Saturday, July 31, 2010

Kado Ulang Tahun dari Sahabat II

Ada dua peristiwa menarik bagi saya yang terjadi pada 20 kali dalam 29 juli dalam hidupnya. Jika yang pertama adalah ucapan “selamat ulang tahun” dari orang yang dirangkai dalam sketsa hidup, dan ucapan itu merupakan yang pertama kalinya dalam hidup saya. Sedangkan yang kedua adalah kado dari pernikahan sahabat dekat saya yaitu Syamsuni. Meskipun kata “kado” itu hanya saya sendiri yang meraskannya. Entah, dengan Syamsuni.

Ya! Syamsuni adalah teman canda saya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM-STIKA) dan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kami sama-sama aktivis Pergerakan Mahasiswa Idealis (PERMIS), angkatan PMII komisariat guluk-guluk tahun 2008. Tepat ada tanggal 29 juli itu dia telah menyempurnakan separuh agamanya, menikah dengan perempuan yang bernama Misnatun Murian, yang juga aktivis PMII dan Pimpinan Redaksi (Pimred) Majalah Dinamika (LPM-STIK Putri).

Ketika Syamsuni melakukan ijab-qabul di kediaman sang istri, di desa Dungkek, lagi-lagi saya mengelus dada. Saya berulang tahun, teman saya menikah. Saya msih sangsi, teman saya bahagia. Saya masih ragu apakah bisa membangun kepingan harapan itu, teman saya telah memetik buah harapanya. Saya merasa kalah telak. Mohon maaf, perasaan ini bukan datang oleh sebab iri.

Saya sempat mengabadikan kejadian itu, foto bareng dengan kedua mempelai. Bersama mereka, saya berandai-andai, ngelantur ke mana-mana. Seandainya wanita dalam sketsa hidup saya tidak “diembat” orang, pasti angan saya hanya mengarah pada satu obyek. Siapa ya, yang nantinya akan bersanding dengan saya?

Usai acara, rombongan mobil yang membawa saya langsung tolak ke pesantren Annuqayah. Dalam perjalanan, kami tak ada habisnya membicarakan kedua mempelai itu. Dari hal menarik sampai yang jorok-jorok (biasa, connect semua).
Tiba-tiba seorang teman saya menerima Short Message Service (SMS) dari nomor yang tak dikenal. Isi SMS itu adalah….

“Catat, tangal 29 Juli adalah kemenangan PERMIS atas GEMPUR”

Begitulah bunyi kalimat SMS itu. GEMPUR singkatan dari Gerakan Mahasiswa Pemuda Reformis, angkatan PMII komisariat Guluk-Guluk tahun 2006, dua tahun lebih tua dari angkatan saya. Nah, misnatun murian, termasuk angkatan GEMPUR. Jadi wajar, jika mereka bangga. Jarang-jarang seorang kader berhasil mendapatkan kakak seniornya. He..he..

Batin saya sedikit terpukul karena dalam catatan benak teman-teman, tanggal itu bukan diabdikan untuk kelahiran saya, melainkan pernikahan teman saya. Ya! Biarlah mereka menikmati percikan kesenangan pernikahan Symsuni, tanpa harus tahu kalau hari itu adalah hari ulang tahun saya. Membiarkan seperti roda mobil yang terus berputar dan angin yang menampar-nmpar rambut saya.

Seandainya perempuan dalam sketsaku tak mengucapkan selamat ulang tahun, niscaya sampai saat ini saya tak pernah sama sekali mendapatkan ucapan itu. SELAMAT ULANG TAHUN.

Kado Ulang Tahun dari Sahabat I

Tanggal 29 juli 1990 di desa Sukogidri, Ledok Ombo, Jember, merupakan sejarah lahirnya seorang bayi laki-laki mungil dan imut, yang kemudian diberi nama Fandrik Haris Setia Putra. Kemarin tepat pada perguliran 29 Juli yang ke dua puluh kalinya bayi tersebut sudah menapaki usia dewasa. Tapi, mengapa dia nampak murung? Bukankah seharusnya dia berbahagia sebab usianya (akan) masih berlanjut sampai saat ini?

Dalam sejarah hidupnya, tak pernah ada tiupan lilin atau bahkan ucapan “selamat ulang tahun” yang mengalir dari orang-orang terdekatnya. Orang tuanya sekalipun tak pernah merayakan kelahiran putra pertamanya itu. Tangal 29 juli tetap berjalan seperti hari-hari biasa. Bahkan lelaki yang saat ini mengarungi lautan ilmu Annuqayah itu tak pernah berpikir dan mengingat kalau tanggal 29 Juli adalah hari ulang tahunnya. Semua biasa-biasa saja, berjalan apa adanya.

Tapi, bulan Juli 2010 terasa berbeda, sebelum tanggal 29, dia selalu mengingat hari itu. Hari yang akan menjadi batas antara fase remaja dan fase dewasa. Ada hal berat yang dirasakannya ketika menunggu vonis 20 tahun itu. Banyak pertanyaan muncul di batinnya. Apakah bisa saya bersikap layaknya orang dewasa? Apakah saya bisa menjadi orang yang lebih dewasa?

Pada usia itu, dia tak (belum merangkai) mempunyai sketsa hidup, baik dalam skala pendek ataupun skala panjang. Target apa yang akan dicapai pada tahun 20-nya itu. Dalam skala pendek, dari tahun ke tahun aktivis pers itu selalu mempunyai target-target tertentu yang harus dicapai. Namun, untuk tahun ini dia sangsi dan bingung target apa yang harus diprioritaskan. Lagipula sketsa jangka panjang yang telah dia rangkai harus direvisi kembali, sebab aral telah menjatuhkan salah satu sketsa jangka panjangnya. Yang membuat semua bangunan harapan menjadi amruk pula.

Ya! Di bulan itu juga, seorang hafidzah yang juga menjadi salah satu target skala panjangnya, menyatakan kalau dia tak bisa menjadi bagian dari sketsa hidupnya. Penolakan itu bukan tanpa alasan, tapi lebih untuk menghormati orang lain yang lebih beruntung dari pada seorang yang biasa dipangil Fafan itu. Jika dipikir ulang, bukanlah kesalahan seorang hafidzah, tapi murni kesalahan pribadi yang selalu berdiri di atas ke-ego-an, yang selalu memprioritaskan cita-cita, dengan kata belajar, belajar dan belajar.

Ya! Itu memang sudah menjadi konsekuensi. Sebab, beberapa bulan yang lalu, orangtuanya pernah menawarkan padanya untuk mengkhitbah gadis yang sudah khatam Al-Qur’an sejak Februari lalu. Tapi, ia tetap berpikir tentang cita-cita dan harapan orang tuanya. Dan ia sempat membatin, pasrah seandainya ada orang lain yang sudah mendahuluinya. Dan peristiwa itu telah diabdikan dalam bentuk sebuah cerpennya yang berjudul “Ruang Sunyi”.

Tapi, mengapa saat seorang hafidzah itu menyatakan langsung kalau sudah dikhitbah oleh orang lain, Fafan merasakan sebuah kehilangan yang amat besar. Bisakah ia mencari pengantinya? Yang sesolehah dirinya? Dirinya sangsi.

Meski dia sudah menjadi “milik” orang lain, dalam usianya yang ke 20 tahun itu, gadis itulah yang pertama kali mengucapkan “selamat ulang tahun” padanya. Dan ucapan itu juga adalah yang pertama kali dalam catatan hidupnya.

Ya! Ucapan selamat itu bisa sedikit melebarkan senyumnya, walaupun sangsi terus menghantui. Apakah masih bisa menapaki usia itu dengan merangkai kembali bekas kepingan harapan yang masih ada? Semoga bisa membangunnya kembali. Amien.

Friday, July 23, 2010

Zamrud Khatulistiwa dan Atlantis yang Hilang


Dari sabang sampai merauke
Berjajar pulau-pulau

Kutipan lagu Nasional Perjuangan Indonesia yang diciptakan oleh R. Suharjo ini menggambarkan betapa besar peradaban Indonesia pada kala itu. Negeri seribu pulau yang memiliki kekayaan alam elastis, estetik, dan eksotis. Banyaknya pulau di Indonesia melahirkan berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang saling berinteraksi dan semakin mengukuhkan bahwa Indonesia adalah negeri yang “berperadaban”.

Namun, kekayaan alam yang begitu besar dan terbentang luas tersebut seakan tidak pernah dirasakan oleh masyarakatnya sendiri. Terlupakan dalam benak mereka. Baru bisa merasakan ketika banyak investor asing yang mencaplok kekayaan kita atau ingin “berkuasa” di negeri pertiwi ini. Bahan tambang seperti emas, batubara, dan migas terus diekploitasi. Baik yang ada di darat maupun di laut.

Sebenarnya jika dirunut dalam konteks sejarah, gerakan kesadaran bangsa Indonesia sudah dimulai sejak terjadi peristiwa sumpah pemuda pada tanggal 28 Desember 1928. Mereka berkelekar menyatu, membangun persatuan dalam napas kebebasan, persaudaraan dan kesetaraan; bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan perjuangan mengusir penjajah yang akhirnya terabadikan dalam proklamasi 17 Agustus 1945.

Sebagai generasi dan regenerasi, seharusnya kita menjaga kekayaan yang secara susah payah telah dipersembahkan oleh pejuang-pejuang bangsa ini. Beliau—saya menyebut beliau karena bagi saya perbuatan mereka amatlah mulia daripada seorang jendral ataupun kiai—berkorban demi anak cucu. Dan—pasti—berharap untuk merawat dan melestarikannya.

Cipratan Surga itu Bernama Indonesia

Budayawan Emha Ainun Najib dalam puisinya yang berjudul “Renungan Ilir-Ilir” menyebutkan negeri ini adalah cipratan surga. Surga seakan-akan pernah bocor dan mencipratkan kekayaan dan keindahannya. Dan cipratan itu bernama “Indonesia Raya”. Hal itu tidaklah berlebihan kiranya mengingat kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri kita ini. Hutan tropis dan tanah yang subur membentang luas. Hasil lautnya pun kaya. Pasti semua setuju dengan kalimat tersebut.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia merupakan salah satu dari tujuh negara mega biodiversitas yang dikenal sebagai pusat konsentrasi keanekaragaman hayati dunia. Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia sebanyak ± 6.000 spesies flora dan fauna yang dimanfaatkan sehari-hari untuk pangan, obat-obatan, kosmetik, pewarna dan lain-lain. Selain itu, Indonesia juga memiliki 60 ladang minyak (basins). 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. (Walhi, 2004)
Salah satu sumber kekayaan bangsa ini adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 Km dan dengan luas laut 5.800.000 Km2. Kenyataan ini menunjukkan, kekayaan alam yang begitu besar, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur. Sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat. Sebagai negara maritim, mau tidak mau Indonesia harus mengelola bidang kelautan dan perikanan, yang merupakan unggulan kempetitifnya. Sektor inilah ke depan, yang akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia, setelah kekayaan bumi lainnya, seperti minyak, tambang, dan hutan.

Ironisnya, dalam hal budidaya kelautan, misalkan garam, yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma, ternyata sampai sekarang negara kita masih mengimpor garam. Jumlahnya juga cukup besar, yaitu kurang lebih 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar (kompas.com). Selain itu negara kita masih mengimpor udang dari Amerika Serikat. Padahal, jika kita benar-benar memanfaatkan secara optimal, maka APBN akan menerima pemasukan sebanyak 41 persen dari sektor ini.

Sumber Daya Manusia, dari segi kuantitas dan kualitas juga masih belum optimal. Para investor asing dengan mudah memerdaya kita secara halus. Kita, pemilik yang sebenarnya ditipu dengan kata manis, sehingga kita (terpaksa) mau mengeruk habis-habisan kekayaan Indonesia untuk mereka. Yang serakah adalah mereka, tapi yang membuat onar adalah bangsa kita sendiri. Mau diperbudak.

Peristiwa Hilangnya Atlantis

Fenomena di atas mengingatkan kita pada peristiwa serupa di suatu wilayah yang dikenal sebagai pusat peradaban; yaitu Atlantis. Apakah ada hubungan dengan Indonesia?

Atalantis merupakan sebuah tempat yang mempunyai bentangan daratan dengan peradaban tinggi dan kekayaan alam yang melimpah, yang tenggelam ribuan tahun silam. Pulau legendaris yang pertama kali disebut oleh Plato dalam bukunya “Timaeus dan Criteas” itu sampai saat ini masih menjadi misteri. Namun sayang, buku yang ditulis 360 SM itu tak menyebutkan di mana sebenarnya posisi peradaban itu. Hanya saja menjelaskan bahwa bentangan negeri itu berada di antara Samudera Atlantik dan luasnya sama dengan gabungan Libya dan Asia Minor. Hal ini yang kemudian mendorong para ilmuan melalukan penelitian untuk menelusuri dan menemukan sisa-sisa peradaban tinggi yang telah dicapai oleh bangsa Atlantis itu.

Dalam buku Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D, seorang fisikawan nuklir dan ahli geologi, yang berjudul “Atlantis The Lost Continents Finally Found”, Secara tegas menyatakan bahwa lokasi Atlantis yang hilang itu adalah Indonesia. Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, juga pernah menyatakan bahwa Atlantis itu sekarang bernama Indonesia (Republika, 18 Juni 2005). Hipotesa ini merunut kepada persamaan letak geografis Atlantis dengan Indonesia. Seperti wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani—berikut dengan bencana alamnya.

Sah-sah saja para ilmuwan mengatakan bahwa wilayah yang berperadaban itu adalah Indonesia, meski sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan. Dan ini merupakan suatu berkah yang patut kita banggakan. Tapi, apakah kita hanya bisa berbangga diri? Tidak.

Masih ada satu hal yang terlupakan, yaitu penyebab hancurnya Atlantis. Bahwa negeri itu memiliki penduduk yang semula merupakan orang-orang terhormat dan kaya, kemudian berubah menjadi ambisius. Yang kuat menindas yang lemah. Mengeruk kekayaan alam, di darat maupun di laut, tanpa batas. Serta berbagai kelakuan buruk lainnya (mungkin ‘korupsi’ salah satunya). Sehingga kondisi wilayah itu tidak berimbang dengan “etika” alam. Sehingga banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi, dan tsunami yang sedemikian dahsyat menenggelamkan seluruh benua itu.

Nah, Indonesia yang disebut sebagai salah satu “mantan Atlantis” ini bakal kena hukuman serupa kalau tidak mau berubah seperti yang ditampakkan bangsa ini secara keseluruhan. Investor asing dan pengerukan kekayaan alam yang berlebihan merupakan dua stereotipe penyebab hilangnya kekayaan kita. Jika kita tidak sadar sejak hari ini, maka bersiaplah untuk kehilangan pekayaan kita.

Dalam hal ini hanya ada dia pilihan: Membuktikan bahwa Atlantis yang hilang itu memang kini sudah “berwajah” Indonesia, atau Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai Atlantis baru akan sama nasibnya dengan benua Atlantis itu. Terserah?

Sunday, July 4, 2010

Demi Sahabat, Tiga Kilo Dalam Kegelapan

Kamis malam (01-17), sebanyak dua belas orang, termasuk juga saya, bertakziyah ke rumah Fathorrahman Hasbul, alumni PPA Lubangsa dan mantan kru Majalah Muara, di desa Duko, Kecamatan Ganding.

Dua belas orang itu adalah sahabat dekatnya sewaktu masih sama-sama menjadi santri. 6 orang kru Majalah Muara--termasuk juga saya--, 2 orang kru Buletin Kompak, dan 4 orang adalah sahabat dekatnya sewaktu
masih di Madrasah Aliyah (MA) I Annuqayah.

Lima menit sebelum adzan maghrib, kami berangkat. Perjalanan sepanjang tiga kilo itu ditempuh dengan berjalan kaki. Dari lapangan kemisan, terus mengarah ke utara. Melewati pematang sawah. Pulang dan pergi. Perjalanan itu kami tempuh dengan tergesa-gesa. Takut dimakan kegelapan. Sebab, diantara kami tidah ada yang membawa penerang, semacam senter dan lain sebagainya.

Tiba di desa itu, kami disambut langsung oleh Oong—sapaan akrab Fathorrahman Hasbul. Dengan senyum tipis dan wajah berseri-seri, alumni yang sekarang menetap di Kutub, Jogjakarta itu langsung mempersilakan kami untuk solat maghrib terlebih dahulu. Sebab, tahlilan masih akan dimulai setelah solat isyak.

Ini adalah kali kedua bertakziyah ke rumahnya. Takziyah pertama terjadi setahun yang lalu, ketika ayah pemuda berperawakan kalem itu berpulang ke haribaan-Nya. Dan kini, tepat setahun, ibunya menyusul.
Kini ia sebatangkara. Ia termasuk orang yang miskin. Peninggalan harta orangtuanya tak begitu banyak.Untuk mencukupi kehidupannya di jogjakarta, hanya bertumpu pada kreatifitas menulisnya.

Sambil menunggu tahlilan dimulai, kami berbagi pengalaman. Maklum, setahun berpisah, baru sekarang bertemu. Tak pelak canda dan tawa menghiasi suasana yang sebenarnya masih dirudung duka itu. Memang
itulah tujuan kami, menghapus duka seorang sahabat, meski hanya sesaat.

Usai tahlilan, kami langsung pamit. Terlihat diwajahnya sebuah keharuan. Ia banyak mengucapkan terima kasih karena masih ingat dengan arti sebuah persahaban. Matanya berseri-seri ketika kami semakin jauh
dari pandangannya. Kami tahu, betapa beratnya ditinggal kedua orang tua.

Kini, tinggallah kami yang harus berjuang. Melewati pematang sawah dengan tangan hampa. Tanpa ada cahaya yang menerangi langkah kami. Perjalanan itu dicekam ketakutan. Takut hantu, takut terpeleset, dan
takut jika tiba-tiba ada seekor ular mematuk kaki kami. Namun, kami tetap sadar bahwa perjuangan ini masih kalah berat dengan perjuangan teman kami, Fathorrahman Hasbul. Berjuanglah sahabat!

Thursday, July 1, 2010

Club The Pencil Connection Madura

Di sini...
Kita mencoba merangkai hidup dengan kata
Tanpa harus bicara...
Kami tahu kalau lidah tak bertulang
Kami tahu kalah perasaan adalah sarang setan
Dan kami tahu kalau hidup bukan hanya bernafas
Tapi hidup adalah merangkai harapan.
Jika bukan karena harapan-harapan
Maka hidup akan mati
Demi merangkai hidup itu
Kami menyatu dalam cinta, cita dan karya !



salah satu peserta karantina The Pencil Connection sedang mempresentasikan tulisannya kepada Ahmad Khotib (kanan) selaku direktur eksekutif.


Ahmad Khotib sedang mengecek tulisan peserta yang akan dipresentasikan


Fandrik Hs Putra (depan) salah satu pembimbing sedang memberikan penyajian teknis membuat catatan kaki (foot note)


berpose setelah seminggu suntuk digembleng dengan pelatihan kepenulisan. Sekaligus sebagai ikrar untuk terus mengarungi dunia dalam kata!

Sahabat Sejati, Hanya yang Berdimensi Ukhrawi

Temanmu adalah yang membuatmu menangis karena nasehat, bukan yang membuatmu tertawa disebabkan lelucon

“Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam masyarat.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya seribu waktu dan sejuta masa.

Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi, belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan permasalahan-permasalahan tersebut.

Sebaliknya, ketika seseorang memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor, kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.

Sekalipun demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang 'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah, kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.

Ketika kita berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas, kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati.

Teman Baik

Memiliki teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.

Ada sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal. Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia dalam suka maupun duka.

Apapun definisi yang digunakan dalam memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian. Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang sejalan dengan ajaran Islam, sebab, tidak semua pengertian mengenai teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.

Islam memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk. Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau, dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.

Firman Allah, “Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).

Karenanya, jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi, sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan, maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan misi jahat tersebut.

Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.

Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Dan yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat. Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang syafaat Allah di hari kiamat kelak.

Ini sebagaimana sabda Rosul yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka adalah orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.

Sebaliknya, persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat, justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang. Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan menuntut.

Firman Allah, “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)

Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).

Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?

Dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.

Firman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)

Bukti konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh, tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat pada sosok teman yang baik itu, “Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).

Akhirnya, kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya, yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya.

dikutip di Majalah Hidayatullah