Sunday, November 22, 2009

Ketika Teknologi Menjadi tuhan

Jika Abidah El-Khalieqy baru-baru ini menelurkan novel berjudul Perempuan Berkalung Sorban, maka di era modern ini tidak salah jika ada statement Manusia Berkalung Flash Disk, mengapa demikian? Ketergantungan manusia pada teknologi sudah mengakar kuat dan menjadi satu kesatuan utuh.
Perkembangan teknologi semakin hari tambah pesat, bak jamur dimusim hujan, sampai saat ini telah banyak memberi corak dan pola pikir yang beranekaragam dalam kehidupan manusia. Rasa ingin tahu yang merupakan fitrah manusia sejak lahir, selalu mendorong melahirkan pengetahuan baru.
Teknologi adalah hasil peradaban dan budaya manusia. Ironisnya, manusia bergantung kapada penciptaannya sendiri. Akibatnya, teknologi yang merupakan produk pikirnya sendiri telah menjelma menjadi tuhan—penulis tidak menggunakan ‘T’ besar yang berarti Yang Maha Esa. Kebergantungan manusia itu menempatkan teknologi pada dimensi Adi Kuasa (Super Power) yang mencengkram penciptanya sendiri. Sehingga lahirlah perbudakan modern.
Dewasa ini, muncul istilah digitalisasi yang diletarbelakangi pesatnya teknologi komputer dan jejaringan internet. Digitalisasi sebagai wujud revolusi dari teknologi telah membentuk “manusia” digital. Televisi, Hp, Komputer, Internet dlsb. bukanlah barang langka lagi. Tidak hanya di perkotaan, di pedesaan pun tidak sulit di temui.
Di daerah pedalaman, (baca; pedesaan) ada dua tempat yang menjadi sasara pengembangan teknologi. Pertama, pasar sebagai tempat interaksi jual-beli menjadi tempat strategis penyebarluasan teknologi. Kedua, pesantren yang sejak awal berdirinya jamak diketahui sebagai “kiblat” masyarakat juga menjadi area subur. Hanya dengan berorientasi pada dua tempat itu, teknologi sudah mengusai lapangan.
Krisis Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat pedesaan, menjadi nilai plus teknologi untuk mendobarak hukum adat dan norma yang selama ini mereka pegang teguh. Dulu, jika ada muda-mudi yang bukan muhrim-nya berjalan berpasangan menjadi hal sangat tabu, tidak menutup kemungkinan akan dihukum dengan adat yang berlakudi daerah tersebut. Tetapi kini, fenomena tersebut sudah lumrah, bahkan tidak sedikit dari orangtua mereka sendiri yang menyuruh melakukan demikian, asal tidak melewati batas. Mereka (baca; orangtua) ingin melihat putra-putrinya seperti yang dilihat di Televisi.
Pesantren sebagai institusi pembentukan moralitas, yang amat dekat dengan kehidupan masyarakat pun tidak lepas dari teknologi. Tidak sedikit pesantren yang berubah haluan dari Salafi menuju modern. Entah, apakah itu sebagai bentuk aplikasi dari Al-Muhafadza ‘Ala Qadim As-Salih Wa Al-Akhdi Bil Jadid Al-Aslah (memelihara yang lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Yang jelas perubahan tersebut juga telah merubah citra pesantren itu sendiri di mata masyarakat.
Jika pesantren juga telah dikuasai teknologi, lantas siapa yang pantas menjadi “kiblat” masyarakat?
Pada dasarnya, teknologi diciptakan sebagai alat untuk memudahkan manusia melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, akibat krisis moral yang dimiliki, teknologi menjadi salah guna. Video, gambar, dan cerita-cerita yang bisa merusak mental tersimpan rapi dan terstruktur didalam memory yang hanya sebesaran jari telunjuk manusia atau sekecil kancing baju, sehingga mereka lebih mudah mengakses dan melihatnya kapan saja dan dimana saja.