persahabatan antara anak ikan dengan anak pantai. Semuanya hambar. Sunyi. Ki Ranggi telah merenggut keceriaan bocah itu.

Sejak saat itu setiap bapaknya pergi melaut, Slamet selalu mau ikut, tetapi selalu tidak diperbolehkan. Entah karena alasan apa, bapaknya tak pernah menjelaskan. Padahal Sargem, temannya bermain sudah sering ikut melaut bersama bapaknya. Katanya, di tengah laut dia menemukan sesuatu yang amat indah, yang tidak bisa diungkapkannya. Ah, anak kecil tahu apa.

Seperti sore kemarin, Slamet dan ibunya, juga beberapa istri-istri para nelayan mengantar dan melepas suaminya. Memasrahkan seluruh nasib mereka pada air asin, angin dan gelombang.

“Pak, Slamet mau ikut,” tangan Slamet memegang erat paha bapaknya.
“Tak ada yang indah di laut, semua penuh tantangan,” kata bapaknya tenang.
“Aku ingin ikut bapak!”

“Kamu di rumah saja, ajher mamaca ,” sambung ibunya. Slamet mulai merasa perhatian ibunya dibuat-buat. Ketidaksukaannya pada Ki Ranggi mengeluarkan citra negatif, dia berpikir perempuan didekatnya itu akan melupakannya jika sudah bersama Ki Ranggi.
Sumiarsih mengalungkan tangan pada pundaknya, tetapi Slamet menepisnya. Ternyata, ayahnya tak mengerti dengan perasaan Slamet. Justru dia memarahinya, membela Sumiarsih: tak baik bersikap demikian pada orang yang telah melahirkan ke dunia. Slamet kecewa. Ia meninggalkan pantai dengan gerimis di kelopak matanya. Sekarang tak ada yang peduli. Semuanya tak mengerti.

Ketika para lelakinya melaut, kampung nelayan tak ubahnya kampung perempuan. Rumah-rumah yang berdiri di sepanjang pantai, saling berhimpitan, dan menghadap ke laut hanya akan mengisahkan satu cerita tentang kesengsaraan dirajam sepi ditinggal oleh suami. Tak ada yang dilakukan mereka kecuali berada di emperan rumah, berkumpul sesamanya lalu mendongengkan malam yang mengasingkan; tentang nafkah batin yang kurang terpenuhi, sampai pada centilan-centilan renyah tentang perselingkuhan. Paling tidak kebiasaan yang sering dilakukan hanyalah menjemur sisa ikan yang masih ada atau yang tidak terjual agar tetap awet dan tidak membusuk.

Dalam perjalanan pulang, Slamet banyak diam. Dia berjalan di depan ibunya. Bias senja jatuh dikakinya yang angkuh. Hatinya masih sakit. Beberapa perempuan yang sedang ngerumpi memandang ibu dan anak itu dengan mata picing.

“Duh, yang lagi punya suami baru. Mau nginap berapa malam pun gak akan sepi. Toh, akan ada yang memberikan nafkah yang lebih besar,” kata perempuan di emperan rumah.

“Apanya yang lebih besar, jheng?” perempuan yang satunya menimpali.

“Semuanya,” perempuan itu tertawa lepas. Direspon oleh tawa yang lain.

Suara itu terdengar memekik. Slamet dan ibunya menoleh. Empat perempuan sedang duduk santai: yang satunya sibuk mencari kutu perempuan di depannya, sedangkan yang lainnya beradu tawa. Sumiarsih merasa kikuk menjadi bahan perhatian mereka, tetapi ia memilih tak memperpanjang urusan.

Malam pun tak begitu indah. Keterasingan tak bisa ditolaknya. Slamet tak bisa tidur. Tanpa sepengetahuan ibunya, dia keluar rumah. Pergi menelusuri bibir pantai untuk mengajak buih menghapus kesedihannya. Di langit, dia melihat bulan sabit dan bintang bertebaran begitu banyak. Mungkin benar apa yang dikatakan Sargem, bahwa hidup di laut memang begitu indah.

Lama sekali Slamet mematung di sana. Seringkali dia melambaikan tangannya ketika melihat pijaran di tengah laut. Ia seakan memberitahukan ayahnya kalau sekarang berada di bibir pantai. Atau mengucapkan selamat mengarungi lautan lepas dan bercumbu dengan ikan-ikan. Tanpa terasa, bulan sabit yang menggantung telah raib. Dia mencari ke mana raibnya bulan itu. Segala penjuru mata angin ditelusurinya. Tidak ada. Pelan, di arah timur, dia melihat pijaran cahaya yang warnanya persis menyerupai bulan. Bahkan berkilat-kilat. Kadang terang, kadang redup. Apakah bulan sedang mampir ke rumahnya? Ah, betapa girangnya Slamet. Segera dia menghentakkan kaki untuk menyambut bulan.

Bulan oh bulan. Cahayanya semakin tampak dan terang. Berpijar. Tapi, Slamet datang sangat terlambat. Orang-orang sudah berdesakan di depan rumahnya mengantarkan kecemasan. Sebagian lagi menikmatinya sebagai luapan emosi yang mengarat.

“Rasakan kau pelacur! Siapa suruh merebut suami orang,” kata nyi Marsih, istri Ki Ranggi. Tawanya puas. Seperti memanggil kobaran api. Lebih besar.

Lamat, langit pun pekat. Seluruh isi rumah itu telah dibabat habis. Orang-orang yang turut hadir hanya merasakan kengerian seperti tontonan yang mengasikan. Kilatan dan percikannya seperti kembang api di malam tahun baru. Slamet terpaku. Seluruh mata telanjang membekukannya. Bocah itu menemukan alamat baru di sana, di dalam api. Bahwa ternyata api lebih indah dari air; buihnya berpijar, percikannya berkilau dan gelombangnya variatif penuh warna. Esok, Slamet akan menceritakan pada kawanannya bahwa laut bukanlah segalanya, ada yang lebih indah dari itu. Dan pasti, ia akan meminta ayahnya untuk memastikan apa yang dilihatnya adalah keindahan. Keindahan tidak ada daripada ada ataupun mengada.***
Kampus Putih, 16 Maret 2011
dimuat di Bangka Post tanggal 27 Maret 2011

Saturday, April 9, 2011

DONNA-DONNA



inilah lagu yang memberi saya inspirasi. liriknya sangat dahsyat yagn sungguh inspiratif. dipopulerkan oleh Rida dalam film Gie. pun ini menjadi lagu favorit dari Soe Hoek Gie.

donna-donna:

On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.


How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.

“Stop complaining!” said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?”


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.