Saturday, October 23, 2010

Catatan di Garis Cakrawala

Berapa kian kali, aku mendapat surat yang sama. Surat pengakuan sebuah perasaan. Tapi kenapa dia tak terus terang saja. Siapa namanya. Juga alamatnya. Malah katanya tak penting bagiku untuk membalas surat-suratnya.

Jujur, aku senang sekali. Dan itu harus aku hargai dan harus aku jaga. Prinsip hidupku mengatakan: menjaga agar orang-orang yang mencintaiku tak kehilangan kembali. Aku harus mencari tahu siap orangnya!

@@@

Tok…tok…!

Ketukan dari balik pintu mengagetkanku yang masih tidur pulas. Mau tidak mau aku harus merelakan mimpi indahku lenyap karena suara itu.

“Dani, bangun, dah jam berapa nich!”suara kakak terdengar jelas di balik pintu.

"Ya! Kak," jawabku malas.

Aku sangat kesal dengap perlakuan kakak. Betapa tidak, di saat aku berdiri tegar di ujung kapal TITANIC, berdiri kokoh sebagai Jack yang sedang memeluk Rose dari belakang. Merentangkan tangan dan memandang hamparan samudera luas. Menikmati indahnya laut. Membiarkan desauan angin samudera membelai kita—aku dan Rose. Tiba-tiba kapal yang kami tumpangi menabrak sebuah gunung es. Benturannya sangat keras. Sekeras tangan kakak mengetuk pintu.

Langkahku gontai membuka puntu. Aku buka pintu kamar. Di sana, kakak sudah menatap tajam. Aku yang belum sepenuhnya menyatu dengan ‘roh’ku menggaruk kepala, meski sebenarnya tak ada gatal.

“Ah, kakak apa-apan sih, ganggu tidurku saja.” Ucapku kesal.

“Coba lihat! dah jam berapa sekarang” celotehnya.

Akau menatap jam dinding yang bergelantung di belakang kakak. Astaga! Mataku terbelalak. Mulutku terbuka lebar menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 07.35 WIB. Rasa kantuk yang dari tadi bergelantungan, kini buyar entah ke mana. Secepat kilat aku melangkah ke kamar mandi. Tak peduli dengan kakak yang tetap berkacak pinggang menatapku.

Setelah semua siap, aku sempatkan menghampiri kakak di meja makan. Meraih tangannya dan mencium dengan penuh hormat. Tangan dinginnyalah yang selama ini membesarkanku tanpa aku merasakan sebuah kasih sayang orang tua seperti yang sempat kakak rasakan. Katanya: ibuku meninggal setelah melahirkan aku, sedangkan ayah meninggal pada waktu aku berumur sembilan bulan. Ayahku meninggal dalam tragedi tabrakan di senja hari sepulang dari tempat kerjanya.

Aku benar-benar banyak kehilangan di masa laluku. Banyak kehilangan orang yang mencintaiku. Maka dari itu, aku sangat tak ingin kehilangan kakakku. Aku akan berusaha menjaga orang-orang yang selalu memahamiku, menganggap aku ada dan memberiku cinta dan kasih sayang.

“Kak, aku berangkat,” pamitku memburu.

“Hati-hati di jalan,“ kata kakak.

Aku terus melangkah. Keterlambatan membuatku tergesa-gesa. Saking tergesa-gesanya, sampai di teras, aku hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Sepucuk surat. Aku langsung memasukkan ke dalam tas tanpa berpikir apa isi di dalamnya. Aku harus mengejar waktu.

Matahari terus meninggi. Aku berlari melewati gang-gang perumahan yang agak kumuh. Jalan pintas yang sering aku pakai bila terdesak.

Tiba di sekolah, gerbang utama ditutup. Tak seorang pun siswa yang berkeliaran. Semua sudah berada di kelas masing-masing. Kecuali satu orang, yang selalu setia menjaga pintu gerbang. Security alias Hansip!

Aku terpaksa menunggu jam pertama usai. Seperti biasa, nongkrong di kedai bu Tijah.
“Kamu tidak masuk? Terlambat ya?” tanya Bu Tijah. Ada nada sindiran dari ucapannya. Aku hanya mengangguk.

Setelah meneguk minuman Frestea sebatas menghilangkan dahaga, aku teringat pada surat yang aku injak tadi. Masih lengkap dengan bekas sepatuku. Kubuka surat itu. Ah! Ternyata isi dan bahasanya sudah klise!

@ @ @

Minggu melipat hari. Kini, hari-hariku disibukkan dengan Ujian Akhir Nasinal (UAN) yang tinggal beberapa hari lagi. Persiapan harus di matangkan. Standart kelulusan tahun ini terbilang tinggi. Sehingga memaksaku untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler semacam lest, kursus dan kegiatan lain yang sekiranya mendongkrak nilaiku nanti.

Hari itu, senja kian mendekat. Matahari mulai mendekati garis cakrawala. Semua orang kembali keperaduan. Memenuhi panggilan suci. Aku baru pulang dari sekolah, usai mengikuti pelajaran Ektra Kurikuler. Tubuhku lelah. Begitu pun pikiran dan semangat juangku yang beberapa hari terakhir selali diforsir.

Aku ingin cepat sampai di rumah. Ingin segera istirahat.

Seperti biasa, jika dalam keadaan tidak memungkinkan, aku lewat jalan pintas. Aku takut sampai di rumah, gelam sudah mencekam. Di jalan, di gang kecil, aku sempat berpapasan dengan gadis. Di pundaknya tersandang tas. Beberapa buku terselip di pelukannya. Dia berjalan menunduk.

Dia terus berjalan menunduk menapaki jalan yang remang itu. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu bahwa dia seakan sangat dekat denganku. Ada perasaan yang berbeda. Setelah dekat, aku berusaha mencuri pandang. Namun aku gagal mendapatkan sketsa wajahnya. Dia selalu menunduk. Seakan ada beban perasaan yang menyelimutinya.

Sempat terlintas dibenak untuk menyapa. Namun aku ragu. Takut gadis itu memberikan persepsi lain terhadap niat baikku. Lagipula hari mulai gelap. Takut dia akan berprasangka yang bukan-bukan. Akhirnya aku tak mempedulikannya. Membiarkannya berlalu begitu saja tanpa aku pedulikan, seperti angin yang membawa kabar sunyi.

Sesaat kemudian, telingaku mendengar suara aneh yang disusul dengan hantaman keras. Ya! Itu suara denyit ban mobil. Tepat di persimpangan jalan, aku melihat gadis tadi sudah tergolek di tengah jalan. Darahnya nengalir. aku cepat-cepat ke sana.

Oh…betapa naifnya. Gadis yang malang. Dia tertabrak mobil. Darahnya bercucuran ke mana-mana. Mukanya yang cantik, kini berhias darah yang terus keluar dari hidung dan pelipisnya. Aku pegang pergelangan tangannya dan menekan urat nadi, ternyata sudah bernyawa. Aku bingung, apalagi malam terus membuntuti.

Aku mengambil tas yang masih berselendang di dadanya. Mengotak-atik isinya. Berharap mendapatkan sebuah titik terang. Namun aku tak mendapat keterangan apapun. Yang aku temukan hanya buku-buku pelajaran dan sebuah catatan harian kacil berwarna biru.

Aku kaget. Tak percaya. Di dalam catatan itu, namaku bertaburan dalam pahatan penanya. Catatan harian itu memberiku sebuah kesimpulan bahwa dialah yang selalu menulis surat untukku. Dia menumpahkan semua isi hatinya di diary itu. Kepadaku.

Dia mencintaiku? Aku tetap tak percaya. Aku terus berusaha mencari identitasnya. setidaknya, tahu siapa nama gadis itu. Namun sia-sia belaka, aku tak mendapatkan apa-apa.
Air mataku berjatuhan. Tak tahu harus berbuat apa. Ada penyesalan yang mendalam. Aku kembali tak bisa menjaga dan memelihara orang yang mencintaiku. Kenapa aku selalu kehilangan orang yang selalu mencintaiku? Kenapa…?

Aku hanya bisa merangkul gadis yang sudah tak bernyawa. Aku peluk erat-erat. Aku tak peduli meski tubuhku harus bersimbah darah. Di malam yang sunyi aku lebur bersama kepedihan. Hanya kepedihan. Meratapi penyesalan.

Bumi Al-Sael (C/11), 2010

Dimuat di Majalah Infitah

Kosambhi, Berkomitmen Mengangkat Sastra Anak Pesantren

Sastra merupakan salah satu media dakwah umat islam. Tranformasi keilmuan umat islam banyak dituangkan dalam bersastra. Salah satu bukti kongkritnya adalah penyebaran agama islam di indonesia, yang dibawa oleh wali songo, dengan metode bersastra.

Di pondok pesantren, tradisi kesusastraan tetap dilestarikan. Setiap pagi, sore ataupun malam hari, syi’ir/nadhoman tak pernah lekang dibaca civitas pesantren. Seperti Syi’ir Amrithi atau Alfiah karangan Ibnu Malik. Bahkan dikuatkan juga dengan pembacaan diba’—yang kata M Faizi menjadi cikal bakal lahirnya sastra pesantren—nyaris dibaca dua kali dalam seminggu.

Tapi sayang, mereka (baca: insan pesantren) banyak yang tak menyadari kalau sebenarnya literatur-literatur keilmuan agama islam banyak dituangkan dalam bentuk sastra. Dan pesantren, sebagai tempat penyebaran dakwah islamiyah pastinya kaya akan literatur-literatur itu. Hal itu dikarenakan mereka mengartikannya secara sempit saja, yakni kitab turats.

Menyatukan Komitmen

Di Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep, tradisi kesusastraan tradisional maupun kontemporer masih banyak diekpresikan dengan gaya teatrikal atau dramatikal. Sedangkan dalam bentuk tulis menulis masih minim sekali.

Dengan melihat faktor di atas, Penulis menilai perlu adanya sebuah wadah untuk menampung kreatifitas santri dalam dunia tulis menulis, utamanya di bidang sastra. Maka, muncullah inisiatif untuk mendirikan sebuah komunitas sebagai lahan untuk berperoses.

Berbekal dari pengalaman penulis selama menjadi anggota The Pencil Connection Sumenep, penulis mengajak A. Faruqi Munif, seorang santri sekaligus siswa MA 1 Annuqayah yang berprestasi dan dikenal produktif dalam menulis puisi, untuk mewujudkan gagasan itu.
Pencarian anggota kami lakukan secara sembunyi-sembunyi. Artinya, kami mencari beberapa santri yang dipandang potensial dan produktif menghasilkan karya tulis sastra dengan cara pendekatan secara pribadi, bukan dengan cara membuka pendaftaran. Anggotanya juga akan dibatasi, hanya mengambil maksimal delapan orang. Mengingat metode yang akan diterapkan dalam komunitas itu, tidak akan efektif jika terlalu banyak anggota.

Awalnya, kami mendapatkan lima belas orang calon anggota. Semuanya masih berstatus siswa, hanya penulis pada waktu itu yang baru berstatus mahasiswa. Karena yang dibutuhkan hanya delapan orang, maka kami membuat penyeleksian yang super ketat. Mereka disuruh menyetor hasil tulisan sendiri sebanyak 25 puisi atau 3 buah cerpen dalam seminggu. Penyetoran itu berlangsung selama dua minggu. Siapa yang bisa, dialah yang lolos.

Dan, pada malam ahad, tanggal 27 Desember 2009, bertempat di serambi Masjid Jamik Annuqayah, yang berhasil lolos seleksi hanya tujuh orang. Tepat pada pukul sepuluh malam, ketika langit bertabur bintang, dideklarasikanlah komunitas itu dengan satu komitmen: Menulis sampai mahok!

Makna Filosofis

Nama komunitas yang juga mendeklarasikan diri secara independen itu adalah masukan dari hasil diskusi para sastrawan Sumenep yang dimotori oleh Guguk Mancanegara. Alhasil, beberapa pertimbangan untuk menyematkan nama Kosambhi dirumuskan sebagaimana berikut.

Pertama, serambi merupakan tempat yang sangat nyaman bagi santri untuk belajar, bermusyawarah, atau berdiskusi. Annuqayah yang mempunyai masjid jamik seluas 32 x 35 M itu memiliki serambi yang sangat luas, sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi santri untuk belajar. Dan pertemuan rutinitas itu akan selalu ditempatkan di sana.

Kedua, nama Kosambhi diambil dari nama sebuah buah dalam bahasa Madura. Bentuknya seperti buah Duku atau buah Kelengkeng. Dapat dimakan dan bisa dijadikan obat. Tapi, rasanya kecut dan terkadang pahit. Dengan makna filosofis itu, diharapkan kepada seluruh anggotanya untuk bersabar dalam menjalankan sebuah proses. Sebab, proses merupakan jalan terjal untuk meraih kesuksesan.

Meyakini Proses

Rutinitas yang berlangsung setiap malam minggu itu hanya memiliki empat aturan. Pertama, peserta wajib menyetor buah karyanya berupa 30 puisi atau satu cerpen dengan ketentuan empat halaman folio bergaris setiap minggu. Jika tidak menyetor maka menggunakan sistem hutang.

Kedua, setiap peserta yang dikenai tugas presentasi wajib menyetor karya yang akan dipresentasikan dua hari sebelum hari H. Dalam presentasi, peserta memiliki waktu sepuluh menit untuk mempertanggungjawabkan karyanya. Setelah itu dilakukan bedah bersama untuk mencari titik kelebihan dan kekurangan dalam karya itu.

Ketiga, jika waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, lengkap tidak lengkapnya peserta, rutinitas harus dimulai. Dan yang terakhir, apabila dalam tiga kali berturut turut peserta selalu datang terlambat atau selama dua hari peserta tidak hadir tanpa alasan yang jelas, maka akan tereliminasi dengan sendirinya. Artinya, tergantung yang bersangkutan mau ikut apa tidak. Yang jelas, aturan-aturan itu sudah tak berlaku lagi padanya.

Aturan itu dibuat agar anggota tidak main-main dalam berproses, dan untuk menjaga produktivitas mereka dalam berkarya. Awalnya memang banyak yang mengeluh, tapi lama kelamaan mereka sudah terbiasa dan merasa enjoy dengan aturan itu.

Sesuai dengan target yang diinginkan, selama tiga bulan, karya-karya anak Kosambhi telah bertebaran di media-media lokal Annuqayah antara lain: Buletin Hijrah, Ukhuwah, Majalah Muara, Infitah, Inspirasi, Dinamika, dan Majalah Fajar serta Jurnal Pentas. Bahkan ada juga yang telah melampaui target yakni dimuat di media regional antara lain: Radar Madura, Majalah Kuntum, Surabaya Post, blog www.penyairnusantaramadura.blospot.com, dan di Majalah Horison (Kaki Langit). Beberapa prestasi juga terus mengalir baik di tingkat lokal, regional, bahkan nasional.

Untuk menambah semangat, kami mencoba menghadirkan beberapa sastrawan ternama di daerah Sumenep untuk berbagi pengalaman dalam dunia sastra. Disamping itu pula, kami telah menerbitkan sebuah antologi puisi dan cerpen setebal 120 halaman dengan modal awal sebesar Rp. 10.000 per anggota.

Hingga saat ini, Kosambhi tetap eksis dengan anggota yang tak bertambah dan tak berkurang. Akhirnya, meyakini sebuah proses adalah jalan untuk melampaui takdir.

Fandrik HS Putra
Perintis dan pengasuh KOSAMBHI

Tuesday, October 12, 2010

Merintis Pendidikan Berdaulat

(Catatan Tambahan atas Tulisan Yudha Cahyawati)

“Zul, sekolah ini adalah sekolah. Dimana pendidikan agama, pendidikan budi pekerti bukan sekedar pelengkap kurikulum. Kecerdasan bukan dilihat dari nilai-nilai, dari angka-angka itu. Bukan! Tapi dari hati…” (Pak Harfan, Laskar Pelangi. Menit 20-22)

Menarik kiranya membincang Rintisan Sekolah Bertaraf Intennasinal (RSBI) yang diulas oleh guru SDN Wates 2 itu (Kompas, Senin, 4 Oktober 2010). Boleh dikata, pendidikan di Indonesia saat ini berada dibawah bayang-bayang sistem dan kualitas asing bermana globalisasi. Sertifikasi RSBI merupakan salah satu indikasinya, sehingga wilayah pendidikan kita menjadi lahan basah kapitalisme.

Segala fasilitas RSBI memang sangat mewah. Dari segi arsitektur gedung sampai dengan kurikulum dengan adanya beberapa pelajaran bahasa asing dan sarana penunjang lainnya seperti laboratorium, perpustakaan serta ruang belajar yang representatif. Hal itu karena diukur dari tingkat “Internasionalnya”. Namun, itu semua tidak bisa mengaplikasikan slogan Education for All karena tak semua anak didik bisa masih pada sekolah tersebut.

Untuk menikmati fasilitas RSBI, masyarakat harus “disulap” menjadi orang berduit. Mahalnya biaya pendidikan seakan mengharuskan masyarakat miskin dilarang bersekolah. Kapitalisme pendidikan telah mengorok substansi pendidikan itu sendiri dan wajar sembilan tahun hanya diwajibkan bagi kaum berduit saja.

Salah satu dampak dari RSBI adalah pendidikan menjadi tidak berdaulat. Jati diri pendidikan kita akan musnah. Rasa nasionalisme menjadi berkurang, pendidikan berkualitas akan menjadi ranah kaum elit semata. Banyaknya kasus korupsi di negeri ini merupakan salah satu indikasi dari praktik pendidikan yang tidak berdaulat itu.

Sertifikasi ISO, World Class Unuversity, serta RSBI, jika terlalu terobsesi pada pendidikan “di luar” sistem pendidikan dan kondisi riil pendidikan di Indonesia akan menjadikan sistem pendidikan nasional tidak berdaulat, tidak memiliki jati diri, dan visi misi yang jauh ke depan berlandaskan semangat nasionalisme dan kebutuhan kerakyatan.

Bapak Darmaningtyas, dalam Principal Mentoring MQIP (Madrasah Quality Improvement Program) di PP Annuqayah yang diadakan oleh putera Sampoerna Foundation, secara tegas mengatakan kalau RSBI lebih merupakan euphoria dan global trend semata. Bahwa dengan adanya label Internasional itu, negara-negara maju yang berkepentingan dengan bisnis jasa pendidikan bisa leluasa masuk ke sekolah-sekolah di Indonesia (18-19 November 2009).

Dalam hal ini, pintu kapitalisme melalui jalur pendidikan akan terbuka lebar. Mereka (baca: kapitalis asing) akan sangat mudah menanamkan praktik-praktik bisnis di sekolah. Misalkan pengadaan ujian standar internasional, buku pelajaran, kurikulum, tenaga guru, beserta sertifikasi itu sendiri.

Celakanya lagi, tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan juga terus mengemuka. Untuk meningkatkan kualitas—karena terkait dengan ketersediaannya sarana penunjang dan pengembangan mutu didik—haruslah tersedia banyak biaya. Tak jarang biaya pendidikan semakin mencekik leher dan substansi pendidikan kian terasingkan.
Jika kenyataannya memang demikian, RSBI tak bisa menjadi solusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan di negara ini untuk bersaing dengan pendidikan “di luar”. Sebab, sekali lagi, hanya orang-orang tertentu yang hanya bisa menikmatinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sekitar memiliki peran signifikan dalam dunia pendidikan. Problem sosial dan ekonomi kemasyarakatan adalah hal yang tidak bisa ditunda serta mendapat perhatian awal dalam pengelolaan pendidikan. Hal inilah yang seringkali terlupakan dan upaya panyadaran kepada masyarakat tak berpengaruh lagi, mengingat “pengeluaran” selalu menjadi tolak ukurnya.

Pendidikan Murah

Di Pulau Madura, sudah banyak institusi pendidikan yang mempraktikkan pendidikan berbasis masyarakat. Pemerataan pendidikan menjadi tujuan utama. Biaya pendidikan yang relatif “dimurahkan” dan berorientasi pada potensi lokal sudah banyak dipraktikkan, utamanya di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan. Di Kabupaten Sumenep, biaya SPP setingkat SLTA sudah di bebaskan dengan mengambil dari APBD, sehingga masyarakat yang benar-benar peduli pada pendidikan tidak diambil pusing oleh mahalnya biaya pendidikan.

Sebenarnya, yang perlu dilakukan oleh pemerintah Jawa Timur adalah memerangi kapitalisme sebelum melakukan upaya penyadaran akan pentingnya pencerdasan dan pencerahan pendidikan. Sebab, kapitalisme dewasa ini telah mengakar kuat. Upaya penyadaran kepada mpasyarakat juga perlu ditegakkan, mengingat angka kemiskinan tergolong sangat besar dibanding dengan provinsi-provinsi yang lain.

Sejarah pendidikan yang kolonialistik hendaknya ditinggalkan, agar slogan Education for All tidak hanya sebatas menjadi topik pembicaraan yang tak kunjung usai serta pemerataan pendidikan bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Semoga!

Sunday, October 10, 2010

Pengurus Unit Kegiatan di Lubangsa Dilantik

GULUK-GULUK—Panggung utama di depan Masjid Jamik Annuqayah berguncang. Hentakan alunan musik rebana Jam’iyyatul Hadrah Nurul Fata PPA Lubangsa memaksa para santri Lubangsa untuk berbondong-bongdong memadati halaman itu, sehingga pengurus keamanan Lubangsa tak perlu susah-susah menggiring mereka ke tempat itu.

Senin malam (04/10) kemarin, sekitar pukul delapan, pengurus PPA Lubangsa melaksanakan pelantikan pengurus unit-unit kegiatan di PPA Lubangsa periode 2010-2011. Pembacaan lagu Indonesia Raya dan Mars Annuqayah bergema sebelum prosesi pelantikan dimulai. Itu merupakan yang kedua kalinya pelantikan pengurus unit kegiatan di Lubangsa dilaksanakan berbarengan.

Unit-unit kegiatan tersebut adalah organisasi-organisasi santri yang berada di bawah naungan pengurus seksi tertentu di Lubangsa. Misalkan Majalah Muara yang berada di bawah naungan pengurus seksi Kepustakaan Pers dan Penerbitan (KP2) atau Sanggar Andalas yang berada di bawah naungan pengurus seksi kesenian.

Adapun pengurus-pengurus yang dilantik pada malam itu meliputi kru redaksi Majalah Muara dan Kompak (KP2), pengurus Usaha Kesehatan Pondok Pesantren (UKPP-KPO), pengurus Biro Pengembangan Bahasa Asing (BPBA-P2PK), pengurus Forum Organisasi Santri Lubangsa (FORSA-P2O) pengurus Jam’iyyatul Hadrah Nurul Fata, Tahsin al-Khot, Sanggar Andalas, dan CTL Pamor (Kesenian).

Abdul Wahid, ketua pengurus PPA Lubangsa, mengatakan bahwa penggabungan pelantikan ini diharapkan nantinya bisa memperkuat tali kekeluargaan antar-unit kegiatan yang ada, begitu juga di antara pengurus-pengurus yang menaungi unit kegiatan tersebut.

“Kami sangat bangga ketika semuanya (pengurus unit) berkumpul mengikuti prosesi pelantikan. Dalam hati saya mengatakan, inilah wajah-wajah santri Lubangsa yang bisa diharapkan potensinya untuk mengangkat PPA Lubangsa menjadi lebih baik,” ungkapnya.

Dia juga mengimbau kepada semua pengurus unit kegiatan untuk secepatnya melaksanakan program kerja masing-masing setelah pelantikan ini.
diunduh dai blog www.annuqayah,blogspot.com