Wednesday, January 27, 2010

Afrizal Malna Berkunjung Ke Annuqayah



Guluk-guluk-Setelah selesai solat isya’ seluruh pemerhati sastra di seluruh kompleks PP Annuqayah berbondong-bondong pergi ke PP Annuqayah al-Furqon, Sawajarin untuk bertemu dengan penyair nasional Afrizal Malna (27/01). Meski acara itu sedikit terganggu dengan padamnya lampu, tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertemu dengan penyair yang berkepala plontos itu.
Baru pada pukul 21.00 WIB, acara bincang santai yang ditempatkan di aula SMA 3 Annuqayah itu dimulai. Pembukaan itu dibuka oleh tuan rumah sekaligus teman sejawatnya dalam dunia sastra, yaitu K.M. Faizi, M. Hum. Dalam pengantarnya, ia membacakan sebuah puisi Afrizal Malna yang berjudul Dalam Gereja Monster. Ia juga memaparkan beberapa karya Afrizal, diantaranya: Abad Yang Berlari, Kalung Dari Teman dlsb.
“Dia adalah salah satu ikon sastra di Indonesia. Dan pada malam ini kita bisa berbincang santai dengannya,” ungkap K.M. Faizi.
Setelah itu, Afrizal membagikan seabrek pengalamannya tentang dunia kepenyairan. Tentang bagaimana memilih Diksi, Metafora, Intuisi dan masih banyak yang lainnya. Dalam menangkap sebuah bahasa, ia menggambarkan pada sebuah novel yang berkisah tentang gadis buta yang membaca alam dan menghapalkan bunyi-bunyian lalu di tuang dalam bentuk bahasa.
“Kita tidak punya persoalan tentang itu (membaca alam) karena kita bisa melihat. Si gadis itu mengenal bahasa dengan telinganya. Sedangkan kita mengenal bahasa dengan mata, dengan apa yang kita lihat. Jadi, kita menangkap bahasa bukan hanya dengan mata kita, tapi bagaimana seluruh indera kita difungsikan dalam mengangkap dan mengenal bahasa,” ungkap penyair yang berasal dari jakarta itu.
Ia juga memaparka tentang bagaimana cara membuat puisi supaya penulis bisa produktif. Menurutnya, segala benda bisa dipuisikan tergantung bagaimana cara kita memandang benda itu dari sisi lain yang orang tidak pernah atau jarang memandangnya.
“Dalam menciptakan puisi, kita butuh keheranan. Apa pentingnya keheranan? Keheranan perlu untuk membuat puisi dengan meninggalkan fungsinya. Contohnya, ini adalah asbak, siapa yang tidak tahu kalau fungsinya sebagai tempat putung rokok. Tapi, kalau saya taruh di kepala saya, pasti ada kesan beda kan,” ucapnya lalu menaruh asbak itu di atas kepala plontosnya.
Acara usai pada sekitar pukul 23.30 WIB. Beberapa santri yang hadir masih sempat foto bareng dengannya. Dengan senang hati Afrizal Malna melayani mereka meski hari sudah larut malam. Sebelum datang ke Annuqayah, siang harinya Afrizal Malna mengisi acara di sanggar lentera STKIP Sumenep. Ia hadir bersama beberapa keluarganya; Mas Haris dan bak citra. Turut hadir pada malam itu adalah Mahendra, sastrawan dari Sumenep yang sekarang tinggal di Jogja. Ia bermalam di Annuqayah dan esok harinya rombongannya langsung kembali ke jogja.

Tuesday, January 26, 2010

Rinai Senja


Senja! dirimu memang indah, dilihat dari manapun, kau selalu merona. Aku takjub dengan keindahanmu. Merasa berada di antara bunga surga. Kau mampu menenangkan hatiku yang akhir-akhir ini hancur bersama sepinya rindu. Kau hadir diantara kepingan-kepingan hati. Memberiku sesuatu yang sulit diterjemahkan. Sulit aku utarakan lewat kata-kata. Sekalipun banyak orang bilang kata-kata lebih tajam ketimbang belati. Namun, itu masih belum mampu menggores tubuhku.
Maukah kau terus menemaniku? Sebagai penghibur sepiku? Sayang, kau tak banyak waktu. Kau harus memenuhi panggilan malam.
Lepas senja, diriku kembali sepi. Mega merah. Pekat malam. Membunuh ketenanganku. Gelap menjadi gelapnya hati. Menutup jalan setapak karifan. Seandainya aku bisa membuat malam terbungkam, aku tidak ingin mengarungi malam. Sebab, malam hanya akan membenamkan aku pada kehidupan bayang semu.
Ya! Aku akan terseret pada kubangan rindu yang mengantarkan aku menjelajahi lorong-lorong kepedihan. Saat-saat hujan bersumpah menjadi mata saksi. Kadang aku berhayal, mungkinkah belati punya jawaban? Sungguh absurd. Belati hanya sekeping besi yang akan karat oleh ganasnya darah…
"Jangan berlebihan…" Kau mencubit perutku. Saat aku ingin memberimu bintang dan ingin membawamu ke bulan untuk bertemu dengan Nyi Randhe Kasean. Konon, seorang janda di tinggal mati suaminya yang ditembak pasukan Belanda pada tahun 1947. kau tak percaya. Bahkan menertawaiku. Tapi, itulah memang yang aku ketahui dari kisah bulan.
Kau tertawa di pelukku ketika bntang bintang jatuh melintas di atas kita. Segurat senyum selalu menghias bibir mungilmu. Membuatku tak ingin berpisah jauh denganmu.
Udara malam menabur dingin. Namun, dingin itu tiada berarti, karena kita saling memberi kehangatan. Aku memelukmu. Membelai rambutmu. Lalu, aku titipkan satu kecupan hangat di keningmu…
Harapanku kembali menunggu. Mataku menerawang. Mencoba bertanya pada pada cakrawala. Apakah hari ini senja akan turun? Aku benar-benar merindukannya. Aku ingin hanya ada benang tipis antara perselingkuhan siang dan malam. Ingin segera bertemu kembali dengan bola raksasa di ufuk barat. Semoga senja cepat datang. Menghampiriku sebagai pelipur lara.
Lama aku menanti senja. Aku takut, senja tidak hadir sore ini. Langit tidak seperti biasanya. Mendung mengukir cakrawala. Warna kelabu terus meluas. Burung pun enggan menyambut senja. Mereka semua kembali keperaduan masing-masing. Separuh matahari telah tenggelam kelabu. Aku harap-harap cemas. Ketakutan datang menghantui. Aku tidak ingin melihat hujan di waktu senja. Karena hujan senja menjadi sejarah kelam untukku. aku kehilangan Sofiana tepat pada lebatnya hujan mengantar senja.
Aku sudah berusaha semampuku untuk bisa melupakan perasaanku padanya. Namun, perasaan itu tetap berkelebat sendiri. Seperti hantu. Bayangan itu semakin menyiksa saat tak kudapat lagi perhatiannya untukku. Ketika muncul keinginan hati untuk menanyakan kabarnya, keangkuhanku berusaha menahan untuk melakukannya…
"Kau serius?"
"Maaf, aku terpaksa," tangismu pecah. Matamu nanar. Keterpaksaan harus merenggut impianmu. Memilih calon pilihan orang tua.
Kau berlari menjauh. Tak peduli tubuhmu di hantam hujan. Tak peduli jika kesekian kali harus pupuskan impian yang belum terjamahkan. Derai tangismu tak kalah derasnya dengan hujan. Pecah, seiring hujan membasahi pohon yang lama kering kerontang. Ingin hati hendak mengejar. Namun, ketidak percayaan membekukan tubuhku. Kau menghilang di milyaran buliran air hujan.
Kepedihan membuat tubuhku kaku. Terbujur menatap kabut yang semakin menutupmu. Tak bisa berbuat apapun. Kecuali nanar mataku mencoba memahami kepergianmu. Ku tak bisa lupakan itu.
Semoga tidak akan terjadi apa-apa. Semoga senja membuka lipatannya. Doaku mengali seiring tangis langit mulai pecah.
Beberapa saat kemudian, justeru awan kelabu itu yang membuka rinainya. Petir menyambar. Guntur menggelegar. Hatiku hancur. Terlumat air hujan. Tatapanku menembus cakrawala. Berharap Tuhan mengabulkan doa-doa. Bening meluas di palung kelopak mata. Membelah pipiku. Ingin rasanya aku membuang kelabu itu. Tapi, aku hanya biasa bersimpuh. Tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berharap kelabu akan segera pergi.
"Berpalinglah, anakku. Ikutlah bunda," Tiba-tiba belaian lembut tangan bunda menyentuh pundakku. Air mataku berhenti mengalir. Mencoba memahami kedatangan bunda. Ia menuntunku pada sebuah ruangan yang tak asing bagiku.
"Sekarang, jemputlah dia."
Ooo….. tidak aku membatin. Benarkah itu? Benrkah aku berada di alam sadar?. Kulihat seorang gadis duduk di atas shofa. Aku sangat mengenalinya. Dia mengenakan kaos warna pink yang beberapa minggu lalu aku belikan sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke sembilan belas.
"Fan! Aku kembali," matamu berkaca-kaca. Seakan ada rindu yang menyelaksa.
Aku diam. Aku masih belum bisa melupakan peristiwa itu. Bukankah kau pergi bersama hujan senja?bukankah kau telah memilih pilihan orang tuamu? Bukankah kau telah membuang percuma mimpi kita? Mangapa kau hadir kembali?Sementara, rinai hujan masih menyisakan rintik-rintik lembut. Menyambut petang yang semakin kelam menjemput dewi malam.
Annuqayah, 2010

Sudah dimuat di Radar Madura
24 Januari 2010

Ruang Sunyi



Aku tahu. Tak mudah mengucapkan perasaan ini. Tak seperti menghadirkan kenangan-kenangan masa lalu itu. Berbeda saat aku yang tanpa beban mengajakmu berbicara dan berbagi pengalaman; tentang impian, cita, dan cinta. Bahkan tentang kriteria lelaki yang kau idamkan. Mulutku terkunci saat aku memasuki ruang dalam jiwa. Urung aku utarakan saat senyum dan tawamu pecah.
Sikapku seperti pembohong, pecundang, dan pembual. Sulit aku pasrah di atas takdir Tuhan. Tapi, aku punya cita dan cinta, bukan pula Tuhan yang merangkainya. Tuhan hanya memberiku cinta. Jadi, jangan salahkan aku bila aku menentang takdir-Nya. Apakah aku termasuk orang kafir? Aku rasa tidak demikian.
Aku bisa merangkai sendiri jalan hidupku. Tentang istri dan anak-anakku yang akan menungguku pulang dari tempat kerja, bila saatnya nanti. Yang akan menghiasi istana kecil dengan tawa renyah mereka.
Tak sekalipun Aku meragukan perasaanmu. Hanya saja, mungkin kau masih menunggu ucapan dariku—perempuan kan, memang seperti itu, pemalu. Sejak dahulu, aku tak ragu untuk mengatakan “cintamu adalah imanku, tapi imammu tetap adalah aku.”
Dari bening matamu yang tenang, tersulut cinta yang menyejukkan hati. Tubuhku berguncang saat kau mulai menarik secarik senyum. Ada getar hebat yang kurasakan. Lebih hebat dari rayuan Siti Zulaikha kepada Nabi Sulaiman. Aku bersaksi atas debur ombak di pantai Aeng Panas dan para nelayan yang telah mengibarkan layarnya. Aku ingin mengajakmu menari di atas angin yang berhembus. Di ruang bebas dan tersunyi. Berselendang sutera dan berhias melati.
Sebenarnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa kau dan aku sudah dijodohkan di tangan Tuhan. bahkan jika ingin jujur, tautan cinta pertamaku adalah kau, Vita Agustin. Rasa itu sudah tumbuh sebelum aku mengembara. Mencari kepingan-kepingan jati diri di pulau Madura ini. Lucu sekali jika aku mengenang kisah itu kembali. Tak pernah menyangka dan disangka. Terkadang aku tertawa sendiri mengenang masa lalu itu. Seperti kisah Surti dan Tejo dalam lagu Grup Band Jamrud. Benih cinta itu—menurutku—muncul dan dimulai saat kita masih memakai sepatu, berseragam putih, dan memakai celana pendek berwarna merah, saat menginjak kelas empat SD. Bermula dari gurauan teman-teman yang mengolok-olok kalau aku suka padamu. Lalu merambat pada guru kita, tetangga kita, bahkan orang tuaku––entah dengan orang tuamu. Hingga aku malu dan canggung untuk bertutur sapa denganmu, meski hanya sebatas berucap kata “Hay.”
Kita selalu diam dalam kebisuan. Hingga perpisahan datang menitikkan air mata; aku berangkat ke Madura, orang tuaku menitipkan aku di sebuah pesantren yang bernama Annuqayah. Dan kau pergi juga ke “penjara suci” yang bernama Asri. Tanpa sapa dan kata perpisahan. Sungguh, sakit jika mengenang peristiwa itu. Tapi itu sudah berlalu, termakan oleh waktu. Sejarah datang bukan untuk diadili dan dihukumi, tapi sebagai cermin untuk introspeksi diri.
Pada suatu masa, dimana aku mulai ragu mengambil sebuah keputusan. Meski sudah aku pikirkan selama tujuh tahun, dalam renungan sunyi. Dan kini, aku sudah menapaki usia 20 tahun. Kini aku kembali dalam perasaan ragu. Bukan pada cintamu, tetapi lebih pada sebuah harapan dan kehilangan dirimu.
Saat libur bulan Ramadhan, ketika aku kembali ke kampung halaman, masih terdengar celetuk kabarmu dari teman-teman dekatku. Pasti, kabar tentangmu yang telah dibumbui dengan gurauan cinta. Namun begitulah, aku harus memilih antara harapan dan kehilangan dirimu.
Kini, kau menjelma seorang Hafidzah, penghapal Al-Qur’an. Aku pun tak pernah ragu memilihmu sebagai pendamping hidupku. Bahkan, aku sempat membayangkan bagaimana nanti saat-saat kita mempunyai buah hati. Kau menyusui bayi mungil itu sambil melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Imanku semakin kuat. Aku tambah yakin, kau adalah nafasku. Tulang rusukku yang kembali.
Sunyi menjadi pelangi. Ada yang masih tersisa setelah aku kembali ke Madura; ingin melamarmu. Namun, jika itu terjadi, aku harus memupus cita-cita yang telah aku rangkai sedemikian rupa. Aku takut, jika kita nantinya punya ikatan, hal itu akan mempercepat perjalananku menuju pelaminan. Itu yang aku takutkan, mengingat usiamu yang tak seberapa jauh dari usiaku. Aku takut didesak orang tua yang sudah ingin memunyai seorang cucu.
Perjalananku masih panjang. Aku masih ingin mengarungi dunia dalam kata, sebebas burung merpati yang terbang di udara. Tapi di sisi lain, aku takut kau akan menjadi milik orang lain. Jika itu terjadi, berarti separuh dari hidupku akan hilang. Tak mudah mencari wanita sepertimu, sesolehah imanmu.
Seperti malam yang baru saja sunyi. Aku menghela nafas atas dilema yang kuhadapi. Dalam dekapan malam, aku mencoba berbisik pada Ilahi. Hatiku semakin mengaduh. Semua bercampur baur menjadi air mata yang tiada mengalir. Hanya berpalung di kelopak mataku. Sujud dalam Istikharah.
Prenduan, 2010

Sudah dimuat di Radar Madura
Tanggal 3 Januari 2010